Belenggu Lingkaran Kebajikan

Belenggu
Lingkaran Kebajikan 


Belenggu Lingkaran Kebajikan Dalam kehidupan ini ketika ditanya hal apakah yang paling anda sukai dan saat melakukannya ada rasa sangat nikmat dan menyenangkan maka setiap orang pasti memiliki jawaban yang berbeda. Dalam hal makanan misalnya; maka ada yang sangat suka dengan masakan padang, soto lamongan, pecel madiun dan seterusnya. Dalam minuman juga demikian; ada yang sangat gemar minum teh, kopi dll. Syekh Abdullah bin Alawi al Haddad cukup gemar meminum kopi dan bahkan memiliki tuntunan membaca do’a minum kopi secara khusus malam hari berbeda dengan jika meminumnya di siang hari. Jadi kondisi seperti ini lumrah dan bukan sesuatu yang salah dilihat dari sisi pandang agama. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri disebutkan sangat menyukai manisan dan madu. Aisyah ra meriwayatkan: “Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sangat menyukai manisan dan madu”(HR Turmudzi/1891). Beliau juga sangat menyukai sayur labu. Abu Thalut berkata: [Suatu kali aku berkunjung ke rumah Anas bin Malik ra saat Beliau sedang menikmati labu sambil berkata: “Engkau adalah tanaman yang ku sukai karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyukaimu”(HR Turmudzi/19109)]. Imam Malik, penyusun kitab al Muwattha’, perintis madzhab fiqih maliki serta rujukan fatwa di masanya, disebutkan setiap hari pasti mengkonsumsi daging dalam batas kewajaran. Bahkan Beliau dikenal cukup gemar memakan buah pisang. Sejauh mana tingkat hobi Beliau memakan buah pisang bisa diukur dari kesaksian Beliau: [Tak ada buah apapun yang paling mirip buah surga daripada buah pisang. Buah yang tidak mengenal musim yang kapanpun kamu mencarinya pasti mendapatkannya; baik di musim hujan atau di musim kemarau] selanjutnya Beliau mensitir firman Allah:

...أَكْلُهَا دَائِمٌ وَظِلُّهَا ...

“…buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula)….“(QS Ar ra’d:35).

Kegemaran dalam urusan dunia dari makanan, minuman dan pemenuhan kebutuhan biologis masih belum cukup. Ini semua adalah kegemaran dalam pemenuhan naluri mempertahankan hidup dan naluri lawan jenis. Kegemaran ini masih belum mampu secara utuh membuat kehidupan manusia tentram karena pada diri kita juga ada naluri beragama yang baru bisa terpenuhi dan terpuaskan jika seseorang memiliki kegemaran melakukan suatu aktivitas peribadatan atau secara murni bernilai akhirat. Bahkan jika bisa maka kegemaran melakukan aktivitas ini harus memunculkan rasa nikmat daripada pemenuhan kedua naluri sebelumnya. sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ النِّسَاءُ وَالطِّيْبُ وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِى الصَّلاَةِ

“Dicintakan kepadaku dari dunia kalian; para wanita dan wewangian dan dijadikan ketenanganku di dalam shalat” (HR Nasai-Thabarani).

Hadits ini memberitakan kepada kita bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak hanya menyukai wanita dan wewangian, tetapi juga sangat hobi menjalankan aktivitas ibadah yang dalam hal ini adalah shalat. Bagi Beliau shalat adalah sarana rileksasi, penyegaran tubuh dan fikiran. Saking hobinya dengan shalat, setiap kali kelelahan mulai menghinggap maka Beliau bersabda:”Wahai Bilal, Istirahatkanlah kami dengan shalat!”dan jikalau ada urusan yang berat maka Beliau bersegera melakukan shalat. Hudzaifah ra meriwayatkan:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ فَزَعَ إِلَى الصَّلاَةِ

“Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam jika terhimpit masalah maka Beliau mengungsi kepada shalat” (HR Abu Dawud).

Hadits ini menjadi dalil adanya shalat lil mushibah. Dari sini bisa dimengerti kenapa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam jika melakukan shalat malam maka sungguh shalat Beliau cukup panjang dan sangatlah baik. Sama sekali tidak terasa oleh Beliau kakinya yang bengkak yang menjadikan Aisyah ra, isteri tercinta hatinya tergugah dan merasa kasihan sehingga mengatakan kepada sang suami; “Mengapa engkau memaksakan hal ini padahal Allah telah mengampuni anda dari segala yang telah berlalu dan yang akan terjadi?“ Beliau menjawab: “Kenapa aku tidak menjadi hamba yang banyak bersyukur?” Muttafaq alaih.  Kegemaran dalam shalat sehingga kaki membengkak ini dalam sebuah versi riwayat juga diteladani oleh puteri kesayangan Beliau Fathimah Az Zahra’ ra.

