Menjaga Ikhlas dan Semangat

Menjaga Ikhlas dan Semangat 
dalam Berdakwah

Allah azza wa jalla berfirman:

وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَي اللهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهُ وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَسَتُرَدُّوْنَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan oleh-Nya kepadamu apa yang telah kamu lakukan” (QS at Taubah:105)

Analisa Ayat

Hidup itu harus dinamis, tidak statis. Semangat, tidak loyo. Penuh aktivitas, banyak kreativitas dan tidak menganggur kecuali untuk sekedar beristirahat, karena Allah mencintai orang-orang yang mau bekerja dan berusaha. Jika manusia itu tercipta hanya untuk beribadah sementara ibadah tidak diterima kecuali jika dilandasi ikhlas, maka ketika berhasil menyingkirkan rasa malas, manusia juga harus belajar terus menerus menjadikan ikhlas sebagai warna dasar aktivitas sejak memulai, menjalani dan mengakhirinya.  Termasuk di saat menjalani aktivitas yang sangat mulia, yaitu berdakwah yang merupakan aktivitas para nabi dan orang-orang shaleh. Hal demikian memang sebuah prinsip yang tidak mudah. Menjaga dan melindungi hati agar ikhlas dalam seluruh aktivitas merupakan pekerjaan yang sulit. Ini karena hati siapapun ketika melakakun sesuatu apapun pasti memiliki keinginan untuk dilihat dan mendapatkan pujian dari orang lain.  

Ayat di atas adalah terapi untuk bisa selalu ikhlas dan semangat. Ayat di atas mengingatkan kita supaya beramal, bekerja dan berusaha (beraktivitas) serta fokus pada aktivitas, tanpa berfikir yang macam-macam  yang justru akan mengurangi energi. Cukup kita fokus pada aktivitas tanpa harus melakukan usaha agar diketahui oleh khalayak. Dengan begitu  kita akan mendapatkan pahala dari Allah dan RasulNya serta meraih simpati dan penghargaan dari sesama manusia. Inilah prestasi yang sebenarnya yang di samping mendapatkan pahala dunia, juga kelak akan dijumpai pahalanya di akhirat.  Inilah jaminan Allah dalam ayat di atas. Inilah hikmah mengapa Islam mengajarkan supaya orang yang beramal (aktivitas) tidak melakukan perbuatan riya’ (memamerkan) atau sum’ah (menyiarkan), karena, sekali lagi, jika ikhlas maka Allah sendiri yang akan mempopulerkan. Rasulullah Saw bersabda: 

لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ يَعْمَلُ فِي صَخْرَةٍ صَمَّاءَ لَيْسَ لَهَا بَابٌ، وَلَا كُوَّةٌ لَخَرَجَ عَمَلُهُ لِلنَّاسِ كَائِنًا مَا كَانَ

“Andai sesungguhnya salah seorang kalian beramal di dalam batu padas tanpa ada pintu tanpa jendela, niscaya amalnya itu pasti keluar kepada manusia (dilihat) di manapun ia berada” 

Ketika sebuah aktivitas, termasuk dakwah ilallah, dilakukan tanpa dilandasi ikhlas, dan hanya mencari popularitas atau meraih kepentingan materi, maka Rasulullah Saw mengajarkan agar kita tidak perlu menghargai amal itu, juga tidak bersimpati karena itu tidak bernilai di sisi Allah azza wajalla. Baik pelaku aktivitas itu kita sendiri atau atau orang lain. Beliau bersabda:  

 إِنَّ لِكُلِّ شَيْئٍ شِرَّةً وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةً فَإِنْ صَاحِبُهَا سَدَّدَ وَقَارَبَ فَأَرْجُوْهُ وَإِنْ أُشِيْرَ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ فَلَا تَعُدُّوْهُ

“Sesungguhnya segala sesuatu memiliki (mengalami) kondisi penuh kesemangatan, dan kondisi penuh kesemangatan itu juga memiliki (mengalami) masa kekendoran. Jika pelakunya tetap lurus dan terus berjalan (jejeg lan ajeg. Jawa) maka aku berharap ia meraih keberhasilan. Jika semata agar jari-jari menunjuk kepadanya (mendapat popularitas) maka jangan kalian menilainya (sebagai sebuah keberhasilan)”  



Selain menyebutkan perlu ikhlas dalam beraktivitas (berdakwah), secara jelas hadits ini juga mengingatkan kita bahwa pada suatu saat dan kondisi tertentu, sebuah aktivitas menjadi kendor dan mengalami penurunan. Pada suasana seperti inilah harus diwaspadai agar jangan sampai terhenti. Harus terus berjalan meski tertatih. Harus tetap terus melangkah meski terasa sangat berat. Sejauh mana kemampuan melewati suasana  seperti itu, maka sangat dipengaruhi oleh kekuatan yang mendorong aktivitas dilaksanakan. 

