Kerusakan Dan Pemutus Tali Kekeluargaan

Orientasi Kekuasaan Berakibat Pada
Kerusakan Dan Pemutus Tali Kekeluargaan

Allah azza wajalla berfirman:

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوْا فِى الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوْا أَرْحَامَكُمْ

“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad : 22)

Analisis Ayat

[تَوَلَّيْتُمْ] Kata ini mengikuti wazan (pola kata) تَفَعَّلَ . Artinya adalah kekuasaan yang diperoleh dari adanya suatu perbuatan memaksakan kehendak (li at-taqhir).

Makna dan Penjelasan Ayat

Nurul HaromainDisamping pertanyaan Allah Swt. terhadap kaum muslimin yang berjihad, berjuang menegakkan kalimat Allah, apakah jika kekuasaan telah diraihnya, mereka akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutus hubungan kekeluargaan yang ada?. Juga di dalam ayat ini Allah Swt. menjelaskan bahwa bila perjuangan kaum muslimin tidak lagi bertujuan meraih kemuliaan, menemukan kemaslahatan dan mencari pahala yang dijanjikan oleh Allah, tidak lagi memegang teguh prinsip in uridu illa al ishlah, dan in ajriya illa ‘ala Allah. Namun sekedar untuk kepentingan sesaat, sekedar pengaruh besar, kekayaan, dan kekuasaan yang itu semua pada mulanya hanya sebagai media atau sarana usaha perjuangan dakwah mencapai kemuliaan Islam. Maka orientasi perjuangan mereka yang demikian itu akan menjumpai dua jurang kehinaan. Jurang pertama berakibat buruk pada lingkungan hidup. Dan jurang kedua berakibat buruk pada tatanan masyarakat.

Secara umum, ayat ini mengajak kita kembali mengkoreksi usaha perjuangan dakwah yang telah dilakukan selama ini. Dimana dari kenyataan yang ada, kita bisa melihat hasil apa yang telah diperoleh. Apakah sebenarnya usaha perjuangan dakwah ini telah benar-benar melalui tuntunan yang diajarkan Nabi saw. atau malah jauh menyimpang.

Realitas Umat Islam

Realitas yang ada kemudian, di tingkat nasional kita bisa menyaksikan beberapa waktu yang lalu – bahkan sebagian lagi masih berlangsung hingga saat ini, dimana percaturan politik semakin meruncing, runyam, dan semrawut hingga ke berbagai daerah di pelosok tanah air. Perselisihan pendapat partai-partai besar yang notabene berbasis kaum muslimin dalam menetapkan kebijakan politiknya telah merambat menjadi pemicu rusaknya hubungan silaturahim keluarga pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Rasa saling menghormati mulai memudar, kesatuan umat semakin ditinggal, dan keresahan meningkat sejauh rusaknya tatanan nilai moral yang ada. Saling berbantah-bantahan, khianat, hujjah Al-Quran dan Al-Hadits diselewengkan, bahkan adu fisikpun dilakukan. Peristiwa yang demikian telah menjadi pemandangan kita sehari-hari.

Dari hadits yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah ra. kita hendaknya merengutkan dahi, merenungkan, dan memegang dada, merasakan serta menginsafi betapa celakanya keadaan masyarakat yang ada. Rasulullah saw. bersabda:

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَحْرَى أَنْ يَجْعَلَ اللهُ تعالى عُقُوْبَتَهُ فِى الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدْخَرُ لِصَاحِبِهِ فِى الآخِرَةِ : مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ – رواه أبو داود والترمذى وابن ماجه

“Tidak ada satupun dosa yang lebih pantas siksanya didahulukan oleh Allah Ta’ala di dunia serta pelakunya direndah-hinakan kelak di akhirat (selain) dari kelaliman dan memutus hubungan kekeluargaan.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Di tingkat internasional, kitapun telah menyaksikan bagaimana ghayrah (rasa cemburu) kaum muslimin semakin berkurang, aqidah kian buram, dan syariat Allah pun semakin diabaikan. Tidakkah yang sedemikian itu tak ubahnya perilaku masyarakat jahiliyah dahulu kala sebelum Islam kemudian merubahnya dengan petunjuk cahaya kebenaran. Allah  Swt. telah berfirman:

