Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya.
Membahas
sholawat dan keutamaannya, bagaikan menghitung rintik hujan yang turun di
tengah samudra. Luas, Tak terhitung dan takkan pernah terjangkau. Merenungi
kembali sebuah sosok pribadi mulia, yang diutus Alloh sebagai bentuk rahmatNya
untuk alam semesta. Pribadi pilihan yang sempurna dari segala aib dan cela.
Pribadi yang disiapkan Alloh untuk selalu menjadi contoh, suri tauladan (uswah)
dalam setiap tindak-tanduk kehidupan. Sang Kekasih Alloh, Rosululloh Muhammad
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Maka
tidaklah menjadi sebuah hal yang mengherankan jika kemudian Alloh juga
mencintai orang-orang yang ikhlas dalam mencintai kekasihNya, memberikan mereka
penghargaan serta cucuran rahmat yang berlipat, meridloi mereka serta kemudian
memasukkan mereka dalam surgaNya yang kekal. Sebagaimana Sabda Rosul,
“Barangsiapa
yang bersholawat kepadaku satu kali, maka Alloh akan mengkaruniakan rahmat
baginya sebanyak sepuluh kali lipat” (HR. Muslim)
Dan
sabda beliau di hadits yang lain,
“Barangsiapa
yang menghidupkan sunnahku, maka ia telah sungguh-sungguh mencintaiku, dan
barangsiapa yang mencintaiku, maka kelak dia akan bersamaku di dalam surga”
(Hadits)
Subhanalloh... Semoga kita semua bisa mendapatkan anugrah Alloh yang
besar ini, Amiin...
Untuk
itulah, dalam ayat tersebut di atas, Alloh ingin menegaskan kepada kita akan
tingginya keutamaan yang bisa kita dapatkan dari sholawat kepada Nabi Muhammad
Shollallu ‘Alaihi wa Sallam. Dan sebagai bentuk besarnya perhatian Alloh kepada
kita, Kaum Mukmin. Dibuktikan dengan dimulainya sholawat itu oleh Dzat Alloh
sendiri berupa kucuran rahmat, yang kemudian diikuti oleh para malaikat yang
suci berupa do’a dan istighfar. Lantas kemudian, Alloh perintahkan langsung
kepada kita, Kaum Mukmin -kaum yang mengaku patuh dan cinta pada Alloh dan
RosulNya- untuk mengikuti langkah dan contoh yang telah Alloh lakukan
beserta para malaikatNya tersebut.
Hal
inilah kemudian yang kita sebut dengan istilah perantara (Al-washitoh/wasilah).
Perantara untuk pendekatan diri kepada Alloh, perantara untuk mendapatkan
rahmat dan ridloNya, di dunia dan kelak di akhirat.
Dalam
satu sisi bukanlah merupakan sebuah pendapat yang salah, saat kemudian beberapa
di antara kita, percaya dan meyakini bahwa hanya ketakwaanlah yang bisa
menjadikan sebab kecintaan dan keridloan Alloh pada kita. Karena sebagaimana
kita pelajari dari Sabda Rosululloh,
“Dunia
ini dan segala isinya terlaknat, kecuali dzikir kepada Alloh, atau sesuatu yang
mengingatkan kita kepadaNya”
Disabdakan
bahwa dunia dan segala isinya ini terlaknat tiada lain karena bisa menyebabkan
kita lupa, lalai dan jauh dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Hanya dzikir, dan
hal-hal yang membuat kita ingat padaNya, semisal mempelajari ilmu agama,
berdakwah, dan lain sebagainya yang membuat kita tetap dalam lindungan rahmat
dan keridloanNya. Dan hal itulah yang disebut dengan ketakwaan, sebuah kunci
utama yang paling penting dalam hidup kita. Karena semakin kita bertakwa kepada
Alloh dengan mengikuti sunnah-sunnah Rosululloh, Maka semakin besar kecintaan
dan rahmat yang kita dapatkan dariNya.
Sebagai
ukuran, ketakwaan bisa kita nilai pada bentuk keistiqomahan seseorang dalam
melaksanakan sholat lima waktu di tengah-tengah kesibukannya yang tinggi. Dan
bisa kita perhatikan pula pada kegigihan seseorang dalam berusaha untuk tidak
melakukan maksiat di manapun ia berada. Lain halnya ukuran tersebut bagi
seorang santri yang banyak memiliki waktu luang dan hidup di tengah-tengah
suasana yang agamis serta terjaga. Jika ia “hanya” melakukan keistiqomahan
sholat lima waktu saja layaknya orang yang memiliki kesibukan tinggi, maka
tidak bisa dipungkiri hal ini sudah jelas merupakan sebuah kemunduran dan
kekalahan yang telak.
Inilah
yang perlu menjadi perhatian kita, bahwa ketakwaan dan keimanan dalam diri kita
tidaklah tetap, sama dan stabil. Ia bisa bertambah dan berkurang, naik-turun,
memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Tinggi, sedang dan bahkan ada pula yang
rendah. Hingga dari sinilah, mau-tidak mau harus kita akui akan pentingnya
posisi perantara (wasithoh) sebagai sarana penyelamat kita di akhirat
kelak.
Untuk
lebih meluaskan pemikiran kita akan washithoh tersebut. Ada baiknya kita
coba mengkaji lebih dalam dengan pikiran yang sehat tentang Rosululloh
Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Yang jikalau beliau memang diutus Alloh untuk
menjadi rahmat terbesar untuk semesta alam, maka sudah pasti apa yang beliau
bawa dan ajarkan -yaitu Al-Qur’an- juga merupakan rahmat dari Alloh
Subhanahu wa Ta’ala. Dan jika kita sudah meyakini kesucian akan kandungan isi
Al-Qur’an, maka sudah seharusnya kita melakukan segala apa yang Alloh
perintahkan di dalamnya. Nah, jika hal itu juga sudah kita kerjakan, maka tidak
ada alasan lagi bagi kita untuk kemudian beranggapan bahwa sholawat merupakan hal
yang tidak penting untuk dilaksanakan. Mengapa? Karena perintah sholawat,
datangnya tidak dari Rosul, melainkan langsung dari Dzat Alloh sendiri yang difirmankan
dalam Al-Qur’an.
Untuk
itulah, sungguh sangat disayangkan bila di tengah gempita alam semesta dalam mengharapkan
washitoh keselamatan dengan bersholawat, masih ada golongan yang antipati
bahkan benci terhadap sholawat. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un...
Dan
adapun bahasan mengenai munculnya pendapat yang mempermasalahkan akan redaksi
sholawat dan cara membacanya yang diperbolehkan, dalam hal ini As-Sayyid
Muhammad ibn ‘Alawy Al-Maliky, Imam Ahlus-Sunnah wal Jama’ah abad ke-21
berpendapat, bahwa diperbolehkan bersholawat dengan redaksi apa saja dan
membacanya dengan bersenandung (dilagukan), dengan catatan lagu yang
disenandungkan masih dalam batas kesopanan (Tidak menggunakan irama yang bisa menghilangkan
khidmat sholawat itu sendiri). Beliau juga menambahkan dan memberikan sebuah
penjelasan, bahwa tidak ada ketentuan khusus dalam ayat ke-56 dari surat Al-Ahzab
tersebut yang menjelaskan batasan redaksi dan tata cara bersholawat.
Pendapat
beliau ini, ternyata sejalan dan merupakan buah pemikiran ulama’ salaf yang
kemudian melahirkan beragam macam formula sholawat yang memudahkan kita untuk
mengamalkannya sesuai kebutuhan. Semisal Sholawat Fatih yang bersanad pada Imam
Abul ‘Abbas At-Tijani, pendiri thoriqoh Tijaniyah. Sholawat At-Taziyah, atau
yang lebih kita kenal dengan Sholawat An-Nariyah. Sholawat Taisiir, untuk
memohon kemudahan dalam segala urusan, dan lain sebagainya.
As-Sayyid
Muhammad Al-Maliky juga menegaskan bahwa Barangsiapa yang tidak pernah dan
tidak suka bersholawat kepada Nabi Muhammad Shollallu ‘Alaihi wa Sallam, maka
ia bukanlah golongan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Dan
salah satu Ulama’ Salaf yang menekankan pada diri dan juga murid-murid beliau
untuk selalu bersholawat pada Rosululloh, adalah Imam Muhammad ibn Idris, atau
yang lebih kita kenal dengan nama Imam As-Syafi’i. Sehingga dalam salah satu
ijtihadnya, beliau mewajibkan bacaan sholawat pada Rosululloh dalam salah satu
rukun sholat yaitu pada tasyahud akhir. Untuk itulah, seyogyanya bagi kita
berterima kasih kepada beliau akan ijtihad yang beliau lakukan ini, karena
dengannya kita pun bisa bersholawat pada Nabi setiap hari.
Dari
ini semua saudaraku, Jikalau dalam melakukan sebuah amal kita masih membutuhkan
kemantapan dan keyakinan dengan adanya sebuah contoh dan bukti dalam
melakukannya, maka tidak cukupkah bila contoh itu berasal dari Dzat Alloh
sendiri dan para malaikatNya? Jika itu tidak cukup, lalu contoh dan bukti apalagi
yang kita butuhkan untuk meyakinkan diri kita akan tingginya keutamaan sholawat
pada Rosululloh Shollallu ‘Alaihi wa Sallam..?
Wallohu Subhanahu
wa Ta’ala A’lam
Blogger Comment
Facebook Comment