Taqwa, Peleburan Dosa

Taqwa, Peleburan Dosa dan 

Berakhlak Baik kepada Manusia


Dari Abu Dzarr Jundub bin Junadah dan Muadz bin Jabal radhiyallahu anhuma. Rasulullah Saw bersabda:

اِتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الـْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertaqwalah kamu kepada Allah di manapun dan dalam kondisi apapun. Ikutilah keburukan dengan kebaikan maka akan meleburnya. Dan berakhlaqlah kepada manusia dengan akhlaq yang baik” (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Turmudzi no: 1987 dalam Abwaabil birr was shilati).

Perowi Hadits

Abu Dzarr al Ghifari ra
Abu Dzarr termasuk di antara sahabat yang telah masuk islam pada periode Makkah. Beliau seorang yang sangat zuhud sehingga memiliki teori bahwa sesuatu yang melebihi kebutuhan sehari semalam tidak boleh disimpan. Suatu ketika utusan Muawiyah datang membawa hadiah uang seribu dinar. Ia menerimanya dan lalu membagikan kesemuanya, tak tersisa sedikitpun. Esok hari utusan itu datang dan mengatakan: “Mohon maaf, saya keliru. Uang itu bukan untuk anda, tetapi untuk orang lain. Apakah saya bisa mengambilnya kembali?  Saya khawatir Muawiyah akan menghukum saya” Abu Dzarr menjawab: “Wahai anda, saya menerima uang itu pada pagi hari, dan sore hari tak ada sedikitpun yang tersisa”.
Nurul Haromain

Memang utusan ini sengaja melakukan hal demikian atas perintah Muawiyah dalam rangka menguji kebenaran berita bahwa Abu Dzar adalah seorang yang zuhud. Di samping zuhud, Abu Dzarr ra adalah di antara sahabat yang mendapatkan kesaksian secara langsung dari Rasulullah Saw akan sifat tawadhu’ nya. “Barang siapa yang suka melihat ketawadhu’an Isa bin Maryam maka silahkan melihat kepada Abu Dzarr” (HR Ibnu Majah).

Abu Dzarr tinggal dan wafat di Rabdzah tahun 32 H, sebuah daerah terpencil berjarak kurang lebih 120 KM (tiga marhalah) dari Madinah yang menjadi tempat istirahat jamaah haji dari Iraq.  Ketika akan wafat ia hanya ditemani oleh isteri dan seorang sahayanya. Isterinya begitu bersedih  dan menangis. Abu Dzar pun berpesan: Jangan menangis, tetapi bergembiralah karena aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda:

لَيَمُوْتَنَّ رَجُلٌ مِنْكُمْ بِفَلَاةٍ مِنَ الْأَرْضِ يَشْهَدُهُ عِصَابَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينْ
“Sungguh seorang dari kalian kelak akan meninggal di sebuah daerah terpencil dan dihadiri oleh sekelompok dari orang-orang beriman” (HR Abu Nuaim dalam Hilyatul Auliya’ juz 01 hal 170)

Sekelompok orang yang dimaksud dalam hadits ini ternyata adalah Abdullah bin Mas’ud ra yang kebetulan pulang dari Kufah menuju Madinah bersama beberapa orang. Merekalah yang akhirnya menshalati dan menguburkan jenazah Abu Dzarr ra.

Muadz bin Jabal ra
Ia masuk islam ketika berusia 18 tahun dan wafat di Syam dalam wabah penyakit (Tha’un) Amwas pada tahun 18 H dalam usia 37. Ia termasuk sahabat yang mendapatkan tugas khusus mengumpulkan Alqur’an bersama Ubayy bin Kaab ra, Zaid bin Tsabit ra dan Abu Zaid Qoes bin As Sakan. Setelah perang Tabuk ia diutus Rasulullah Saw sebagai mufti di Yaman.

Muadz seorang pribadi yang sangat dermawan, tidak diminta apapun kecuali pasti memberikan. Di kalangan para sahabat ia begitu berwibawa sehingga di saat pertemuan di mana Muadz hadir maka semua orang yang berbicara pasti dengan menghadap kepadanya.

Sebagai suami yang memiliki dua isteri, ia juga sangat adil. Jika sedang berada di rumah salah seorang dari mereka maka tidak akan minum atau berwudhu di rumah satunya. Ketika kedua isterinya meninggal secara bersamaan maka ia melakukan undian siapa dari keduanya yang akan dimakamkan terlebih dahulu.

Sebagaimana para sahabat, keimanan Muadz bin Jabal ra juga sudah sampai dalam taraf Yaqin. Suatu ketika Rasulullah Saw bertanya: “Bagaimana kabarmu pagi ini wahai Muadz?” ia menjawab: “Saya menyambut pagi dalam keadaan beriman kepada Allah” Rasulullah Saw bersabda: “Setiap ucapan perlu pembenaran (bukti) dan setiap kebenaran perlu kenyataan. Lalu apa bukti ucapanmu?” Muadz menjawab: “Wahai Rasulullah, saya tidak pernah memasuki pagi kecuali berfikir tidak akan hidup sampai sore hari. Saya tidak pernah memasuki waktu sore kecuali berfikir tidak akan hidup sampai pagi hari. Saya tidak melangkah selangkah kecuali berfikir tidak akan bisa mengayunkan langkah berikutnya…dan sungguh seakan saya menyaksikan siksaan penduduk neraka dan pahala penduduk surga”. Rasulullah Saw bersabda:

قَدْ عَرَفْتَ فَالْزَمْ
“Kamu sudah mengerti maka tetapilah!” (HR Abu Nuaim dalam Hilyatul Auliya’ juz hal 242). Kelak pada hari kiamat Muadz bin Jabal ra adalah pemimpin para ulama. Rasulullah Saw bersabda:

يَأْتِيْ مُعَاذٌ أَمَامَ الْعُلَمَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِرَتْوَةٍ أَوْ رَتْوَتَيْنِ
“Kelak pada hari kiamat Muadz akan datang di hadapan para ulama dengan jarak satu atau dua lemparan batu” (HR Thabarani dalam al Kabir ).

Penjelasan Hadits

Dalam hadits ini terdapat tiga pesan penting Rasulullah Saw:

1.  Bertaqwa kepada Allah di manapun berada dan dalam kondisi apapun. Artinya taqwa harus menjadi sesuatu yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan. Pesan ini sangat terkait dengan watak manusia yang memang diciptakan oleh Allah berbeda-beda dan memiliki hati yang mudah berubah bagaikan kapas terhempas oleh angin. Ada seseorang yang ketika sehat maka ia akan mudah bertaqwa kepada Allah, tetapi ketika sakit datang maka taqwa begitu mudah hilang. Setan dengan mudah mencegahnya dari melakukan perintah Allah berupa shalat, padahal shalat wajib dilakukan baik ketika sehat maupun dalam keadaan sakit. Ketika lacar mencari rizki, maka dengan mudah seseorang menjalani pekerjaan yang halal. Akan tetapi ketika rizki sulit, maka saat itulah banyak orang gelap hati sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang tanpa peduli itu halal, syhubhat atau haram.

Perintah ini juga sangat terkait dengan kondisi masing-masing orang yang ketika senang maka menjadi orang yang sangat taat kepada Allah, tetapi ketika susah ia dengan mudah meninggalkan ketaatan dan bahkan melanggar perintah Allah. Begitu pula sebaliknya. Ada seorang yang ketika susah maka akan banyak mendekatkan diri kepada Allah,  tetapi ketika senang maka ia justru menjauh dari Allah. Sementara hal yang dikehendaki oleh Allah adalah agar kita senantiasa bertaqwa kepadaNya. Oleh Allah taqwa diibaratkan sebagai busana yang harus dikenakan oleh manusia di manapun berada agar dirinya indah dan layak disebut makhluk yang berperadaban. Allah azza wajalla berfirman:
"...وَلِبَاسُ التَّقْوَي ذلِكَ خَيْرٌ ..."
“…dan busana taqwa, itulah yang terbaik…” (QS al A’raf:26)

Secara umum taqwa diberikan pengertian menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Keduanya harus berjalan bersama. Kehilangan salah satunya menjadikan seseorang kehilangan predikat taqwa. Ketika seseorang shalat lima waktu tetapi juga mencuri maka ia bukan orang yang bertaqwa. Ketika ada seorang yang tidak mau mencuri, tetapi tidak shalat lima waktu maka ia juga bukan orang yang bertaqwa.

Lalu siapakah di antara keduanya yang lebih ringan kesalahannya? Mayoritas ulama sepakat bahwa orang pertama masih lebih  ringan kesalahannya daripada orang kedua karena ia masih peduli dan tunduk kepada perintah Allah meski belum bisa mengendalikan diri dari menjauhi kemaksiatan.
Kondisi ini sama dengan seseorang yang memiliki jasa dalam komunitasnya tetapi juga tidak bisa terlepas dari kesalahan-kesalahan. Sementara ada juga orang yang tidak pernah bersalah tetapi juga tidak atau kurang peduli dengan komunitasnya.  Orang pertama tetap mendapatkan nilai utama daripada orang kedua yang tidak bersalah karena memang tidak pernah atau kurang memberikan kontribusi kepada komunitasnya.

Baca Artikel Lainnya : "Marah Karena Allah"

Meski kita diajarkan agar bertaqwa di mana saja dan dalam kondisi apa saja, akan tetapi kita dilarang merasa menjadi orang yang baik orang yang bertaqwa karena hanya Allah –lah Dzat yang paling mengerti siapa di antara kita yang lebih bertaqwa. Allah berfirman:

 ...فَلَا تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَي

“Maka janganlah kamu merasa suci. Dia-lah yang Mengetahui siapa yang bertaqwa” (QS An Najm: 32)
 
2.   Jika terlanjur berbuat keburukan maka segera melakukan kebaikan agar kesalahan itu bisa terlebur. Allah azza wajalla berfirman:

"...إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ..."

“…sesungguhnya kebaikan-kebaikan bisa  melebur keburukan-keburukan…” (QS Huud:114)

Di antara kebaikan ini yang paling pertama adalah rasa penyesalan (nadam), segera meninggalkan dan bertekad tidak akan mengulang. Perpaduan tiga hal inilah yang disebut dengan taubat. Di antara kebaikan ini adalah shalat, puasa, dzikir dan membaca shalawat. Abu Bakar ra mengatakan: “Membaca shalawat lebih cepat melunturkan dosa daripada air dingin menghilangkan dahaga” Di antara kebaikan ini adalah sedekah. Oleh karena itulah seorang pembunuh yang mendapatkan pengampunan dari keluarga korban diharuskan membayarkan denda (diyat) senilai  100 ekor unta. Denda Kafarat adalah membebaskan budak, memberi makan, atau menyembelih hewan kurban. Seorang yang diterima taubatnya oleh Allah sebagaimana dalam kasus orang-orang yang sengaja tidak berangkat ikut serta  dalam perang Tabuk juga diajarkan agar menyedekahkan sebagian harta benda. Para pedagang yang sangat susah menghindari omongan yang berbau kebohongan dan berlebihan juga diajarkan agar banyak bersedekah.

يَامَعْشَرَ التُّجَّارِ, إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلْفُ فَشُوْبُوْهُ بِالصَّدَقَةِ

“Wahai sekalian para pedagang, sesungguhnya jual beli dimasuki oleh kata-kata tidak berguna dan sumpah (yang terkadang palsu), maka campurlah jual beli itu dengan sedekah!” (HR Abu Dawud no: 3324)

Dalam prinsip islam, seorang guru diperbolehkan membentak atau bahkan memberikan hukuman fisik kepada anak didik. Tentu saja jika memang situasi dan kondisi menuntut hal demikian. Meski begitu, akan sangat bijaksana jika prinsip di atas juga dijalankan; yaitu memberikan hadiah atau hal yang menyenangkan kepada anak didik usai menerima hukuman. Seringkali guru kami KH M Ihya’ Ulumiddin menceritakan kebiasaan Guru Besar Abuya As Sayyid Muhammad al Maliki berupa pukulan yang pasti disusul dengan pemberian. Ia, setiap kali memukul santri karena sebuah kesalahan, maka selanjutnya santri tersebut pasti diberi uang dengan jumlah yang cukup lumayan untuk ukuran saku santri.

Apabila kebaikan bisa melebur keburukan, lalu apakah juga sebaliknya? Keburukan bisa melebur kebaikan? Oleh karena Allah Maha Pengasih Maha Pemurah, kemurahanNya mengalahkan kemarahanNya, maka keburukan tidak serta merta menghapus kebaikan. Akan tetapi hanya sekedar mengurangi kebaikan. Artinya jika dibiarkan, bukan tidak mungkin keburukan juga akan melebur dan menghabiskan kebaikan. Kesimpulan ini bisa diambil dari sabda Rasulullah Saw:

إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ...
“Waspadailah oleh kalian iri hati, karena sesungguhnya iri hati memakan kebaikan-kebaikan seperti api memakan kayu bakar” (HR Abu Dawud. HR Ibnu Majah)

3.     Bergaul dengan manusia dengan akhlaq yang baik. Dalam sebuah hadits disebutkan yang artinya: “Sebaik baik kebaikan adalah akhlak yang baik” (HR Ibnu Asakir). Seluruh manusia harus mendapatkan perlakuan baik dari kita, termasuk orang yang telah berbuat buruk kepada kita dengan cara memberikan maaf dan menghilangkan perasaan untuk menuntut balas. Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّكُمْ لَنْ تَسَعُوا النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ ، وَلَكِنْ يَسَعُهُمْ مِنْكُمْ بَسْطُ الْوَجْهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
“Sesungguhnya kalian tidak akan pernah bisa menapung manusia dengan harta benda kalian, akan tetapi hendaklah mereka bisa kalian tamping dengan wajah sumringah dan akhlak yang baik” (HR al Haitsami dari Abu Hurairah ra)

Sungguh akan sangat luas dan panjang pembahasan tentang hal ini. Apalagi waktu yang dibutuhkan untuk belajar dan bisa mewujudkannya dalam kehidupan nyata. Akan tetapi hal yang mesti dimengerti bahwa sumber dari akhlak yang baik dalam islam adalah menjalin hubungan yang kuat dengan Allah melalui istiqamah dan ihsan dalam beribadah terutama shalat lima waktu dan shalat tahajjud, puasa sunnah, memperbanyak membaca Alqur’an dan dzikir, merutinkan sedekah, dan bergaul dengan orang-orang yang baik. Hal-hal demikian inilah yang akan membangun akhlaq mulia dalam diri kita.

Terkait akhlaq yang baik ini guru kami KH Ihya’ Ulumiddin seringkali mengingatkan ajaran orang jawa Nguwongno uwong,  nyenengno uwong, nggatekno uwong lan orang nggelakno uwong.  Di  kalangan suku Biak juga ada ajaran Fa i do ma, ma ido fa, memberi karena telah menerima dan menerima karena telah memberi. Pada intinya akhlaq yang baik adalah memberikan manfaat kepada orang lain serta berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Semoga Allah memberikan taufiqNya.

=وَاللهُ يَتَوَلَّي الـْجَمِيْعَ بِرِعَايَتِه=

Share on Google Plus

About tdmenha pujon

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment