SHALAWAT seri 2 (dari materi Selosoan)




Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.

Membahas sholawat dan keutamaannya, bagaikan menghitung rintik hujan yang turun di tengah samudra. Luas, Tak terhitung dan takkan pernah terjangkau. Merenungi kembali sebuah sosok pribadi mulia, yang diutus Alloh sebagai bentuk rahmatNya untuk alam semesta. Pribadi pilihan yang sempurna dari segala aib dan cela. Pribadi yang disiapkan Alloh untuk selalu menjadi contoh, suri tauladan (uswah) dalam setiap tindak-tanduk kehidupan. Sang Kekasih Alloh, Rosululloh Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Maka tidaklah menjadi sebuah hal yang mengherankan jika kemudian Alloh juga mencintai orang-orang yang ikhlas dalam mencintai kekasihNya, memberikan mereka penghargaan serta cucuran rahmat yang berlipat, meridloi mereka serta kemudian memasukkan mereka dalam surgaNya yang kekal. Sebagaimana Sabda Rosul,
Barangsiapa yang bersholawat kepadaku satu kali, maka Alloh akan mengkaruniakan rahmat baginya sebanyak sepuluh kali lipat(HR. Muslim)
Dan sabda beliau di hadits yang lain,
Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, maka ia telah sungguh-sungguh mencintaiku, dan barangsiapa yang mencintaiku, maka kelak dia akan bersamaku di dalam surga(Hadits)
Subhanalloh... Semoga kita semua bisa mendapatkan anugrah Alloh yang besar ini, Amiin...
Untuk itulah, dalam ayat tersebut di atas, Alloh ingin menegaskan kepada kita akan tingginya keutamaan yang bisa kita dapatkan dari sholawat kepada Nabi Muhammad Shollallu ‘Alaihi wa Sallam. Dan sebagai bentuk besarnya perhatian Alloh kepada kita, Kaum Mukmin. Dibuktikan dengan dimulainya sholawat itu oleh Dzat Alloh sendiri berupa kucuran rahmat, yang kemudian diikuti oleh para malaikat yang suci berupa do’a dan istighfar. Lantas kemudian, Alloh perintahkan langsung kepada kita, Kaum Mukmin -kaum yang mengaku patuh dan cinta pada Alloh dan RosulNya- untuk mengikuti langkah dan contoh yang telah Alloh lakukan beserta para malaikatNya tersebut.
Hal inilah kemudian yang kita sebut dengan istilah perantara (Al-washitoh/wasilah). Perantara untuk pendekatan diri kepada Alloh, perantara untuk mendapatkan rahmat dan ridloNya, di dunia dan kelak di akhirat.
Dalam satu sisi bukanlah merupakan sebuah pendapat yang salah, saat kemudian beberapa di antara kita, percaya dan meyakini bahwa hanya ketakwaanlah yang bisa menjadikan sebab kecintaan dan keridloan Alloh pada kita. Karena sebagaimana kita pelajari dari Sabda Rosululloh,
Dunia ini dan segala isinya terlaknat, kecuali dzikir kepada Alloh, atau sesuatu yang mengingatkan kita kepadaNya
Disabdakan bahwa dunia dan segala isinya ini terlaknat tiada lain karena bisa menyebabkan kita lupa, lalai dan jauh dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Hanya dzikir, dan hal-hal yang membuat kita ingat padaNya, semisal mempelajari ilmu agama, berdakwah, dan lain sebagainya yang membuat kita tetap dalam lindungan rahmat dan keridloanNya. Dan hal itulah yang disebut dengan ketakwaan, sebuah kunci utama yang paling penting dalam hidup kita. Karena semakin kita bertakwa kepada Alloh dengan mengikuti sunnah-sunnah Rosululloh, Maka semakin besar kecintaan dan rahmat yang kita dapatkan dariNya.
Sebagai ukuran, ketakwaan bisa kita nilai pada bentuk keistiqomahan seseorang dalam melaksanakan sholat lima waktu di tengah-tengah kesibukannya yang tinggi. Dan bisa kita perhatikan pula pada kegigihan seseorang dalam berusaha untuk tidak melakukan maksiat di manapun ia berada. Lain halnya ukuran tersebut bagi seorang santri yang banyak memiliki waktu luang dan hidup di tengah-tengah suasana yang agamis serta terjaga. Jika ia “hanya” melakukan keistiqomahan sholat lima waktu saja layaknya orang yang memiliki kesibukan tinggi, maka tidak bisa dipungkiri hal ini sudah jelas merupakan sebuah kemunduran dan kekalahan yang telak.
