Kepatuhan dan Kasih Sayang
Sebagai Pondasi Sebuah Eksistensi
Alloh Subhaanahuu wata’aalaa berfirman :
...وَرَفَعْـنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ...
“…dan Kami telah meninggikan sebagian mereka di atas sebagian beberapa derajat agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain…” (QS Az Zukhruuf:32.)
Seperti dimaklumi bersama bahwa seluruh yang ada di alam dan kehidupan ini tercipta dalam keseimbangan dan keselarasan; siang malam, pagi sore, panas dingin, laki-laki perempuan dan seterusnya. Dalam wilayah kehidupan manusia pun demikian halnya. Manusia menjalani hidup dalam kondisi dan posisi masing-masing yang berbeda satu dengan yang lain. Sehat dan sakit, kaya dan miskin, tinggi dan rendah, mulia dan hina dan seterusnya. Perbedaan ini salah satu hikmahnya adalah agar terjadi keselarasan dan keseimbangan sehingga kehidupan bisa berjalan indah.
Pada ayat di atas terdapat penegasan sisi keindahan dalam realitas kehidupan masing-masing orang yang tidak sama dalam berbagi status. Ada sebagian orang yang berada di atas dan sebagian lain berada di bawah di mana pada hakikatnya mereka saling membutuhkan. Ketiadaan salah satu pihak menjadikan pihak lain juga kehilangan status dan eksistensinya. Tidak ada orang disebut pandai jika orang bodoh tidak ada. Tak ada orang kaya bila kemiskinan sirna. Tak ada dokter tanpa kehadiran orang yang sakit dan tak ada pemimpin ketika tidak ada yang perlu dipimpin. Artinya dalam sebuah komunitas kehidupan, keterpautan derajat dan tingkat adalah suatu urgensi yang tidak mungkin bisa dihindari. Masalahnya adalah siapakah yang layak dianggap pandai, kaya, disebut dokter, dan diangkat sebagai pemimpin. Jawabnya tentu saja pihak yang memiliki kelebihan daripada yang lain. Pemimpin misalnya, ia tidak layak diangkat menjadi pemimpin bila tidak memiliki kelebihan daripada yang lain. Prinsip ini telah diajarkan Allah azza wajalla. Ketika Menjadikan Nabi Adam as sebagai khalifah di bumi maka “Allah mengajarkan kepada Adam tentang nama-nama…” .
Pengetahuan akan nama-nama inilah yang menjadikan Nabi Adam as diakui kepemimpinannya oleh malaikat sehingga merekapun tunduk dan bersujud kepadanya. Tanpa ada nilai, keahilian dan skill lebih dari yang lain maka eksistensi pemimpin akan susah mendapatkan pengakuan. Prinsip seperti ini juga diajarkan Allah ketika Dia Menjadikan Thalut sebagai pemimpin menggantikan Jalut. Allah azza wajalla berfirman:
…إِنَّ اللهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ…
"…Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa…." .
Jika orang tua memiliki hak yang berupa kewajiban atas anak agar berbakti sebagai balas budi atas kebaikan dan jerih payah maka begitu halnya dengan seorang pemimpin. Ia memiliki hak untuk diikuti dan dipatuhi segala perintahnya. Apalah artinya kepemimpinan tanpa adanya ketundukan. Komunitas yang di dalamnya tidak terbangun norma ketundukan kepada pemimpin sama halnya tidak memiliki pemimpin yang berarti tidak ada keselarasan dan keseimbangan yang pada akhirnya menuju kepada akhir kehidupan. Inilah jawaban dari kenapa ketundukan kepada seorang pemimpin mendapatkan perhatian yang sangat serius dari Allah azza wajalla dan Rasulullah Saw. Beliau bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيْرِيْ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَي أَمِيْرِيْ فَقَدْ عَصَانِي
“Barang siapa yang taat kepadaku maka sungguh ia taat kepada Allah. Barang siapa yang mendurhakaiku maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah. Barang siapa taat kepada Amirku maka sungguh ia telah taat kepadaku. Barang siapa yang mendurhakai Amirku maka sungguh ia durhaka kepadaku” HR Bukhari-Muslim.
Betapapun pihak yang berada di atas memiliki kelebihan, akan tetapi perlu disadari bahwa dalam dirinya juga ada kekurangan di mana hal ini tidak boleh menjadi alasan bagi hilangnya kepatuhan. Seringkali ditemui adanya ketidakharmonisan atau bahkan pembangkangan dari para bawahan (pihak yang dipimpin) hanya karena alasan kekurangan yang ditemukan dalam diri pemimpin mereka. Padahal sebenarnya di sinilah letak ujian kepatuhan. Kekurangan pemimpin tidak boleh disikapi dengan pembangkangan. Protes boleh saja diajukan, tetapi bukan untuk merobohkan. Protes boleh dilakukan hanya dalam batas memberi nasehat, sebagai langkah reserve, berhati-hati sebagaimana dalam kasus pengangkatan Nabi Adam as sebagai Khalifah yang dalam dirinya terkandung kelebihan sekaligus kekurangan.
فَالُوْ أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ...
“Para malaikat berkata: “Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di dalamnya (bumi) orang yang akan berbuat kehancuran di dalamnya dan mengalirkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau…?”
...قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ
Di sini Allah menegaskan bahwa kekurangan dalam diri manusia yang suka berbuat kehancuran dan mengalirkan darah, tidak lantas menggagalkan penobatannya sebagai khalifah di bumi. Sebab di samping ada orang yang berbuat kehancuran juga ada sekian banyak manusia yang begitu tulus dan taat kepada Allah seperti halnya para nabi, para syuhada dan orang-orang shaleh. Artinya kekurangan apapun yang berada dalam diri seorang pemimpin tidak boleh dijadikan alasan untuk melawan dan tidak mengakui kepemimpinannya. Sungguh bila jujur dan melihat secara menyeluruh, maka selain kekurangan juga terkandung dalam dirinya begitu banyak kelebihan. Dalam konteks kekurangan pemimpin, maka agar kepatuhan tetap terjaga perlu kiranya disikapi seperti sikap Allah kepada protes yang dilakukan malaikat yaitu lebih melihat ke arah kebaikan dan kelebihan yang ada daripada melihat kekurangan dan kesalahan yang dilakukan. Rasulullah Saw mengajarkan::
اذْكُرُوْا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكُفُّوْا عَنْ مَسَاوِئِهِمْ
“Sebutlah kebaikan-kebaikan orang-orang mati kalian dan tahanlah diri kalian dari keburukan-keburukan mereka!”(HR Abu Dawud-Turmudzi dari Ibnu Umar)
Karena itulah apapun model pemimpin, harus didukung agar dirinya bisa berbuat baik, lebih baik demi menuju kemajuan bersama. Segala hal, apa saja prilaku pemimpin yang tidak sesuai dengan pakem yang sudah ditetapkan sehingga menimbulkan pertanyaan sebaiknya segera diungkap dan ditanyakan. Jangan dijadikan bahan pergunjingan karena hal ini akan menjadikan suasana tidak harmonis dan rasa saling mengasihi pun sirna yang akibatnya kasih sayang Allahpun pergi jauh dari komunitas kita.
Baca Artikel Lainnya : "Jauhi sifat Kikir"
Sementara itu di sisi lain seorang pemimpin betapapun dalam dirinya tersimpan sekian kelebihan dibanding orang lain, akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa kelebihan tidak lantas menjadikannya lebih utama daripada orang lain. Dalam hikmah dikatakan:
الْمَزِيَّةُ لاَ تَقْتَضِي اْلأَفْضَلِيَّةَ
Keistimewaan tidak menetepkan keutamaan
Ini karena disamping kelebihan pasti ada kekurangan. Jika dalam satu sisi seseorang unggul maka di sisi lain ia orang lain yang lebih unggul. Ini artinya seorang pemimpin juga harus siap menerima kritik dan masukan dari orang lain, tidak bersikap idealis, egois dan ide-idenya dianggap paling ideal. Karena itulah perlu kiranya seorang pemimpin memiliki kebiasaan untuk selalu bermusyawarah, bertukar fikiran dan saling mengeluarkan pendapat sehingga keputusan yang diambil tidak terkesan sepihak serta akan mendapatkan dukungan dari segala pihak dalam komunitas yang dipimpinnya. Terlalu banyak dalil terkait hal ini dalam kitab suci Alqur’an ataupun hadits-hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Di samping itupula seorang pemimpin tidak diperbolehkan menganggap rendah orang lain yang berstatus di bawahnya sehingga memperlakukannya semena-mena di luar batas etika atau memberi perintah seenaknya. Pemimpin dan yang dipimpin sekali lagi adalah sama-sama saling membutuhkan yang karenanya bila perlu tidak mesti harus ada perlakuan yang berbeda kecuali dalam kondisi yang memang menuntut hal itu. Jika anak buah bekerja maka jika mungkin pemimpin pun harus turun tangan secara langsung untuk membantu. Ma’rur bin Suwed menceritakan:
Kami bertemu dengan Abu Dzar al Ghiffari ra di Rabadzah. (ada yang aneh menurut kami karena) Abu Dzarr ra dan pembantunya memakai selimut yang sama hingga kami menanyanyakan hal itu. Abu Dzarr ra lalu menjelaskan: “Dulu aku pernah mencela sahayaku (dengan memanggilnya Wahai putera perempuan hitam)". Ia lalu melaporkan hal ini kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam sehingga Beliau pun menegurku:
إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيْكَ جَاهِلِيَّةٌ إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ الله تَحْتَ أَيْدِيْكُمْ فَمَنْ كاَنَ أَخُـوْهُ تَحْتَ يَدَيْهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلاَ تُكَلِّفُوْهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوْهُ فَأَعِيْنُوْهُمْ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya kamu seorang yang masih terdapat dalam dirinya sifat jahiliyyah. Pembantu kalian adalah saudara kalian.Allah menjadikan mereka berada di bawah tangan (kekuasaan) kalian maka barang siapa yang memiliki saudara yang berada dalam kekuasaannya maka hendaknya memberinya makan dari apa yang ia makan dan memberinya pakaiannya sepadan yang ia kenakan serta jangan membebani mereka sesuatu yang memberatkan mereka. Jika kalian membebaninya maka hendaklah ia membantunya”
Blogger Comment
Facebook Comment