Etika Kepada Orang Tua, Orang Muda dan Orang Alim


Notulen : Ust. Shabieq
Untuk download audionya klik Disini


عَنْ بْنِ الصَّامِتِ ، قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ ، يَقُولُ : " لَيْسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَاوَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

Diriwayatkan dari Ubadah bin Shamit radliyallahu anhu bahwa Rasulillah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Bukanlah termasuk dari ummatku orang yang tidak menghormati yang lebih tua, tidak mengasihi yang lebih muda, dan tidak tahu hak orang alim.”

Memaknai hadits diatas jangan sampai serampangan, sebab ada saja sekte ekstrim yang menganggap makna redaksi “Laisa min ummati” adalah “bukan bagian dari ummat muslim”, sehingga sampai mengklaim orang semacam itu sebagai orang kafir. Maka perlu dipahami terlebih dahulu, sekian makna dari redaksi “Laisa min ummati” agar tidak gampang su’uzhon dengan orang muslim yang lain.

Diantara maknanya adalah:
-Bukan termasuk pelaku sunnah kami menurut cara kami.
-Bukan termasuk orang yang mendapatkan petunjuk dengan petunjuk kami.
-Bukan termasuk bagian agama kami, berarti dia keluar dari sebuah cabang dari sekian cabang agama.
-Bukan termasuk bagian orang muslimin, hanya saja predikat dan bentuknya tetap.
-Bukan termasuk orang yang melakukan kesempurnaan.
-Bukan seperti kami.
-Bukan termasuk mukmin yang sempurna imannya.
-Bukan termasuk orang yang tersambung dengan kami.
-Bukan termasuk bagian orang pilihan dan orang yang berakhlaq dengan akhlaq kami.

Hadits ini senada dengan hadits-hadits yang redaksinya: “La yu’minu ahadukum” tidak beriman salah satu dari kalian, maknanya : "Imanan kamila”, dengan keimanan yang sempurna, dan redaksi “Layadkhulul jannah” tidak masuk surga, maksudnya adalah “ma’assabiqin al awwalin”, bersama rombongan para pendahulu.

Jadi redaksi “laisa min ummati” masih dalam wilayah makna yang wajar, artinya tidak sampai mengeluarkan seseorang dari status muslim.

Seseorang ada yang masih berada dalam level hal, ada yang sudah berada dalam level maqam. Seseorang ada yang konsisten dalam menjalankan agama, selalu terdepan dalam melakukan kebaikan. Adapula yang masih setengah hati menjalankannya. Dan ada pula yang bahkan sampai melakukan kezhaliman kepada dirinya sendiri. Dan seorang yang bisa konsisten menjalankan agama, maka ia pun tidak boleh merasa bahwa apa yang ia lakukan merupakan usahanya sendiri, akan tetapi murni bahwa ia bisa seperti itu sebab taufiq dari Allah ta’ala.

Seorang yang lebih tua dari kita berhak dihormati karena keberadaannya lebih dahulu dari kita dan ia lebih berpengalaman dalam merasakan pahit getirnya kehidupan dalam banyak hal. Juga karena keilmuan dan akhlaq yang mereka miliki.

Sayyidina Ali karromallahu wajhah suatu saat berjalan menuju masjid. Ditengah jalan ia bertemu dengan orang tua yang berjalan ke arah yang sama. Demi menghormati orang tua itu, ia tidak berani mendahuluinya, sampai ia telat berjamaah, akan tetapi ternyata selepas sampai dimuka masjid orang tua itu tidak ikut berbelok, maka ia tahu bahwa orang itu adalah seorang Yahudi.

Rasulullah SAW bersabda,
مَا أكْرَمَ شَابٌّ شَيْخاً لِسِنِّهِ إلاَّ قَيَّضَ الله لَهُ مَنْ يُكْرِمُهُ عِنْدَ سِنِّه

‘Tidaklah seorang pemuda menghormati orang yang lebih tua karena usianya. Kecuali Allah akan mendatangkan untuknya orang yang menghormatinya ketika dia sudah tua.

Dari sini ulama ada yang berpendapat bahwa orang tua di hormati karena sebab status tua yang ia sandang, akan tetapi ada juga ulama yang berpendapat bahwa penghormatan itu sebab kepribadian dan keilmuannya yang baik. Rasulillah bersabda:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ ». قَالَ فَأَىُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ « مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ ».

Artinya: “Abdurrahman bin Abu Bakrah meriwayatkan dari bapaknya radhiyallahu, bahwa ada seorang yang bertanta: ‘Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling baik?”, beliau menjawab: “Barangsiapa yang panjang umurnya dan baik perbuatannya”, ia bertanya (lagi): “Lalu manusia manakah yang paling buruk?”, beliau menjawab: “Barangsiapa yang panjang umurnya dan buruk perbuatannya.” HR. Tirmidzi.

Berkaitan dengan masalah kasih sayang maka semestinya hal itu kita berikan kepada siapa saja. Bahkan binatang saja berhak untuk dikasihi, apalagi terhadap orang lain. Dan kasih sayang ini akan membuat hidup kita lancar dan berkah. Usaha kita akan beruntung, dan sebutan kita akan tinggi. Seseorang yang berkasih sayang, akan dikasihi oleh Allah, Rasulillah bersabda:

الراحمون يرحمهم الرحمن تبارك و تعالي ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء

Artinya:
Orang-orang yang kasih sayang Tuhan yang Rahman Tabaraka wa Taala akan kasih sayang kepadanya. (Oleh karena itu) kasih sayanglah kamu semua kepada semua makhluk yang di bumi niscaya semua makhluk yang di langit akan kasih sayang kepada kamu semua. [H.R Ahmad, Abu Daud At Tarmizi dan Al Hakim]

Ada beberapa alasan yang menjadi motivasi seseorang berkasih sayang dengan yang lebih muda:

- Anak kecil masih lemah, memerlukan bantuan orang yang lebih tua. Mereka seringkali masih bersifat kekanak-kanakan.
- Anak atau orang yang sudah dewasa akan tetapi dia menjadi “kecil” secara makna, seperti sebab idiot, tua renta, dll.
- Menyamai Allah sebab dari semenjak lahir seorang anak telah dikasih sayangi oleh Allah.

Dan tentunya kasih sayang ini, tidak hanya kita berikan kepada Muslim saja. Bahkan kepada non muslim ada hak-hak semestinya kita tunaikan. Seperti dikala kita melihat seorang tua renta di bis yang tak mendapatkan tempat duduk, maka kalau bisa kita beri ia tempat duduk. Meski dia seorang non muslim. Jangan sampai kita tidak peduli dan acuh hanya karena tahu dia seorang non muslim.

Banyak cara menyayangi seseorang, salah satunya adalah dengan cara menjenguknya dikala ia sedang sakit, dan mengunjunginya dalam kondisi sehat. Orang yang mau melakukannya akan dipanggil oleh sesosok dan sosok itu berucap: “Bagus kau, jalanmu juga bagus, dan kau siapkan bagian surga bagimu”

Seseorang juga harus mengerti hak-hak orang alim. Dan tentunya hal ini akan menghasilkan keberkahan. Idza atakum karimu qoumin fa akrimuh, jika seorang mulia kaummu datang maka hormati ia. Mereka berhak untuk dihormati. Sebab ilmu yang mereka miliki.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadalah:11)

Sababun Nuzul ayat ini adalah, dikala hari jum’at Rasulillah mengadakan kajian di serambi Masjid Nabawy, disana telah banyak orang yang hadir. Selepas itu rombongan Ahlu Badar datang. Demi ingin menghormati mereka, Rasulillah mempersilahkan mereka untuk kedepan. Akan tetapi karena kondisi tidak memungkinkan sebab penuh sesak, mereka enggan menaati perintah Rasulillah agar mereka pindah ke tempat lain, supaya Ahlu Badar bisa duduk di tempat mereka. Maka akhirnya turunlah ayat ini untuk menegaskan kepada mereka akan perintah ini.

Cara menghormati dan memuliakan mereka beragam dan relatif, seperti dikala mereka datang disebuah majlis, kita silakan mereka untuk duduk di depan. Yang terpenting tidak sampai sujud. Jangan seperti sekte sebelah yang mengklaim berdiri sebab menghormati orang alim merupakan barang terlarang, mencium tangan orang shaleh dianggap mengkultuskan. Jika kita cermati sepertinya ada agenda terselubung yang diterapkan musuh Islam untuk memisahkan dan menjauhkan kaum muslimin dengan ulama’nya. Sehingga jika ini terjadi, maka kaum muslimin akan bertambah lemah dan rapuh.

Dan yang dimaksud dengan ulama disini, bukan hanya seorang yang cerdas dan paham betul masalah agama, akan tetapi ulama yang sebenarnya adalah seorang yang lebih mengedepankan rasa takutnya kepada Allah (khosyah) dari pada ilmunya. Ulama yang memiliki karakter low profil (tawadlu) dalam bersikap. Sebab banyak ulama yang alim secara keilmuan akan tetapi kosong dalam pengamalan. Mereka bahkan hobi mengotak-atik hukum sehingga menghasilkan hukum yang tidak sesuai dengan yang semestinya.

Ulama merupakan pewaris Nabi, dan kedudukan keilmuan berada satu tingkat dibawah predikat kenabian. Mereka akan mendapatkan kedudukan yang tinggi kelak di surga. Dan dari sekian ulama, rumah yang paling tinggi kelak di surga adalah rumahnya Sayyidina Muadz bin Jabal.

Dan lebih dari itu bahwa, seorang yang shaleh dan alim bahkan juga memiliki kesempatan untuk memberikan syafaat kepada orang-orang lain kelak di hari kiamat.

Maka, semoga kita bisa terus belajar untuk menyayangi yang lebih muda, menghormati yang lebih tua dan memahami hak-hak orang alim.

Wallahu ta'ala a'lam.
Semoga bermanfaat
Share on Google Plus

About Ma'had Al Inshof Al Islami

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment