Rasa Hidup
“Rasa hidup” memang macam-macam. Bukan Cuma asam, manis, asin tapi juga getir, pahit, pedas dan pedih. Itu memang sudah menjadi sunatullah. Setiap hari ada banyak peristiwa yang terjadi di muka bumi ini. Ada peristiwa atau kejadian yang membuat dahi berkernyit, hati gelisah, sedih atau putus asa. Begitulah Alloh subhana wa ta’ala menjadikan takdir-Nya sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya agar manusia pandai mengambil pelajaran.
Orang bilang, peristiwa kematian dan kehilangan adalah hal yang menyedihkan, sementara keberhasilan dan kemenangan adalah hal yang membahagiakan. Ada manusia yang menangisi kematian ayah, suami atau anaknya. Ada yang bersedih kala kehilangan mata pencaharian atau barang yang disayangi. Dan pada saat yang bersamaan, ada manusia lain yang tertawa dan gembira karena lulus ujian, mendapat promosi jabatan atau mendapat rezeki nomplok.
Menunjukkan ekspresi jiwa kala mencicipi “Rasa hidup” memang tidak dilarang. Boleh-boleh saja, bahkan menjadi hak setiap orang. Siapa yang punya wewenang melarang manusia menangis dan tertawa? Rasululloh shollallahu alaihi wasalam pun menitikkan air mata kala Ibrahim mudanya diambil Alloh dan tersenyum gembira kala bercanda dengan istrinya.
Memang terlarang jika manusia tenggelam dalam rasa hidup sepenuh rasa, sepenuh pedih, sepahit-pahit, getir yang sangat getir, atau gembira seluruh-luruh. Mengapa? Sebab, selain untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, Alloh subhana wa ta’ala memberikan kesempatan pada manusia mencicipi aneka rasa hidup untuk melihat kadar imannya. Manusia beriman tebal tak akan sepenuh sedih dan gelisah walau tak berkantong tebal, dan tak menjadi gembira histeria ketika meraih sukses. Ia tak menggantungkan kondisi jiwa pada “Rasa” apa yang menimpanya, sebab ia selalu pandai menyikapi setiap “Takdir.” Mendapat keberhasilan ia bersyukur dan kalau ditimpa kesulitan ia bersabar. Adakah manusia yang lebih baik keadaannya dari mereka yang pandai mensyukuri nikmat dan pandai pula menyabari musibah? Sungguh ajaib keadaan orang beriman! Karena itulah, Rasululloh shollallahu alaihi wasalam tidak pernah mengkhawatiri kemiskinan dan kekayaan para sahabatnya. Ia yakin, para sahabatnya adalah manusia-manusia utama yang tak akan menjual iman dan harga diri dengan harga dunia.
Ia tahu betul, para sahabatnya adalah manusia yag tak perlu “Subsidi” dan “Tunjangan” untuk memperkokoh imannya. Maka, dalam setiap kali pembagian ghonimah (harta yang diperoleh setelah perang). Rasululloh mengutamakan muallaf dari sahabat-sahabatnya. “Untuk kalian, aku percayakan pada Alloh semata,” katanya.
Baca Artikel Lainnya : Manaqib Sayyidina Ali
Ia pun yakin, para sahabat utamanya adalah manusia yang tak akan lupa daratan dan memperkaya diri sendiri kala kesuksesan dan keberhasilan datang menghampiri. Ia tahu, dari tangan yang tengah menggenggam kebahagian dunia itu akan mengalir sedekah dan infak yang mendatangkan berkah bagi masyarakat di sekelilingnya. Sungguh ajaib keadaan orang beriman, memang!
Blogger Comment
Facebook Comment