Inilah yang perlu menjadi perhatian kita, bahwa ketakwaan dan keimanan dalam diri kita tidaklah tetap, sama dan stabil. Ia bisa bertambah dan berkurang, naik-turun, memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Tinggi, sedang dan bahkan ada pula yang rendah. Hingga dari sinilah, mau-tidak mau harus kita akui akan pentingnya posisi perantara (wasithoh) sebagai sarana penyelamat kita di akhirat kelak.
Untuk lebih meluaskan pemikiran kita akan washithoh tersebut. Ada baiknya kita coba mengkaji lebih dalam dengan pikiran yang sehat tentang Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Yang jikalau beliau memang diutus Alloh untuk menjadi rahmat terbesar untuk semesta alam, maka sudah pasti apa yang beliau bawa dan ajarkan -yaitu Al-Qur’an- juga merupakan rahmat dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Dan jika kita sudah meyakini kesucian akan kandungan isi Al-Qur’an, maka sudah seharusnya kita melakukan segala apa yang Alloh perintahkan di dalamnya. Nah, jika hal itu juga sudah kita kerjakan, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk kemudian beranggapan bahwa sholawat merupakan hal yang tidak penting untuk dilaksanakan. Mengapa? Karena perintah sholawat, datangnya tidak dari Rosul, melainkan langsung dari Dzat Alloh sendiri yang difirmankan dalam Al-Qur’an.
Untuk itulah, sungguh sangat disayangkan bila di tengah gempita alam semesta dalam mengharapkan washitoh keselamatan dengan bersholawat, masih ada golongan yang antipati bahkan benci terhadap sholawat. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un...
Dan adapun bahasan mengenai munculnya pendapat yang mempermasalahkan akan redaksi sholawat dan cara membacanya yang diperbolehkan, dalam hal ini As-Sayyid Muhammad ibn ‘Alawy Al-Maliky, Imam Ahlus-Sunnah wal Jama’ah abad ke-21 berpendapat, bahwa diperbolehkan bersholawat dengan redaksi apa saja dan membacanya dengan bersenandung (dilagukan), dengan catatan lagu yang disenandungkan masih dalam batas kesopanan (Tidak menggunakan irama yang bisa menghilangkan khidmat sholawat itu sendiri). Beliau juga menambahkan dan memberikan sebuah penjelasan, bahwa tidak ada ketentuan khusus dalam ayat ke-56 dari surat Al-Ahzab tersebut yang menjelaskan batasan redaksi dan tata cara bersholawat.
Pendapat beliau ini, ternyata sejalan dan merupakan buah pemikiran ulama’ salaf yang kemudian melahirkan beragam macam formula sholawat yang memudahkan kita untuk mengamalkannya sesuai kebutuhan. Semisal Sholawat Fatih yang bersanad pada Imam Abul ‘Abbas At-Tijani, pendiri thoriqoh Tijaniyah. Sholawat At-Taziyah, atau yang lebih kita kenal dengan Sholawat An-Nariyah. Sholawat Taisiir, untuk memohon kemudahan dalam segala urusan, dan lain sebagainya.
As-Sayyid Muhammad Al-Maliky juga menegaskan bahwa Barangsiapa yang tidak pernah dan tidak suka bersholawat kepada Nabi Muhammad Shollallu ‘Alaihi wa Sallam, maka ia bukanlah golongan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Dan salah satu Ulama’ Salaf yang menekankan pada diri dan juga murid-murid beliau untuk selalu bersholawat pada Rosululloh, adalah Imam Muhammad ibn Idris, atau yang lebih kita kenal dengan nama Imam As-Syafi’i. Sehingga dalam salah satu ijtihadnya, beliau mewajibkan bacaan sholawat pada Rosululloh dalam salah satu rukun sholat yaitu pada tasyahud akhir. Untuk itulah, seyogyanya bagi kita berterima kasih kepada beliau akan ijtihad yang beliau lakukan ini, karena dengannya kita pun bisa bersholawat pada Nabi setiap hari.
Dari ini semua saudaraku, Jikalau dalam melakukan sebuah amal kita masih membutuhkan kemantapan dan keyakinan dengan adanya sebuah contoh dan bukti dalam melakukannya, maka tidak cukupkah bila contoh itu berasal dari Dzat Alloh sendiri dan para malaikatNya? Jika itu tidak cukup, lalu contoh dan bukti apalagi yang kita butuhkan untuk meyakinkan diri kita akan tingginya keutamaan sholawat pada Rosululloh Shollallu ‘Alaihi wa Sallam..?

Wallohu Subhanahu wa Ta’ala A’lam
Share on Google Plus

About Bapak e Muhammad

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment