Sarapan Pagi & Tradisi Berpuasa
Aus al Anshari ra meriwayatkan sabda Rasulullah Saw yang artinya: Pada pagi hari di hari raya idul fithri malaikat berdiri di ujung-ujung jalan seraya menyuarakan panggilan: “Berangkatlah wahai kalian kaum muslimin menuju Tuhan Maha Pemurah, Dia Memberi anugerah kebaikan kemudian Memberikan pahala berlimpah atas kebaikan itu. Sungguh kalian telah diperintahkan melakukan qiyamullail lalu kalian menjalankannya. Kalian diperintah berpuasa di siang hari maka kalian menjalankannya demi mematuhi Tuhan , maka terimalah bonus besar kalian” lalu ketika mereka shalat (id), ada yang menyerukan panggilan: “Ingatlah, sungguh Tuhan telah Mengampuni kalian maka kembali-lah ke rumah-rumah kalian...”. (HR Thabarani dalam al Kabir).
Harapan (raja’) memperoleh ampunan Allah dan bonus besar pahala dariNya setelah hidup, berpuasa dan beribadah selama sebulan ramadhan sangat penting karena Allah Maha Pengampun Maha Pengasih dan dengan keras melarang sikap berputus asa. Akan tetapi semua orang yang berpuasa juga harus memiliki khawatiran (khauf) puasa ramadhan yang dijalankan selama sebulan penuh tidak mendapatkan penerimaan (qabul) dari Allah yang berarti masih belum memperoleh ampunan Allah sebagaimana pernah dikatakan oleh Imam Ibnu Rajab al Hambali bahwa para salaf terdahulu membagi waktu setahun setelah ramadhan hingga ramadhan berikutnya menjadi dua. Setengah tahun pertama terus berdo’a memohon puasa mereka diterima. Dan setengah tahun kedua berdo’a semoga kembali mendapatkan ramadhan. Hal ini menunjukkan bahwa harapan dan kekhawatiran mereka begitu kuat dan sangat seimbang. Saya penah mendengar guru saya KH Abu Amar Anwar (almarhum) mengatakan: Sayyidina Umar ra pernah berkata: “Andaikan penduduk surga hanya satu maka aku berharap diriku adalah orangnya. Jika penduduk neraka cuma satu maka aku khawatir satu orang itu adalah diriku”.
Dalam konsep tashawwuf, harapan dan kekhawatiran adalah laksana dua sayap yang membawa seorang hamba bisa terbang mencapai maqam di sisi Allah. Keduanya harus seimbang. Akan tetapi Imam Ghazali memberikan catatan bahwa saat dalam keadaan sakit dan menjelang ajal datang maka harapan harus lebih dikuatkan.
Berangkat dari pemahaman tersebut, maka ungkapan Selamat Hari Raya Idul Fithri yang diterjemahkan kembali suci adalah tidak tepat karena memiliki makna memastikan puasa diterima. Artinya hanya ada harapan tanpa ada kekhawatiran. Di samping itu pula secara bahasa Idul Fithri sebenarnya memiliki makna kembali berbuka atau kembali diperbolehkan sarapan pagi.
Hal yang semestinya bisa menjadi standar dan memperbesar harapan (bukan memastikan) diterimanya puasa ramadhan adalah apakah setelah keluar ramadhan ada perbaikan amal perbuatan? Ada peningkatan kwalitas dan kwantitas ibadah? Pertanyaan ini menjadi penting untuk selalu dimunculkan karena secara umum perlu kembali diingatkan bahwa pahala kebaikan bukan semata-mata berupa sehat fisik dan mental, kemudahan urusan dan kesejahteraan hidup serta balasan di akhirat. Termasuk pahala kebaikan adalah dimudahkannya seseorang melakukan kebaikan berikutnya. Rasulullah Saw bersabda:
...إِنَّ الْخَيْرَ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِالْخَيْرِ ...
“....sesungguhnya kebaikan tidak membawa kecuali kepada kebaikan ....”. (HR Bukhari no 2842).
Artinya sebagai salah satu indikasi puasa ramadhan mendapatkan penerimaan Allah maka kita diberikan taufiq bisa menjalankan ibadah puasa berikutnya. Di sinilah letak nilai penting dari berpuasa enam hari pada bulan Syawwal yang dianjurkan oleh Baginda Rasulullah Saw: “Barang siapa berpuasa ramadhan kemudian mengikutinya dengan berpuasa enam hari dari bulan Syawwal maka itu seperti puasa setahun” (HR Muslim dari Abu Ayyub al Anshari ra). Maksudnya bahwa satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh. Sebulan ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan enam hari sama dengan enam puluh hari atau dua bulan.
Baca Juga : Puasa Sekolah Taqwa
Indikasi diterimanya seluruh ibadah di bulan ramadhan, terutama berpuasa, akan semakin jelas apabila seseorang berhasil menjalankan puasa-puasa sunnah lain dalam setahun sebagaimana puasa senin kamis, puasa seperti puasa Nabi Dawud as (sehari berpuasa dan sehari berbuka yang disebut oleh Rasulullah Saw sebagai puasa paling utama), puasa Arafah, puasa Asyura’ dan minimal puasa tiga hari dalam setiap bulan. Selain sebagai isyarat diterimanya puasa ramadhan, puasa-puasa sunnah ini apabila ditradisikan insya Allah akan memberikan efek yang cukup kuat bagi perbaikan kwalitas iman yang semakin baik dengan banyaknya amal-amal kebaikan. Puasa secara umum dan khususnya ramadhan menjadi sebuah motivasi yang sangat kuat bagi orang yang melakukannya untuk bisa menghindarkan diri dari keburukan dan bersemangat menjalankan kebaikan. Rasulullah Saw bersabda kepada Muadz bin Jabal ra: “Maukah dirimu kutunjukkan pintu-pintu kebaikan?!” Muadz menjawab: “Ia,” lalu beliau Saw bersabda: “Puasa itu adalah tameng dan sedekah bisa memadamkan kesalahan seperti air memadamkan api” (HR Turmudzi).
Blogger Comment
Facebook Comment