Da’i Berakhlak Tinggi
Allah azza wajalla berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
“Jadilah engkau pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh!” (QS al A’raaf:199)
Analisa Ayat
Dakwah adalah tugas para nabi alaihimussalam. Barang siapa yang sudah bertekad melanjutkan tugas mereka, maka harus terus belajar mengikuti metodologi yang mereka praktekkan yang di antaranya adalah seperti disebutkan dalam ayat ini yaitu;
- Menjadi Pribadi Pemaaf dan Murah Hati
Khudzil Afwa. Salah satu tafsirannya adalah menjadilah seorang yang pemaaf! Artinya seorang da’i harus mampu memaafkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh obyek dakwah baik berupa ucapan atau tindakan, terutama sekali saat kesempatan datang untuk membalas kesalahan-kesalahan tersebut. Hal yang tentunya sangatlah berat dijalankan. Akan tetapi barangkali akan dimudahkan oleh Allah jika seorang da’i memiliki banyak data mengenai bagaimanakah seorang nabi atau seorang pendakwah disakiti dan kemudian memaafkan meski saat itu kesempatan untuk membalas terbentang luas.
Tentu di samping juga memiliki ilmu-ilmu tentang keutamaan memaafkan. Di sinilah letak pentingnya memiliki hati yang lapang. Tafsiran ini selaras dengan riwayat bahwa ketika ayat ini diturunkan, Rasulullah Saw bertanya: “Wahai Jibril, apakah pengertian ayat ini?” Jibril menjawab: “Sehingga saya bertanya?” Jibril lalu naik dan kemudian turun dan lalu menjelaskan: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah Memerintahkan kepadamu agar engkau memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadamu, memberikan sesuatu kepada orang yang menjagalmu, dan agar engkau menyambung orang yang memutuskan hubungan denganmu!” Maka beliau Saw bersabda: “Maukah kalian kutunjukkan akhlaq dunia dan akhirat yang paling utama?” Mereka (para sahabat) bertanya: “Apakah itu wahai Rasulullah?” beliau bersabda: “Kamu memaafkan orang yang menzhalimimu, memberi orang yang menjegalmu, dan menyambung orang yang memutusmu!” (HR Ibnu Marduweh dari Jabir ra)
Tentu di samping juga memiliki ilmu-ilmu tentang keutamaan memaafkan. Di sinilah letak pentingnya memiliki hati yang lapang. Tafsiran ini selaras dengan riwayat bahwa ketika ayat ini diturunkan, Rasulullah Saw bertanya: “Wahai Jibril, apakah pengertian ayat ini?” Jibril menjawab: “Sehingga saya bertanya?” Jibril lalu naik dan kemudian turun dan lalu menjelaskan: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah Memerintahkan kepadamu agar engkau memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadamu, memberikan sesuatu kepada orang yang menjagalmu, dan agar engkau menyambung orang yang memutuskan hubungan denganmu!” Maka beliau Saw bersabda: “Maukah kalian kutunjukkan akhlaq dunia dan akhirat yang paling utama?” Mereka (para sahabat) bertanya: “Apakah itu wahai Rasulullah?” beliau bersabda: “Kamu memaafkan orang yang menzhalimimu, memberi orang yang menjegalmu, dan menyambung orang yang memutusmu!” (HR Ibnu Marduweh dari Jabir ra)
Tafsiran berikutnya tentang Khudz al Afwa adalah agar seorang da’i respek kepada segala perilaku manusia yang memang secara alamiah berbeda-beda. Tidak perlu mengharuskan mereka seperti ini seperti itu. Hal ini akan membuat seorang da’i bisa bersikap fleksibel dan mampu menjalin keakraban dengan obyek dakwah siapapun dalam perbedaan status dan strata mereka. Rasulullah Saw bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ آخُذَ الْعَفْوَ مِنْ أَخْلاَقِ النَّاسِ
Dan di antara tafsir Khudz al Af wa seperti diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas ra adalah infaq kanlah kelebihan (rizkimu). Disebutkan bahwa ketika ayat ini diturunkan maka seseorang hanya mengambil dan menyimpan harta sesuai kecukupannya dan lalu menyedekahkan kelebihannya. Allah pun menghapus syariat ini dengan syariat zakat. Imam Muhammad bin Ahmad al Anshari Al Qurthuby mengatakan: “Khudzil Afwa mencakup menyambung orang yang memutuskan, memaafkan orang yang berdosa dan berbuat lemah lembut kepada orang-orang beriman dll”.
- Peduli Pada Kebaikan
Sudah barang tentu seorang da’i harus memiliki sensivitas terhadap keburukan dengan membenci dan melakukan usaha menghapusnya. Memiliki sensivitas kepada kebaikan dengan menyerukannya jika belum ada, dan atau mendukungnya apabila memang sudah ada. Wa’mur bil Urf. Kata al Urf memiliki arti segala sesuatu yang sudah dikenal oleh kaum muslimin yang berupa segala perintah syariat. Kata ini mencakup segala kebaikan berupa ketaatan atau kebaikan kepada sesama.
Sebagian ulama mengatakan: "Ayat ini menjadi dasar untuk melestarikan budaya dan tradisi yang telah berlaku di kalangan umat selama tidak bertentangan dengan syariat". Dalam hukum fiqih, adat mendapatkan tempat yang luar biasa sehingga muncul kaidah:
الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Adat bisa dijadikan sebagai patokan hukum
Ini berlandaskan hadits mauquf pada Abdullah bin Mas’ud ra:
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
Maknanya seorang da’i harus bersikap toleran kepada budaya masyarakat. Jangan lantas dengan senjata bid’ah kemudian menghabisi segala sesuatu yang tidak sejalan dengan ide dan pemikiran. Hal inilah yang sekarang banyak dilakukan oleh orang-orang muda yang memiliki semangat tinggi dalam beragama akan tetapi tidak didukung oleh pengetahuan yang cukup dalam agama serta beragama tanpa bimbingan seorang guru yang memiliki sanad sambung dengan Rasulullah Saw.
Baca Artikel Lainnya : "Kenali Dia dalam Suka & Duka"
Sebagai agama paripurna, islam sendiri banyak mempertahankan dan bahkan menjadikan bagian darinya beberapa tradisi baik yang sudah berjalan sebelum kedatangan islam seperti halnya syariat membayar diyat seratus unta bagi orang yang membunuh tanpa sengaja atau membunuh dengan sengaja tetapi keluarga korban memberikan maaf. Pernikahan dalam islam seperti sekarang ini juga merupakan salah satu model pernikahan yang telah dijalankan pada masa sebelum islam.
- Berpaling dari Orang Bodoh
Seseorang cenderung memusuhi hal-hal yang tidak dimengerti olehnya. Karena itulah sangat mungkin di medan dakwah, seorang da’i akan menemukan realitas berupa ucapan atau tindakan yang bernada dan memiliki makna pelecehan terhadap usaha dakwah yang dilakukan.Gerak langkah yang memiliki tujuan mulia menghidupkan nilai-nilai islam sangat mungkin justru akan direspon dengan caci maki dan umpatan. Dalam kondisi seperti ini para da’i harus segera mengingat dan memohon kekuatan dari Allah agar kuat menahan diri untuk tidak melayani orang-orang yang bertindak bodoh.
Adalah Uyainah bin Hishn. Ia datang kepada al Hurr bin Qoes, sepupunya yang merupakan salah satu ahli Alqur’an yang menjadi penasehat pribadi Amirul Mukminin Umar ra. Kepada al Hurr, Uyainah meminta supaya bisa dipertemukan dengan Khalifah Umar ra. Permintaan ini pun terkabul. Akan tetapi justru dengan lancang Uyainah mencaci Sang Khalifah:
“Wahai putera al Khatthab, demi Allah anda tidak memberikan sesuatu yang banyak kepada kami. Anda juga tidak memberikan keputusan yang adil buat kami”. Mendengar ini, Khalifah marah dan hendak memberi hukuman kepada Uyainah. Akan tetapi segera al Hurr membaca firman Allah di atas dan mengatakan: “Sungguh orang ini (Uyainah) adalah termasuk orang yang bodoh”
Demikianlah metode akhlaq di mana para penyeru agama Allah harus terus melatih diri untuk bisa menjalankannya sehingga dakwah dan pelaku dakwah (da’i) mendapatkan kecintaan Allah dan bisa menggaet simpati obyek dakwah.Sungguh ketika obyek dakwah sudah bersimpati maka itu adalah pancaran simpati dan kecintaan Allah kepada para da’i. Sungguh benar kata hikmah, lidah-lidah makhluk adalah pena-pena kebenaran.
=والله يتولي الجميع برعايته=
Blogger Comment
Facebook Comment