Menutup Pintu Perbuatan Setan

Menutup Pintu Perbuatan Setan


Rasululloh SAW.,  suatu saat beliau pernah mengingatkan kita semua: "Bersungguh-sungguhlah pada hal yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan kepada Alloh serta jangan merasa lemah. Bila kamu ditimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan, 'Seandainya (tempo hari) aku melakukan ini, niscaya begini dan begini.' Katakanlah, 'Alloh telah menakdirkan dan apa yang Alloh kehendaki, maka itu terjadi.' Sesungguhnya kata seandainya akan membuka pintu perbuatan setan." (HR. Muslim).

Menutp Pintu Perbuatan SetanAmbillah pelajaran dari masa lalu, tangisilah kebodohan-kebodohan dan kedurhakaan-kedurhakaan yang pernah kita di masa silam sebagai bentuk penyesalan dan pertanggung-jawaban kepada Alloh SWT. Tetapi tangisan itu merupakan penggerak untuk menuju iman yang lebih bersih, ibadah yang lebih khusyuk dan amal yang lebih baik. Bukan untuk membuat kita terkungkung di dalamnya. Menyibukkan diri dengan berandai-andai “Coba saya kemarin begini….”, justru akan menjadikan jiwa rapuh dan mental kita sakit.

Menyibukkan diri dengan kata seandainya, juga dapat menjadi pintu setan untuk merusak iman dan menghancurkan kekuatan ruhiyah. Kasus-kasus depresi dimana orang kehilangan harapan dan tak jarang menyalahkan Tuhan, kerapkali berkait erat dengan kecenderungan mengandaikan masa lalu. Sibuk berandai-andai tentang masa lalu yang menyedihkan agar berubah menjadi membanggakan, sering menjadi penyebab keputus-asaan yang amat berat sebelum menghadapi tantangan nyata. Ini berakibat remuknya kekuatan untuk menghadapi persoalan. Ada masalah sedikit, sudah menimbulkan guncangan besar bagi jiwa. Ada kesalahan sedikit yang ia lakukan, segera saja ia tak habis-habisnya menyalahkan Tuhan secara langsung maupun tidak meskipun pengetahuan agamanya luas.

Berpijak pada hadis ini, tak ada tempat bagi kita untuk menyibukkan diri dengan kata seandainya atas apa-apa yang sudah terjadi. Tak ada manfatnya mengenang masa lalu dengan sibuk berandai-andai. Masa lalu tak pernah menjadi pelajaran, kecuali apabila kita melihatnya dengan pikiran yang jernih, jiwa yang tenang, hati yang bersih, sikap yang baik dan perasaan yang ikhlas dalam menerima takdir. Barangkali kita memang tidak menggunakan kata seandainya, tetapi betapa sering kita justru mengajarkan maknanya kepada anak-anak kita. Kita contohkan kepada mereka bagaimana menyibukkan diri mengandaikan masa lalu dan tidak ridha dengan apa yang sudah terjadi. Astaghfirullahal ‘adzim.

Wahai saudaraku, sibuk mengandaikan masa lalu, juga menyebabkan anak-anak yang cerdas menjadi minder, anak-anak yang hebat menjadi patah semangat dan anak-anak yang kreatif menjadi kehilangan inisiatif. Bukan tidak mungkin mereka bahkan harus menjalani perawatan yang terus-menerus. Mereka menjadi generasi yang lemah tak berdaya, generasi yang Alloh perintahkan kepada kita agar merasa takut jangan-jangan meninggalkan di belakang kita generasi yang seperti itu. Alloh firmankan dalam kitab-Nya, yang artinya: "Dan hendaklah orang-orang pada takut kalau-kalau di belakang hari mereka meninggalkan keturunan yang lemah, dan mencemaskan (merasa ketakutan) akan mereka. Maka bertakwalah kepada Allah dan berkatalah dengan qaulan sadidan (perkataan yang benar)." (QS. An-Nisaa': 9).

Lalu, apakah mungkin orangtua mengajari anak berandai-andai, sementara kita tahu bahwa di dalamnya ada keburukan yang nyata?  Sikap mental yang rawan terganggu pada anak, juga banyak diserap dari orang tua. Kadang kita tidak menyadari, tetapi kita mengajari anak untuk berandai-andai dengan masa lalu ketika mata kita membelalak seraya berkata: "Bapak kan sudah berkata. Coba kalau kemarin ikut les, nilaimu pasti bagus. Kamu tidak kalah dengan temanmu." Atau ketika anak selesai ikut lomba, kita pukul kepala kita sendiri sambil merutuk: "Ah, coba seandainya kamu tadi bawa cat air… Ah, coba kamu bawa, pasti kamu menang."

Sekedar catatan, pengalaman yang sangat membekas dan memberi pengaruh kuat kepada anak untuk berandai-andai dengan masa lalu bukan masa depan banyak terjadi saat anak gagal mengikuti lomba. Termasuk dalam kategori gagal adalah mereka yang menjadi juara dua, juara tiga, juara harapan… Dan apalagi yang tidak memiliki harapan menjadi juara. Mereka yang menjadi juara dua dengan selisih nilai yang sangat sedikit, justru lebih rentan mengalami sindrom "seandainya" karena orang tua, guru serta orang-orang dekat lainnya seringkali justru lebih ekspresif dalam mengungkapkan kata seandainya dan sekaligus menyertai ucapan itu dengan menunjukkan kekecewaan yang berat. Mungkin lebih baik anak-anak kita larang mengikuti lomba. Boleh jadi mengikuti acara lomba lukis, tetapi bukan dalam rangka lomba, melainkan sebagai kesempatan melukis bersama.

Baca Artikel Lainnya : Menjadi Manusia Akhirat

Anak-anak yang lemah jiwanya, kerapkali juga berawal dari melihat orang yang sangat dengannya suka merutuk masa lalu. Mungkin karena kecewa, tanpa sadar seorang bapak memaki-maki masa lalu: "Ah, bodoh… bodoh…. Seandainya tadi saya tidak singgah, mungkin tidak begini kejadiannya." Ah… jangan-jangan iman kita  yang belum tertanam kuat di hati kita, sehingga tidak ridho terhadap takdir-Nya.

Wallahu a'lam bishowab.

Share on Google Plus

About tdmenha pujon

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment