Pemutusan Hubungan, kala Kekafiran menjadi Pilihan
Firman Alloh:
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا لاَ تَتَّخِذُوْا ءَابَآءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَآءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَي اْلإِيْمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang berimana, jangan jadikan bapak-bapak kalian dan saudara-saudara kalian sebagai kekasih jika mereka lebih mencintai kekafiran mengalahkan keimanan. Barangsiapa dari kalian berkasih-kasihan dengan mereka maka dialah orang-orang yang zholim”.
Analisis Ayat
إِسْتَحَبُّوا : Dari akar kata Al Hubb yang berarti mencintai dan menyayangi serta enggan untuk berpisah. Artinya lebih memilih yang disukai dan tak akan pernah memilih yang lain. Dalam konteks ayat ini berarti senang akan kekafiran, enggan meninggalkannya serta ogah-ogahan menerima keimanan.
Sabab Nuzul
Telah dimaklumi bahwa selama lebih kurang dua puluh tiga tahun, Al-Qur’an diturunkan secara berkala (Tanziil atau Munajjaman) sesuai dengan masalah dan kondisi yang ada. Termasuk ayat ini yang ditujukan kepada para sahabat yang masih lemah iman di mana setelah diturunkannya statemen bahwa Alloh dan Rosul-Nya berlepas diri dari orang musyrik (yang telah merusak perjanjian), mereka yang masih terkurung dalam fanatik kesukuan (Ashobiyyah Jinsiyyah ) dan hubungan kekeluargaan (Shilah Qorobah) merasa risih dan enggan untuk melakukan tindakan balasan yang berupa ikut balik merusak perjanjian dan bersiap diri menghadapi bentrokan fisik (peperangan). Dampak dari dua kurungan ini adalah masih banyaknya kasus-kasus seorang yang beriman memiliki kawan dekat (Bithonah) seorang kafir atau munafiq. Karena itu demi menghilangkan kefanatikan tersebut, dengan tegas Al-Qur’an menyatakan bahwa: “Barangsiapa berkasihan dengan mereka berarti dialah orang-orang yang Zholim.”
Syarah Ayat
Berabagai landasan bersikap bagi pemegang keimanan dalam menjalani hidup dan bersentuhan dengan kekafiran telah diajarkan dalam Al-Qur’an. Sikap-sikap itu terkadang sangatlah lemah lembut dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, tetapi terkadang sikap lemah lembut itu harus dirubah menjadi sebuah sikap tegas dan tangguh setangguh gunung yang tak pernah lapuk karena hujan, tak lekang karena panas serta tak pernah berubah dalam mengikuti pergeseran waktu. Sikap-sikap itu antara lain:
Bersikap fanatik dalam Keyakinan
Sebagai perwujudan dari kalimat Tauhid Laailaaha Illalloh Muhammad Rosulululloh, seorang mukmin harus dengan kuat dan mantap meyakini bahwa hanya islam agamanya sajalah yang benar dan tak ada lagi kebenaran di luar islam. Hanya islam yang dibawa sampai matilah yang bisa menyelamatkan pemiliknya dari abadi di neraka. Sedang barangsiapa yang tidak berislam dengan hanya mengakui Alloh dan kenabian Rosululloh SAW. maka hendaknya bersiap menjadi penghuni abadi neraka. Alloh berfirman yang artinya: “Dan barangsiapa bertuhan lain di samping Alloh, padahal sama sekali tiada dalil baginya tentang hal itu, maka perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada beruntung (tidak selamat di akhirat)” (QS. Al-Mu’minun: 117). Suatu ketika Rosululloh SAW. bertanya kepada seseorang: "Apa yang kamu sembah?" Orang itu menjawab: "Saya menyembah Alloh dan ini dan ini." Rosululloh SAW. bertanya: "Lantas jika kamu tertimpa susah dan berdo’a, manakah Tuhan yang mengabulkanmu?" "Alloh." Jawab lelaki itu. Rosululloh SAW. bertanya lagi: "Jika kamu membutuhkan sesuatu dan kamu berdo’a, siapa Tuhan yang memberimu?" Orang itu menjawab: "Alloh." Rosululloh SAW. bertanya: "Jika begitu kenapa kamu mesti menyembah Tuhan-Tuhan selain Alloh?" Orang itu menjawab: "Dengan menyembah mereka, saya bermaksud bersyukur kepada Alloh." Rosululloh SAW. bersabda: "Kalian semua mengerti dan mereka tidak mengerti." Setelah masuk islam maka orang itu berkata: "Saya telah bertemu dengan lelaki yang telah memusuhi saya."
Sikap fanatik dalam keyakinan ini harus terus membara dalam dada orang yang beriman dan jangan sampai meredup apalagi padam, kapanpun, di manapun dan dalam keadaan apapun. Sebab jika sampai sikap fanatik dalam keyakinan ini mengalami pergeseran dan pergerakan maka tak ada lain arah dari pergeseran dan pergerakan itu kecuali kesyirikan dan kekafiran. Jika bara kefanatikan ini terus membara maka pasti akan membakar siapa saja yang mencoba memadamkannya. Seperti bara fanatik keyakinan yang menyala-nyala dalam dada seorang sahabat bernama Abu Ubaidah Ibnul Jarroh. Dalam perang Badar, sahabat yang mendapat julukan Amiin Haadzihil Ummah (bendahara umat ini) karena pada masa Rosululloh SAW. dan Abu Bakar biasa diberi tugas mengurus keuangan sebelum terbentuknya Baitul Maal pada masa Umar ini, dengan kekuatan keimanannya mampu membunuh ayahnya yaitu Jarroh yang terus menerus mengejar dan memburunya dan memaksa supaya putranya itu meninggalkan islam. Padahal ketika itu Abu Ubaidah telah berulang kali menghindar dan menjauh dari ayahnya yang bertempur di bawah panji kekafiran.
