Daun, Dahan, dan Pokok Iman
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Alloh telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Alloh membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25).
Akhi fillah… Ukhti fillah, kalimat yang baik (kalimah thayyibah) seperti pohon yang baik (syajarah thayyibah), ia tumbuh dengan akar yang kokoh dan kuat, dan akar itu menahan pohon dari setiap bencana yang mengancam. Akar itu bernama keistiqamahan, konsisten dalam beraqidah yang berarti memberi peluang bagi akal pikiran untuk mencari, meneliti, dan menemukan kebenaran (al-haqqu), konsisten dalam berperangai yang berarti mengambil satu sikap bijaksana antara penakut dan berani tanpa perhitungan, konsisten dalam bertindak yang berarti berbuat sesuatu tanpa melampaui batas, konsisten dalam bersuluk yang berarti selalu menetapi ibadah sebagai suatu kebiasaan atau rutinitas. Maka, ketika badai angin dan hujan menerpa, ia akan tetap selalu tegar sediakala. Dan di saat musim berganti tiba, ketika matahari terang benderang menyinari kita, akan dipetik darinya buah-buah keberkahan dengan penuh suka cita.
Setiap buah keberkahan itu adalah makanan jiwa-jiwa mulia, jiwa orang-orang yang soleh dan jujur, juga jiwa para nabi dan rasul. Buah yang dinikmati ketika suasana ruhani seseorang menjadi terhormat dalam syahdunya kekhusyukan. Buah itu adalah pembenaran terhadap seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tunduk atas hukum-hukum syariat yang diturunkan Alloh untuk seluruh umat manusia. Pengaruh kemuliaan Alloh dan segala keutamaan yang telah dianugerahkan menancap kuat di dalam sanubari. Sehingga memunculkan totalitas pembenaran (Al-Tsiqah Al-Tammah) dengan meyakini kekuasaan Alloh SWT. dalam mengatur kasih sayang dan keadilan-Nya, mengembalikan semua perjalanan hidup ini kepada prnsip “Masya Allah la quwwata illa billah,” bahwa segala sesuatu kembali pada kehendak Alloh Ta’ala, dan manusia bebas memilih kecenderungannya pada kebaikan atau keburukan dengan setiap konsekuensinya. Menyadari tidak ada kekuatan untuk melakukan perbuatan baik kecuali pertolongan dari Alloh SWT. semata. Kemudian mengingat dan mencintai-Nya dengan penuh ketulusan.
Alloh SWT. berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami adalah Alloh’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): ‘Janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Alloh kepadamu.’” (QS. Fussilat: 30).
Akhi fillah… Ukhti fillah, setiap orang yang mengatakan “Tuhan kami adalah Alloh,” harusnya sejak semula ia telah memahami makna “La Ilaha Illallah” sebagai kalimat taqwa, kalimat ikhlas, hakikat syahadat, dakwah kebenaran, pembebas belenggu sekaligus penyelamat dari kemusyrikan. Karena “La Ilaha Illallah”, maka seluruh makhluk dicipta. Karena “La Ilaha Illallah”, maka surga dan neraka dijadikan sebagai janji pahala dan ancaman siksa. Karena “La Ilaha Illallah”, maka para rasul diperintah untuk berperang dengan segenap jiwa raga. Dengan “La Ilaha Illallah” kita selamat dari keabadian siksa neraka. Dengan “La Ilaha Illallah” kita terampuni dari segala dosa. Dengan “La Ilaha Illallah” kita memperbarui iman di dalam dada. Dengan “La Ilaha Illallah” terbukalah pintu-pintu langit dan setiap hijabnya selama dosa-dosa besar tak menggelayuti jiwa. “La Ilaha Illallah” bagi ahli surga bagaikan air dingin untuk ahli dunia. “La Ilaha Illallah” paling baiknya amal kebaikan. “La Ilaha Illallah” utamanya ucapan para nabi yang mulia. “La Ilaha Illallah” identitas seorang muslim yang paling dibanggakan di alam baka.

Alloh SWT. sebelumnya juga telah menegaskan bagaimana sikap seorang mukmin yang konsekuen itu, (Yaitu) orang-orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Imran: 16). Namun, sekali lagi mengapa kita masih jauh dari memohon ampunan-Nya. Bukankah Alloh SWT. telah berjanji: “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Alloh, niscaya ia mendapati Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa': 110).
Syahadat dan istighfar merupakan pilar-pilar utama untuk menaiki puncak nikmat nan purna. Dan puncak kenikmatan nan purna itu tiada lain adalah menjadi penghuni surga dan terbebas dari sensus ahli neraka. Bukankah telah dikisahkan oleh sahabat Mu’adz bin Jabal ketika Nabi SAW. mendengar seseorang berdoa: “Ya Alloh, sesungguhnya aku memohon purnanya kenikmatan.” Nabi bertanya: “Apakah purnanya kenikmatan itu?” Orang tersebut menjawab: “Doa yang aku mohonkan (kepada Alloh) yang aku harap kebaikan darinya.” Nabi SAW. kemudian menjelaskan: “Sesungguhnya purnanya kenikmatan itu adalah masuk surga dan selamat dari neraka.” (HR. Tirmidzi).
Akhi fillah… Ukhti fillah, lalu mengapa dalam kesempatan yang indah, dalam bulan yang mulia, dan dalam keberkahan ramadhan ini, ketika awalnya menjadi rahmat, pertengahannya menjadi maghfirah, dan akhirnya menjadi ‘itqun min an-nar (terbebas dari neraka), mengapa kita tidak segera memulainya saja, beristiqamah dalam setiap kesempatan, dalam berbaring, duduk, dan jaga. Dalam sibuk dan senggang, memadukan keempat dzikir tersebut. Memadukan syahadat, istighfar, dan memohon surga, serta selamat dari neraka.
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ أَسْتَغْفِرُ اللهَ أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Alloh. Aku memohon ampunan Alloh. Aku memohon kepada-Mu surga dan aku berlindung kepada-Mu dari neraka.”
Baca Artikel Lainnya : Kita dan Waktu
Maka jadilah seluruhnya sebagai lirik dzikir yang indah, dalam hidup yang indah, bahkan mati pun menjadi indah. Lirik dzikir dalam setiap cangkulan, dalam setiap ketikan, dalam setiap hitungan, dalam setiap gerak tangan. Lirik dzikir dalam setiap langkah berjalan, dalam setiap tolehan, dalam setiap lambaian, dan dalam setiap nafas dan kedipan yang semuanya menjadikan hidup ini lebih indah. Menjalaninya dengan semangat ketauhidan, kehambaan, dan ridho kepasrahan, hampir terasa berjalan tanpa beban. Namun, semua akan kembali pada niat, iktikad, dan kesungguhan.
Ingat, biji yang baik ditanam pada ladang yang baik, akan menumbuhkan tunas yang baik. Tunas yang baik disiram dengan baik, akan menumbuhkan pohon yang baik. Dan pohon yang baik dirawat dengan cara yang baik, akan menghasilkan buah yang baik pula.
Wallohu A’lam Bishowab.
Blogger Comment
Facebook Comment