Kekuatan yang dimaksudkan adalah:

1. Kekuatan Materi (al Quwwah al Maaddiyyah)

Menjaga Ikhlas dan SemangatDaya dorong kekuatan ini terbatas di antara maju (menjalani) dan mundur (berhenti). Dan bahkan terkadang sama sekali tidak mendorong amal apapun padahal ia dalam kondisi terpenuhi kebutuhannya. Kekuatan ini hanya sekedar sarana untuk beramal dan bukan kekuatan yang mendorong pada amal. Oleh karena itulah pengaruhnya pada amal begitu lemah. Hal ini tidak lantas difahami bahwa kekuatan ini tidak diperlukan. Ia masih tetap diperlukan, akan tetapi bukan sebagai sebuah kekuatan utama. Ia hanyalah sekedar sarana yang pada suatu saat memang dibutuhkan.  

Habib bin Ubed berkisah:

"Aku melihat Miqdam bin Ma’dikarib duduk di (satu sudut) pasar bersama seorang sahaya wanitanya yang sedang menjual susu. Sementara ia mengambil dirham-dirham (dari para pembeli). Ditanya mengenai hal itu, maka ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:

إِذَا كَانَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ لا بُدَّ لِلنَّاسِ فِيهَا مِنَ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ يُقِيمُ الرَّجُلُ بِهَا دِينَهُ وَدُنْيَاهُ 

“Kelak di akhir zaman, pada masa itu manusia harus memiliki dirham-dirham dan dinar-dinar untuk seseorang bisa menegakkan agama dan dunianya”." 

2. Kekuatan Non Materi (al Quwwah al Ma’nawiyyah)

Kekuatan ini merupakan motivasi dari dalam diri (intrinsik) yang terkait erat dengan pemahaman-pemahaman seperti mencari popularitas, menuntut balas, dan membela orang yang lemah. Kekuatan ini memiliki pengaruh lebih kuat daripada kekuatan materi. 

3. Kekuatan Spiritual (al Quwwah ar Ruuhiyyah)

Kekuatan inilah yang mendorong seorang muslim untuk beramal dalam kehidupan meski wujud dalam performa (penampilan berupa) kekuatan materi atau non materi. Ia tumbuh dari pemahaman hubungan manusia dengan Tuhannya. Lalu ia pun tergerak untuk menjalani sesuai dengan kadar yang dituntut oleh Allah, betapapun hal itu akan lebih dikedepankan (demi pengorbanan) lebih daripada kebutuhan hidupnya ketika ia menjadikan Aqidah Islam sebagai dasar kehidupan, dan (menjadikan) keterikatan dengan hukum-hukum syara’ sebagai standar beramal untuk menggapai ridha Allah yang merupakan puncak tertinggi tujuan dari segala usaha.  Di sinilah rahasia keberhasilan dan kemenangannya.  

Kekuatan inilah yang paling banyak memberikan pengaruh dan merupakan faktor paling menentukan. Ia adalah kekuatan yang melindungi semua langkah usaha dan kekuatan materi. Ia adalah prinsip bagi seorang muslim dalam mengorbankan jiwa, harta benda dan tanah air di jalan aqidah dan agama yang disertai semangat tinggi, kejujuran dan keikhlasan. Dalam arti agar dirinya menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai olehnya daripada dunia dan seisinya. Dan agar ia mengorbankan seluruh kebaikan dan kepemilikan di jalan Allah serta menempatkan dakwah pada posisi pertama dalam kehidupannya sebagaimana difirmankan Allah ta’ala: “

“Katakanlah, "Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS at Taubah:24).

=والله يتولي الجميع برعايته=



Share on Google Plus

About tdmenha pujon

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment