
Oleh: KH. Ihya’ Ulumiddin
Alloh Tabaaraka wa Ta’ala
berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Alloh dan
seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi
kehidupan (hati) kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Alloh membatasi
antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan".
QS. Al Anfaal: 24
Hati yang hidup merupakan
sisi pandang Alloh Ta'ala sekaligus sasaran saputan cahayaNya. Tanpa
hati yang hidup, dan ramai oleh iman serta kilau keyakinan ini, manusia
sebenarnya telah mati meski masih berada di kalangan orang-orang yang hidup. Alloh
ta'alaa berfirman:
"Dan apakah orang yang
sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan yang dengan cahaya itu dia
dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang
keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari
padanya?... QS. Al An'aam:
122.
Atas dasar inilah
tarbiyah kita dalam jamaah ini mengarah kepada pelestarian kehidupan hati agar
tidak mati, memakmurkannya supaya tidak sepi dan melunakkannya agar tidak keras
(tandus). Sungguh Alloh telah menegur ahli iman dengan firmanNya:
"Belumkah datang waktunya bagi
orang-orang yang beriman, untuk tunduk (luluh) hati mereka mengingat Alloh
dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka dan janganlah mereka
seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi
keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik" QS.
al Hadiid: 16.
Dan adalah Nabi ShalAllohu
Alaihi wa Sallam memohon perlindungan dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati
yang tidak tunduk (luluh), amal yang tidak diangkat (diterima) dan doa yang
tidak dikabulkan.
Hati manusia tidak berbeda dengan tubuhnya dalam
selalu membutuhkan tiga hal:
1.
Penjagaan agar selamat.
2.
Makanan agar hidup
3. dan
Pengobatan agar sembuh.
Pertama, menjaganya dari hal yang disebut oleh Baginda
Rasulullah ShalAllohu Alaihi wa Sallam dengan Wahan,
kecintaan akan dunia yang merupakan pangkal segala kesalahan dan akar semua
penyakit, dan Karahiyyatul maut, enggan dengan kematian yang menafikan
kenyakinan akan akhirat serta menggerus perasaan selalu mengingat janji pahala
di sisi Alloh serta siksaan dariNya.
Dengan Wahan manusia
terseret kepada sesuatu yang lebih berbahaya bagi dirinya; yaitu
kemauan-kemauan hati dan keinginan-keinginan nafsu yang berupa cinta kedudukan
dan kekuasaan, mencari popularitas dan sanjungan, menuhankan makhluk Alloh,
hanya berusaha mendapatkan tepuk riuh massa dan ngatok (asal bapak
senang) dengan para tokoh, serta berbagai corak perkara maknawi yang bisa menghancurkan
individu dan jamaah. Hal-hal yang menghancurkan (muhlikat) maknawi ini
lebih berbahaya dibanding dengan muhlikaat zhahir seperti halnya
mencuri, berzina dan meminum miras.Jadi hawa nafsu adalah tuhan terburuk yang
disembah di bumi sebagaimana Alloh berfirman,
"...Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Alloh
sedikitpun..." QS. Al Qashash: 50.
Kedua, memberinya makanan berupa kontinuitas, senantiasa
mengingatNya, bersyukur kepadaNya, dan berbuat Ihsan dalam beribadah kepadaNya
sebagai sarana meraih Izzah, kemuliaan yang memang diperintahkan oleh Alloh
agar kita mencarinya. Alloh berfirman,
"Barangsiapa yang
menghendaki kemuliaan, maka bagi Alloh-lah kemuliaan itu
semuanya. KepadaNyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang
shaleh dinaikkanNya..." QS. Fathir: 10.
Jadi kemuliaan bukan
dengan harta benda, pangkat, kedudukan dan keturunan, tetapi kemuliaan bisa
diraih hanya dengan al Kalim at Thayyib; yaitu kalimat tauhid dan
seluruh ibadah-ibadah lisan yang disertai amal shaleh yang bekerja (berfungsi)
untuk meninggikan dan menjayakannya (baik dalam wilayah individu, keluarga,
masyarakat dan negara). Sementara keutamaan berdzikir tidak terbatas pada
tasbih, tahlil, tahmid,takbir dll. Justru semua orang yang beramal ketaatan
karena Alloh ia termasuk orang yang berdzikir kepada Alloh.
Karena itulah setiap dari
kita hendaknya betul-betul memperhatikan keharusan-keharusan secara individu
atau jamaah (iltizamaat fardiyyah atau jama'iyyah) khususnya;
1. Menghadiri majlis
taklim yang disabdakan Rasulullah Shollallohu alaihi wassallam:
"Barangsiapa keluar mencari ilmu maka ia berada
di jalan Alloh sampai ia kembali". HR. Turmidzi.
Persamaan mencari ilmu
dengan jihad fi sabilillah adalah realitas mencari ilmu yang merupakan
usaha menghidupkan agama dan menghinakan setan, memayahkan diri serta
memecahkan hawa nafsu dan kelezatan. (Dalil al Falihin 4/197).
2. Mengagungkan dan
mendirikan syiar-syiar Alloh. Berdasarkan firmanNya:
"Demikianlah
(perintah Alloh). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Alloh, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati". QS. Al Hajj:
32.
Ketiga, mengobatinya dengan sesuatu yang bisa menjadikannya
baik dan bersih guna membangkitkan perasaan beragama (as syu'ur ad diinii),
mengembangkan dorongan dari dalam diri sendiri, dan memenangkan an nafs al
lawwaamah atas an nafs al ammaarah bi as suu'. Sesuatu itulah
yang disebut jadwal "Muhasabah", jadwal yang memuat beberapa pertanyaan
yang diajukan oleh seseorang kepada diri sendiri dan harus dijawabnya sendiri
dengan "ia" atau "tidak" agar ia mengetahui sampai di mana
tingkat penjagaan atau keteledorannya. Inilah Muhasabah yang secara sempurna hanya
terjadi dalam internal dirinya sendiri tanpa ada pengawas kecuali Alloh ta'aalaa.
Di antara pertanyaan itu umpamanya:
Apakah anda telah
menjalankan sholat maktubah tepat waktu?
Apakah anda
menjalankannya dengan berjamaah?
Apakah anda menjalankan
Qiyamullail?
Apakah anda telah membaca
wirid harian, alQuran atau yang lain?
Apakah anda telah
mengunjungi saudara fillaah? Apakah...? Apakah...?
Begitu pula halnya atas
ketelodoran di sisi Alloh ta'alaa supaya amal shalehnya tidak tertimpa
bencana-bencana seperti ujub, riya', kibr, ghurur, ghuluw
fiddin, iri hati, melihat diri sendiri, merendahkan orang lain dll. dari
berbagai macam penyakit hati.
Dan saya berikan
tadzkirah kepada anda sekalian tentang hadits Rasulullah Shollallohu Alaihi
wa Sallam:
"Barangsiapa yang bergembira karena kebaikannya
dan susah karena keburukannya maka dia-lah orang yang (benar-benar)
beriman". HR. Thabarani.
Dan ungkapan Ali Rodliyallohu
‘Anhu. :
"Keburukan yang menyebabkan kamu susah lebih baik
daripada kebaikan yang menjadikanmu berbangga"
Dan ucapan Ibnu
Atho'lillah As Sakandari pengarang kitab "Al-Hikam":
"Seringkali terbuka pintu ketaatan bagimu tetapi
tidak terbuka (bersamanya) pintu penerimaan (qabuul). Seringkali
kamu terlibat dalam kemaksiatan yang justru kemaksiatan yang menyebabkan
rasa hina dan rendah diri lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan
bangga diri dan rasa sombong
Blogger Comment
Facebook Comment