Fanatik dalam keyakinan juga menjadikan seorang muslim menetapkan keyakinan sebagai standar utama sebuah pilihan. Hanya pilihan yang sesuai dengan keyakinan yang akan menang dalam pertarungan, kendati pilihan di luar keyakinan terlihat dan terasa lebih indah dan menggiurkan. Tersebutlah sebuah nama seorang wanita yang biasa disebut Ummu Sulaim. Wanita beriman ini telah berhasil menawan hati seorang lelaki kafir bernama Abu Tholhah Al-Anshori. Kepada wanita pujaan, Abu Tholhah kemudian menyampaikan niat dan keinginan untuk mempersuntingnya. Ummu Sulaim yang mengetahui betul kelebihan dan keunggulan Abu Tholhah menjawab permintaan tersebut dengan sangat hati-hati dan politis dan jangan sampai menyinggung perasaan. Ummu Sulaim lalu berkata: "Wahai Abu Tholhah, orang seperti anda sangat tidak layak jika sampai saya tolak, akan tetapi sangat disayangkan anda tidak meyakini Alloh, anda tidak beriman kepada Rosululloh SAW." Akhirnya Abu Tholhah menikahi Ummu Sulaim dengan maskawin keislamannya.
Fanatik kepada keyakinan islam juga telah membawa Wuheb bin Al Ward lebih memilih sakit daripada harus berobat kepada dokter Nashroni. Saat itu, mendengar Wuheb sakit, Amir Makkah segera mengirim kepadanya seorang dokter Nashroni. Kepada Wuheb, dokter bertanya tentang keluhan Wuheb. Wuheb menjawab: "Aku memohon perlindungan kepada Alloh agar jangan sampai menyampaikan keluhanku kepadamu." Orang-orang kemudian menawarkan kepada Wuheb agar membeberkan keluhannya kepada mereka, dan mereka akan meneruskannya kepada dokter. Wuheb malah menjawab dengan keras: "Di manakah akal kalian, apakah aku harus mengadukan Alloh kepada musuh-Nya ini (dokter Nashroni)."
Toleransi dalam Berinteraksi
Kefanatikan dalam keyakinan sekali lagi hanya terbatas dalam hati, jadi meski meyakini tiada kebenaran di luar islam, pemeluk islam tidak boleh semena-mena memaksakan keyakinan kepada pihak lain. Ingatlah bahwa: “Tiada pemaksaan dalam agama, sungguh kebenaran telah sangat nyata (berbeda) dari kesesatan” (QS. Al Baqoroh: 256). Wujud adanya toleransi ini adalah kemampuan pemeluk islam menunjukkan islam sebagai agama yang cinta akan kerukunan, perdamaian dan saling menghormati antara pemeluk agama lain serta mampu hidup berdampingan dengan mereka orang-orang non muslim dengan syarat utama jangan sampai pergesekan dengan non muslim menjadikan prinsip dasar dan ciri khas seorang muslim terkikis meski hanya sedikit. Bahkan dengan tegas Al-Qur’an melarang orang islam menghina pemeluk agama lain.
وَلاَتَسُبُّوااَّلذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّواااللهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan jangan kalian menghina orang-orang yang menyembah selain Alloh, sebab mereka akan balik menghina Alloh secara melewati batas tanpa pengetahuan” (QS. Al An’am: 108).
Baca Artikel Lainnya : Hanya Hati yang Berdzikir
Ketegasan terhadap Kekafiran
Tegas terhadap kekafiran berarti sama sekali menolak kekafiran dan tak akan menolehnya sedikitpun meski berbagai upaya dan usaha telah mendorongnya. Seperti ketegasan Sa’ad bin Abi Waqqosh menolak dorongan ibunya agar dia meninggalkan islam meski sang ibu mengancam akan mogok makan hingga mati jika Sa’ad tidak meninggalkan kekafiran. Bahkan kepada ibunya, Sa’ad berkata: "Andai ibunda memiliki seratus nyawa, dan hilang hanya karena ini maka saya tak akan pernah masuk lagi dalam kekafiran." Di samping tidak lagi mau masuk dalam jurang kekafiran, wujud dari ketegasan kepada kekafiran adalah hilangnya keengganan, rasa risih berperang dengan kekafiran meski kekafiran itu diusung oleh keluarga sendiri, sanak kerabat maupun teman-teman akrab seperti kasus Abu Ubaidah di atas. Sikap tegas kepada kekafiran ini juga terbukti lewat kesetiaan seorang muslim meniti jalan islam dalam setiap tujuan kehidupan, termasuk dalam memilih pemimpin. Muslim yang tegas terhadap kekafiran tiada pernah sedikitpun sudi memilih pemimpin seorang kafir atau seorang pemimpin muslim yang ditopang oleh kekuatan kafir atau pemimpin muslim yang menjunjung tinggi dan sangat gemar mengadopsi nilai-nilai kekafiran.
Oleh: K.H. Ihya' Ulumuddin.
Blogger Comment
Facebook Comment