أُوْلَـئِكَ الَّذِيْنَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ

“Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad : 23)

Solusi Konkrit

Melihat kenyataan yang demikian, hendaknya kaum muslimin tidak lagi tinggal diam, tidak sekedar mengamati atau menganggapnya sebagai kesalahan yang harus diterima. Tapi yang lebih baik dari itu kaum muslimin seluruhnya harus segera mengembalikan pikiran, perasaan dan perbutannya kepada Al-Quran. Melepas konsep-konsep Barat yang menentang kebenaran Islam. Memenuhi janji syahadat sebagai seorang muslim beriman. Dan konsekuen terhadap keyakinannya. Atau bila tidak, kita akan terkelompokkan sebagai orang-orang yang terkunci hatinya.

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْءَآنَ أَمْ عَلَى قُلُوْبٍ أَقْفَالُهاَ

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad : 24)

Mengembalikan pikiran, perasaan dan perbuatan kita kepada Al-Quran, artinya setiap permasalahan yang dihadapi kaum muslimin dalam memperjuangkan usaha dakwah ini harusnya selalu istiqamah pada koridor syariat, tidak tergoda untuk menggunakan yang lain, yang jauh dari ideologi dan ajaran agama Islam. Karena syaitan tidak akan pernah tinggal diam untuk selalu menjebak kita agar mudah berbuat dosa dan memberikan angan-angan yang menggiurkan setiap saat dimana pintu kelalaian itu terbuka. Baik pintu itu bernama jabatan, kekayaan, atau kemasyhuran. Allah Swt. berfirman:

إِنَّ الَّذِيْنَ ارْتَدُّواْ عَلَى أَدْبَارِهِمْ مِّنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَى لَهُمْ

"Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” (QS. Muhammad : 25)

Kewaspadaan kaum muslimin hendaknya dimulai dari kesadaran bahwa waktu yang terus berganti dan zaman yang terus berubah sesungguhnya sedikit banyak telah merubah keadaan umat, pergeseran nilai yang semakin meninggalkan posisi asalnya. Keadaan ini telah lama disinyalir oleh Rasulullah saw. sebagaimana keterangan hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr ra. beliau menuturkan:

كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِى سَفَرٍ فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً، فَمِنَّا مَنْ يُصْلِحُ خِبَاءَهُ، وَمِنَّا مَنْ يَنْتَضِلُ، وَمِنَّا مَنْ هُوَ فِى جَشَرِهِ، إِذْ نَادَى مُنَادِى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلصَّلاَةُ جَامِعَةٌ، فَاجْتَمَعْنَا اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَ: إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِيٌّ قَبْلِيْ إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ، وَإِنَّ أُمَّتَكُمْ هَذِهِ جُعِلَ عَافِيَتُهَا فِى أَوَّلِهَا، وَسَيُصِيْبُ آخِرَهَا بَلآءٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهَا، وَتَجِئُ فِتَنٌ يُرَقِّقُ بَعْضُهَا بَعْضًا، وَتَجِئُ الْفِتْنَةُ فَيَقُوْلُ الْمُؤْمِنُ: هَذِهِ مُهْلِكَتِيْ ثُمَّ تَنْكَشِفُ وَتَجِئُ الْفِتْنَةُ فَيَقُوْلُ: هَذِهِ هَذِهِ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ فَلْتًأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِىْ يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ، وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَآءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ الآخَرِ – رواه مسلم

“Kami bersama Rasulullah saw. dalam suatu perjalanan. Kemudian kami berhenti di suatu tempat. Diantara kami ada yang sedang memperbaiki tendanya, ada yang sedang latihan memanah, dan ada pula yang sedang berada dalam kumpulan ternaknya. Tiba-tiba petugas informasi Rasulullah saw. memanggil (kami), ‘Saatnya shalat berjamaah!’ Maka kamipun berkumpul menuju Rasulullah saw., kemudian beliau bersabda, ‘Sungguh tidak ada seorang nabipun sebelumku melainkan ia harus menunjukkan umatnya kepada kebaikan yang diajarkan untuk mereka, dan memberi peringatan umatnya kepada keburukan yang diajarkan pula untuk mereka. Sesungguhnya umat kalian ini kebahagiannya berada di awal, dan di akhirnya akan tiba suatu cobaan serta perkara-perkara yang kalian akan mengingkarinya. Akan datang berbagai fitnah dimana sebagian fitnah itu menjadikan ringan terhadap sebagian yang lain. Akan datang suatu fitnah dimana seorang mukmin berkomentar, ‘Ini yang membinasakanku.’ Kemudian fitnah itupun dapat teratasi. Dan akan datang kembali suatu fitnah dimana seorang mukmin berkomentar, ‘Ini lebih besar lagi.’ Siapa yang ingin diselamatkan dari neraka dan dimasukkan ke surga. Maka hendaklah ia mendatangi kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta menemui orang yang senang dikunjungi olehnya. Dan siapa yang telah berbaiat kepada seorang imam. Kemudian memberikan tepukan tangan (untuk berjanji) dan kesetiaan hati kepadanya. Maka taatilah ia jika mampu. Jika orang lain datang merebutnya. Maka pukullah lehernya oleh kalian.” (HR. Muslim)     

Nasihat Rasulullah saw. diatas tersebut terasa begitu tepat sekali saat ini, seakan baru saja beliau menyampaikannya di hadapan kita, dimana umat sedang dirundung kekalutan yang mendalam, dimana keterputusasaan telah menjadi suatu kebanggaan, dan disaat kita sadar bahwa cobaan demi cobaan akan datang silih berganti, yang pertama telah membuat kerusakan dan yang kedua akan lebih memperparah lagi, demikian seterusnya.

Baca Artikel Lainnya : "Meminta Fatwa Pada Diri Sendiri"


Kemudian Rasulullah saw. pun memberikan makhraj (solusi) kepada umat ini dalam menghadapi setiap permasalahan yang terus datang silih berganti dengan tiga pesannya. Pertama, sebagai seorang muslim kita hendaknya senantiasa berusaha menemui ajal kematiannya dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari kemudain, mati sebagai husnal khatimah (akhir yang baik). Kedua, kita hendaknya senantiasa bersilaturahim kepada orang yang kita senang menjumpainya dan diapun senang menjumpai kita, orang yang memiliki semangat ishlah (rekonsiliasi) yang tinggi, yang tidak terlalu mengedepankan pribadinya terhadap orang lain. Ketiga, kita hendaknya senantiasa berada dalam naungan jama’ah, taat dan setia hati kepada pimpinan, serta tegas terhadap para pemberontak. Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr ra. Nabi saw. bersabda:

اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، اِرْحَمُواْ أَهْلَ الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ أَهْلُ السَّمَآءِ. وَالرَّحِمُ شِجْنَةٌ مِنَ الرًّحْمَنِ مَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ  رواه أبو داود والترمذى

“Orang-orang yang saling berkasih-sayang akan memperoleh belas kasih Dzat Yang Maha Pengasih. Kasih-sayangilah oleh kalian seluruh penghuni bumi, maka akan berbelas kasih kepada kalian seluruh penghuni langit. Hubungan kekeluargaan adalah bagian dahan dari Dzat Yang Maha Pengasih. Siapa yang telah menyambungnya akupun menyambungnya, dan siapa yang telah memutusnya akupun memutusnya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Begitu pentingnya bagi umat ini, di saat tantangannya akan semakin ‘lebih besar lagi’ untuk segera menyegarkan kembali ingatan mereka kepada kebenaran konsep tarahum (saling mengasihi), tawadud (saling menyayangi), dan ta’athuf (saling menaruh simpati), yang menjadi bagian terpenting dari misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Kita perlu reorientasi niat dan perbuatan. Agar usaha perjuangan dakwah benar-benar meraih kebrhasilan yang gemilang. Dan tentu untuk mensosialisasikannya, semua komponen umat harus terlibat, bekerjasama, saling bahu-membahu, bergandeng tangan, meluruskan ‘shaf’ ukhuwah, dan segera mempersiapkan rekonsiliasi besar. Tentu dengan bekal keistiqamahan dan kesabaran, kita berpegang teguh pada tali Allah (al-i’tisham bi hablillah), mengikat hati (ta’lif al-qulub), dan saling bertoleransi serta mencari mitra perjuangan (al-tasamuh wa al-ukhuwah). Karena rasanya masih panjang jalan ini.

Share on Google Plus

About tdmenha pujon

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment