Mungkin sudah waktunya kita harus lebih
kritis terhadap materi sejarah yang dulu kita terima di bangku sekolah, sebab ternyata
ada banyak sejarah kita yang didistorsi oleh pemerintah. Sosok Pattimura adalah
satu contoh deislamisasi dan penghianatan atas sejarah pejuang Muslim di Maluku
khususnya, dan seluruh Indonesia pada umumnya.
Tokoh Muslim ini sebenarnya bernama Ahmad
Lussy, tetapi dia lebih dikenal dengan Thomas Mattulessy yang identik
Kristen. Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy, lahir di
Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi
pemerintah). Ia bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah
Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah
(Kazim Allah/Asisten Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.
Menurut sejarawan Ahmad Mansyur
Suryanegara, Pattimura adalah seorang Muslim yang taat. Selain keturunan
bangsawan, ia juga seorang ulama. Data sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu
semua pemimpin perang di kawasan Maluku adalah bangsawan atau ulama, atau
bangsawan sekaligus ulama.
Bandingkan dengan buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit. M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".
Bandingkan dengan buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit. M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau bukan nama orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan".
Ada kejanggalan dalam keterangan di
atas. Sapija tidak menyebut Sahulau itu adalah kesultanan. Kemudian ada
penipuan dengan menambahkan marga Pattimura Mattulessy. Padahal di negeri
Sahulau tidak ada marga Pattimura atau Mattulessy. Di sana hanya ada marga
Kasimiliali yang leluhur mereka adalah Sultan Abdurrahman. Jadi asal nama
Pattimura dalam buku sejarah nasional adalah karangan dari Sapija. Sedangkan
Mattulessy bukanlah marga melainkan nama, yaitu Ahmad Lussy. Dan Thomas
Mattulessy sebenarnya tidak pernah ada di dalam sejarah perjuangan rakyat
Maluku.
Berbeda dengan Sapija, Mansyur
Suryanegara berpendapat bahwa Pattimura itu marga yang masih ada sampai
sekarang. Dan semua orang yang bermarga Pattimura sekarang ini beragama Islam.
Orang-orang tersebut mengaku ikut agama nenek moyang mereka yaitu Pattimura. Masih
menurut Mansyur, mayoritas kerajaan-kerajaan di Maluku adalah kerajaan Islam.
Di antaranya adalah kerajaan Ambon, Herat, dan Jailolo. Begitu banyaknya
kerajaan sehingga orang Arab menyebut kawasan ini dengan Jaziratul Muluk
(Negeri Raja-raja). Sebutan ini kelak dikenal dengan Maluku.
Mansyur pun tidak sependapat dengan
Maluku dan Ambon yang sampai kini diidentikkan dengan Kristen. Dia mengatakan,
"Kalau dibilang Ambon itu lebih banyak Kristen, lihat saja dari udara
(dari pesawat), banyak masjid atau banyak gereja. Kenyataannya, lebih banyak
menara masjid daripada gereja."
Pada tahun 1817, rakyat Maluku
melakukan perlawanan terhadap Belanda di bawah komando Kapitan Ahmad Lussy. Perlawanan
tersebut disebabkan beberapa hal.
Pertama,
adanya kekhawatiran dan kecemasan rakyat akan timbulnya kembali kekejaman
pemerintah seperti yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan VOC (Verenigde
Oost Indische Compagnie).
Kedua, Belanda menjalankan
praktik-praktik lama yang dijalankan VOC, yaitu monopoli perdagangan dan
pelayaran Hongi. Pelayaran Hongi adalah polisi laut yang membabat pertanian
hasil bumi yang tidak mau menjual kepada Belanda.
Ketiga,
rakyat dibebani berbagai kewajiban berat, seperti kewajiban kerja, penyerahan ikan
asin, dendeng, dan kopi.
Berulangkali Belanda mengerahkan
pasukan untuk menumpas perlawanan rakyat Maluku, tetapi berulangkali pula
Belanda mendapat pukulan berat. Karena itu Belanda meminta bantuan dari pasukan
yang ada di Jakarta. Keadaan jadi berbalik, Belanda semakin kuat dan perlawanan
rakyat Maluku terdesak. Akhirnya Ahmad Lussy dan kawan-kawan tertangkap
Belanda. Pada tanggal 16 Desember 1817 Ahmad Lussy beserta kawan-kawannya
menjalani hukuman mati di tiang gantungan.
Perlawanan rakyat di bawah komando
Kapitan Ahmad Lussy itu terekam dalam tradisi lisan Maluku yang dikenal dengan Petatah-Petitih.
Tradisi lisan ini justru lebih bisa dipertanggung jawabkan daripada data
tertulis dari Belanda yang cenderung menyudutkan pahlawan Indonesia. Diantara
petatah-petitih itu adalah sebagai berikut:
Yami Patasiwa
Yami Patalima
Yami Yama'a Kapitan Mat Lussy
Matulu lalau hato Sapambuine
Ma Parang kua Kompania
Yami yama'a Kapitan Mat Lussy
Isa Nusa messe
Hario,
Hario,
Manu rusi'a yare uleu uleu `o
Manu yasamma yare uleu-uleu `o
Talano utala yare uleu-uleu `o
Melano lette tuttua murine
Yami malawan sua mena miyo
Yami malawan sua muri neyo
Yami Patalima
Yami Yama'a Kapitan Mat Lussy
Matulu lalau hato Sapambuine
Ma Parang kua Kompania
Yami yama'a Kapitan Mat Lussy
Isa Nusa messe
Hario,
Hario,
Manu rusi'a yare uleu uleu `o
Manu yasamma yare uleu-uleu `o
Talano utala yare uleu-uleu `o
Melano lette tuttua murine
Yami malawan sua mena miyo
Yami malawan sua muri neyo
(Kami Patasiwa
Kami Patalima
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Semua turun ke kota Saparua
Berperang dengan Kompeni Belanda
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Menjaga dan mempertahankan
Semua pulau-pulau ini
Tapi pemimpin sudah dibawa ditangkap
Mari pulang semua
Ke kampung halaman masing-masing
Burung-burung garuda (laskar-laskar Hualoy)
Sudah pulang-sudah pulang
Burung-burung talang (laskar-laskar sekutu pulau-pulau)
Sudah pulang-sudah pulang
Ke kampung halaman mereka
Di balik Nunusaku
Kami sudah perang dengan Belanda
Mengepung mereka dari depan
Mengepung mereka dari belakang
Kami sudah perang dengan Belanda
Memukul mereka dari depan
Memukul mereka dari belakang)
Kami Patalima
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Semua turun ke kota Saparua
Berperang dengan Kompeni Belanda
Kami semua dipimpin Kapitan Ahmad Lussy
Menjaga dan mempertahankan
Semua pulau-pulau ini
Tapi pemimpin sudah dibawa ditangkap
Mari pulang semua
Ke kampung halaman masing-masing
Burung-burung garuda (laskar-laskar Hualoy)
Sudah pulang-sudah pulang
Burung-burung talang (laskar-laskar sekutu pulau-pulau)
Sudah pulang-sudah pulang
Ke kampung halaman mereka
Di balik Nunusaku
Kami sudah perang dengan Belanda
Mengepung mereka dari depan
Mengepung mereka dari belakang
Kami sudah perang dengan Belanda
Memukul mereka dari depan
Memukul mereka dari belakang)
Nama Pattimura sampai
saat ini tetap harum. Namun nama Thomas Mattulessy lebih dikenal daripada Ahmad
Lussy atau Mat Lussy. Menurut Mansyur Suryanegara, memang ada upaya-upaya
deislamisasi dalam penulisan sejarah. Ini mirip dengan apa yang terjadi
terhadap Wong Fei Hung di Cina. Pemerintah nasionalis-komunis Cina berusaha
menutupi keislaman Wong Fei Hung, seorang Muslim yang penuh izzah (harga diri)
sehingga tidak menerima hinaan dari orang Barat.
Demikianlah pelurusan
sejarah Pattimura yang sebenarnya bernama Kapitan Ahmad Lussy atau Mat Lussy,
semoga bermanfa’at. Wallohu a'lam.
Pahlawan beragama Kristen, barangkali itu yang terpatri dalam benak sebagian besar kita begitu mendengar nama Pattimura. Benarkah demikian adanya?
Blogger Comment
Facebook Comment