Para sahabat radhiyallahu anhum juga demikian halnya. Masing-masing dari mereka rata-rata memiliki sebuah hobi dan keasyikan hati dalam melakukan sebuah amal ibadah sehingga tidak ada rasa lelah atau mengantuk melakukan ibadah tersebut sekalipun harus berlama-lama di dalamnya. Umar ra misalnya; setiap kali selesai shalat berjamaah Isya’ di masjid maka Beliau segera pulang kemudian melakukan shalat di rumahnya hingga terbit waktu fajar. Utsman bin Affan ra pun demikian. Isterinya pernah mengatakan kepada para pemberontak: “Jika kalian membunuh atau membiarkan Utsman maka sungguh dia senantiasa menghidupkan malam hanya dengan satu rakaat dengan satu khatam Alqur’an”. 

Nafi’ menceritakan: Ibnu Umar ra biasa menghabiskan malam dengan shalat. Ketika salam maka ia bertanya: “Hai Nafi’, apakah kita telah memasuki waktu sahur?” ketika diberikan jawaban belum maka Beliaupun melanjutkan shalat hingga ketika waktu sahur tiba Beliau berhenti shalat dan menghabiskan waktu tersebut untuk beristighfar dan berdo’a. Ali bin Abi Thalib ra juga demikian; disebutkan bahwa Beliau dalam sehari juga biasa mengkhatamkan Alqur’an delapan kali. Abdulllah bin Amar bin Ash ra juga biasa mengkhatamkan Alqur’an setiap tiga hari sekali.  Kisah-kisah tersebut menunjukkan betapa Utsman bin Affan ra, Ali ra dan Abdullah bin Amar ra sangat gemar membaca Alqur’an.


Baca Artikel Lainnya : "Sedekah Hari Jumat"


Abdullah bin Rawahah ra, pahlawan Islam yang syahid di medan mu’tah, Beliau begitu gemar berdzikir bersama sehingga ketika bertemu teman maka tak ada pembicaraan yang dimulai sebelum dibuka dulu dengan berdzikir bersama. Ummu Darda’, isteri kedua Abu Darda’ ra, berkata: “Kalian merasa telah membuatku bosan? Sungguh aku telah mencari ibadah dalam segala hal dan ternyata tidak menemukan sesuatu yang lebih menentramkan jiwaku melebihi majlis-majlis dzikir" (Majma’ al Ahbaab 6/67). 

Shalat, membaca Alqur’an dan berdzikir adalah laksana telaga di padang pasir yang bisa menghilangkan dahaga sekaligus menyegarkan tubuh. Ketiga aktivitas ini semestinya menjadi  seperti sarang lebah madu yang memungkinkan bagi setiap orang beriman untuk menghisap rasa manis madu sehingga semakin merasakan manis dan khasiatnya ia pasti semakin sering pula menghisapnya. Jika hal demikian tidak terjadi maka perlu kiranya mengingat kembali ungkapan Hasan al Bashri; “Carilah oleh kalian rasa manis dalam tiga hal; shalat, membaca Alqur’an dan berdzikir. Jika ini tidak ada maka mengertilah bahwa pintu (hatimu) tertutup”

Ibadah apapun jika diteliti memang menjadi kesenangan para generasi salaf. Kendati demikian di antara mereka tidak sama dalam model ibadah yang paling mereka senangi. Imam Syafii misalnya; Beliau berkata: "Andai bukan karena ada teman yang sholeh, munajat kepada Allah di waktu sahur maka aku tidak ingin hidup di dunia ini" Abu Dzarr ra berkata: "Andai bukan karena berteman dengan manusia pilihan, munajat kepada Allah di waktu sahur dan merasakan haus puasa di musim panas niscaya aku tidak ingin hidup di dunia ini". Lain halnya dengan Khalid bin Walid ra yang begitu suka dan merasa nikmat jika berada di tengah kancah peperangan hingga pernah mengeluarkan statemen: "Sungguh berada di tengah malam sunyi dalam suasana perang; menebas atau ditebas oleh lawan, lebih terasa menyenangkan bagiku daripada didatangkan kepadaku pengantin wanitaku". Muhammad bin al Munkadir berkata: "Tiada tersisa dari kelezatan dunia kecuali tiga hal; qiyamullail, bertemu teman dan shalat berjamaah"

Adalah Tsabit al Bunani, kecintaan akan shalat membuatnya selama lima puluh tahun dalam Qiyamullail berdo’a: “Ya Allah;jika Engkau Memberikan shalat di dalam kubur kepada seseorang maka berikanlah itu kepadaku” Yasar bin Jaesy dari ayahnya menyebutkan: Saya, Humed dan seorang lagi bersama meletakkan jenazah Tsabit di liang lahatnya. "Ketika tanah makam sudah diratakan mendadak ada sebagian yang terpecah dan ketika itulah kami melihat ia melakukan shalat di dalam kuburnya”

Seperti halnya pecandu obat-obatan yang merasa sakit jika terlewat tidak mengkonsumsi obat atau seorang yang hobi memakan atau meminum suatu makanan dan minuman pada waktu-waktu tertentu dan tidak akan merasa tenang atau enjoy jika waktu itu makanan dan minuman kesukaannya belum berada di hadapannya, begitulah kiranya potret seorang yang sudah merasakan manisnya suatu amalan ibadah. Jika ibadah itu terlewat maka perasaan tidak enak segera datang menyergap. Penyesalan pun menggurat jelas di wajahnya sehingga ia berusaha bagaimana mencari ganti dari kelezatan ibadah yang telah biasa dirasakan.Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri ketika terlewat tidak menjalankan Qiyamullail maka di siang harinya Beliau menggantinya dengan shalat dua belas rakaat. Disebutkan pula ada seorang yang ketinggalan tidak mengikuti shalat jamaah isya’. Ia sangat menyesal sehingga pergi ke sana kemari mencari teman untuk shalat berjamaah. Setelah lama berkeliling dan tidak mendapatkannya maka iapun shalat Isya’ sendiri dengan mengulangnya dua puluh tujuh kali diserta harapan bisa mendapatkan pahala sama dengan orang yang berjamaah. Usai shalat iapun tertidur dan bermimpi sedang berada dalam rombongan berkuda. Tapi ada yang beda, ternyata kudanya terlihat paling kurus dan terbelakang sehingga meski dilecut tetap saja berjalan paling belakang dan tidak bisa seiring dengan teman-temannya.

Selain hal tersebut, seorang yang terpaksa kehilangan kelezatan ibadah pasti segera menanggalkan dan meninggalkan segala hal yang menjadikan dirinya sempat terlepas dari kelezatan rutinitas ibadahnya. Adalah Sayyidina Umar ra; suatu ketika karena asyik menikmati indahnya kebun kurma miliknya sehingga Beliau ketinggalan shalat jamaah Ashar dan karena menyesal maka kebun kurma kesayangannya pun diwakafkan di jalan Allah. Adalah Nabi Sulaiman alaihissalaam, ketika terpampang di hadapan Beliau sekitar dua puluh ribu kuda pilihan (dalam sebuah versi) di waktu sore hari maka rasa asyik menyaksikan kuda-kuda sarana berjihad di jalan Allah itu menjadikan Beliau lupa shalat Ashar seperti halnya pernah terjadi pada diri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika terkonsentrasi kepada Yahudi Bani Quraizhah. Akhirnya kuda-kuda tersebut seluruhnya disembelih. Hal ini diceritakan oleh Allah dalam Alqur’an: “(ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore, maka ia berkata: "Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan". QS Shaad:31-32. Selanjutnya Nabi Sulaiman alaihissalaam bertitah:

رُدُّوْهَا عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحًا بِاْلأَعْنَاقِ

“Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku". Lalu ia potong kaki dan leher kuda itu“ (QS Shaad: 33).

Ketagihan akan nikmatnya sesuatu juga cenderung membuat seseorang tidak mempedulikan resiko apapun; tidak mempertimbangkan situasi dan kondisi. Fokus fikirannya adalah bisa merasakan nikmat yang sudah membelenggu hatinya. Inilah yang terjadi pada Abdullah bin Ummi Maktum ra yang kendati buta masih tetap menawarkan diri untuk ikut serta berjihad karena menginginkan mendapat kemuliaan Jihad. Hal ini pula yang menjadi alasan ketika kita mendengar ada seorang berilmu yang masih tetap aktif mengajar kendati dalam keadaan sakit karena baginya mengajar adalah aktivitas indah yang bisa menjadi tempat melupakan segala beban derita.  

Selanjutnya semakin seseorang merasakan indah melakukan sesuatu maka semakin lama pula waktu yang diluangkan untuk sesuatu tersebut. Seorang pencari ilmu yang sudah merasakan nikmatnya ilmu tentu akan banyak sekali waktu yang dilewatinya untuk membaca, menghadiri kajian dan segala aktivitas yang bisa memberikan tambahan ilmu sehingga secara otomatis ia akan menjadi manusia yang banyak memiliki ilmu. Ia menjadi manusia yang pandai karena pundi-pundi ilmunya terus bertambah. Inilah yang menampak pada diri sebagian besar para ilmuwan, termasuk jawara di bidang ilmu alat (Nahwu/Shorof) Imam Ibnu Malik penulis nazham Alfiyyah. Di akhir-akhir desahan nafas hidupnya Beliau masih sempat menghafalkan dua bait syair. Rasa nikmat bergaul dekat dengan ilmu juga menjadikan sebagian ulama terdahulu ada yang tidak sempat makan sendiri sehingga harus disuapi agar dirinya tidak terputus dari membaca. 

Dan tentu saja jika sesuatu itu terkait dengan aktivitas pekerjaan maka seseorang akan semakin mahir dan lihai menjalankan pekerjaannya. Atau dalam bahasa Islam dia semakin mampu berbuat Ihsan /profesional. Dengan begitu ada tiga kebaikan sekaligus yang didapatkan di mana ketiganya ini saling terkait. Waktu yang lama, merasa nikmat dan Ihsan. Dalam teori motivasi, ketiga hal ini disebut dengan lingkaran kebajikan keberhasilan atau virtuous circle of success.  Tingkat Kemahiran Banyaknya waktuyang diluangkan Tingkat Kenikmatan

Diagram ini menggambarkan lingkaran kebajikan keberhasilan; makin anda nikmati sesuatu, makin banyak waktu anda habiskan untuk itu, makin meningkat kemahiran anda, dan dengan demikian andapun akan makin menikmatinya. Kendati disebut lingkaran bukan berarti seperti lingkaran sungguhan yang tidak dikenali pangkal dan ujungnya. Tidak ditemukan asal dan cabangnya seperti halnya telor dan ayam. Lingkaran tersebut muncul sebagai buah dari aktivitas rutin yang dijalankan sehingga menjadi profesional dan merasakan keasyikan yang akhirnya banyak waktu yang diluangkan sehingga semakin bertambah profesional dan semakin manis dirasakan. Seorang ulama berkata: [Saya berjuang menghidupkan malam selama 20 tahun dan barulah bisa merasakan lezatnya selama 20 tahun berikutnya]. 

Rasa nikmat bersama sesuatu menjadikan seseorang enggan meninggalkan sesuatu tersebut meski ada sekian halangan dan rintangan. Baginya seseuatu tersebut sangat sayang jika ditukar dengan yang lain. Adalah Imam Abu Yusuf, disebutkan bahwa ketika anaknya meninggal dunia maka santri Imam Abu Hanifah ini tidak mampu menyempatkan diri mengantar jenazah anaknya sampai ke pemakaman. Ia hanya bisa mengantar hingga pintu pagar madrasah di mana ia tinggal. Semua ini terjadi karena fikiran Beliau benar-benar terfokus kepada ilmu.

Rasa nikmat bersama Allah; hidup tunduk dan patuh kepada perintah-perintahNya, percaya penuh akan penjagaan Allah jugalah yang menjadikan seorang al Khalil Nabiyullah Ibrahim alaihissalaam tanpa rasa takut menghadapi eksekusi mati dalam kobaran api. Hasbiyallah, Allah Dzat yang pasti mencukupiku. Inilah yang justru diucapkan oleh Beliau saat menjawab tawaran bantuan malaikat Jibril. Rasa nikmat bersama Allah pula yang menjadikan Beliau mampu melepaskan naluri sebagai suami dan sebagai ayah sehingga tanpa menoleh mantap berlalu meninggalkan isteri dan anaknya yang masih bayi di gurun sahara. Rasa nikmat bersama Allah pula yang membuat Beliau begitu bersemangat dan tanpa menjalankan perintah Allah agar menyembelih anaknya yang masih muda belia. Allahu A’lam.



Share on Google Plus

About tdmenha pujon

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment