Dua Mata Rantai Ittiba’ dan Ta’zhiim

Dua Mata Rantai Ittiba’ dan Ta’zhiim
Kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam


Allah azza wajalla berfirman:

إِنَّا أَرْسَلْناَكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيْرًا . لِتُؤْمِنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَتُعَزِّرُوْهُ وَتُوَقِّرُوْهُ وَتُسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً

“Sesungguhnya Kami Mengutusmu sebagai saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Agar kalian beriman dengan Allah dan rasulNya sekaligus menguatkan dan memuliakannya dan juga kalian mensucikanNya di waktu pagi dan sore hari” (QS al Fath:8-9)

Analisa Ayat

Nurul HaromainSekian banyak anjuran supaya kaum muslimin mengikuti jejak langkah Rasululullah shallallahu alaihi wasallam. Berusaha sekuat tenaga, senantiasa berproses untuk bisa secara total meniru perilaku Beliau dalam segala hal; baik ibadah, muamalah atau kebiasaan. Dari hal yang terkecil sampai yang terbesar. Ini karena memang segalanya telah diajarkan oleh Beliau. Seorang Yahudi pernah berkata kepada Sayyidina Umar ra: ”Temanmu (Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) mengajarkan segala hal hingga sampai bagaimana cara buang air besar”. Tidak hanya batas mengikuti, tetapi sekaligus juga disertai semangat tinggi dan rasa senang bisa menghidupkan sunnah.Inilah salah satu tanda bahwa keimanan menuju titik sempurna. “Tidak sempurnalah Iman salah seorang kalian sehingga mengikuti ajaranku menjadi kesenangan (hobi)nya”.

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa selain berusaha mengikuti jejak langkah (Ittiba’), seorang yang beriman juga dituntut agar mempersembahkan hal lain yang berupa memuliakan (Ta’zhiim)”…dan memuliakannya…”.”Dan barang siapa memuliakan syiar-syiar Allah maka itu adalah bagian dari ketaqwaan dalam hati” .Syiar terbesar Allah di muka bumi ini tiada lain adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Bukan Ka’bah atau yang lainnya. Sebab betapapun dalam 24 jam tidak pernah sepi dari orang yang berthawaf, Ka’bah tidak lebih mulia daripada manusia beriman. Seorang manusia yang beriman lebih bernilai tinggi di sisi Allah daripada Ka’bah. Sementara seseorang tidak akan beriman andaikan tanpa kehadiran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dari sisi ini saja sudah sangat layak bila manusia beriman mengagungkan dan memuliakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Tuntutan dan bimbingan mewujudkan rasa Ta’zhim ini bisa ditemukan dalam berbagai ayat suci Alqur’an di mana di sana Allah subhaanahu wata’ala  secara langsung ikut ambil bagian sekaligus memerintahkan manusia beriman agar memuliakan Rasulullah shallalahu alaihi wasallam dalam berbagai macam cara;
  1. Allah memberikan nama-nama-Nya untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana Allah Menyebut kekasih-Nya itu dengan sebutan Ra’uuf, Rahiim, hamba yang penyayang dan pengasih. Perbedaan di antaranya adalah bahwa sifat dalam Dzat Allah merupakan sifat Azaliyyah, sementara sifat pada diri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah sifat Athoiyyah, sifat pemberian dari-Nya.
  2. Allah bershalawat atas Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sekaligus juga mengabarkan bahwa malaikat juga bershalawat, serta memerintahkan supaya hamba yang beriman bershalawat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. “Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian atasnya…”QS al Ahzaab:56.
Di samping sebagai bentuk Ta’zhiim, bacaan Shalawat memang dijadikan media oleh Allah bagi umat untuk selalu sambung dan memiliki hubungan dengan nabi mereka. Semakin banyak seseorang bershalawat maka semakin sering namanya dikenal dan dilaporkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ عِنْدَ قَبْرِي سَمِعْتُهُ وَمَنْ صَلَّي عَلَيَّ نَائِيًا بُلِّغْـتُهُ

“Barang siapa yang bershalawat atasku di dekat kuburku maka aku mendengarnya (tanpa perantara) dan barang siapa bershalawat jauh dariku maka disampaikan ia kepadaku” (HR Baihaqi dalam Syuabul Iman no 1583)

Hadits ini didukung hadits lain yang artinya; “Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat yang berkeliling di bumi untuk menyampaikan salam umatku kepadaku” (HR Nasa’i). Dalam hadits Aus juga disebutkan bahwa selain di Raudhoh Syarifah, ada pula bacaan seseorang yang langsung didengar oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yaitu bacaan shalawat pada hari jum’at. “Perbanyaklah shalawat kepadaku di hari jum’at karena shalawat kalian ditampakkan kepadaku (tanpa perantara)” (HR Abu Dawud). Selain hari jum’at adalah bacaan shalawat salam seorang hamba dalam tahiyyat shalat. “Assalaamu alaika ayyuhannabiyyu…” kata alaika bermakna atasmu yang berarti berbicara kepada orang yang ada di hadapan dan mendengarkan kita. Sangat disayangkan ketika sebagian ahli bid’ah memiliki keyakinan salah dan berijtihad sendiri mengganti alaika  dengan alannabiyy.

Baca Artikel Lainnya : "Membalas Kebaikan Orang Lain"

Di samping dalil tekstual, keyakinan bahwa shalawat seorang hamba bisa diketahui oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga dikuatkan dengan banyaknya mimpi-mimpi yang dialami oleh orang shaleh di mana mimpi-mimpi ini telah dijelaskan Alqur’an sebagai salah satu bentuk bimbingan langit pasca masa Nubuwwah terputus dengan wafatnya penutup dan penghulu para utusan, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Di antaranya adalah mimpi Sulaiman bin Suhem yang diceritakannya sendiri: Aku bermimpi Nabi shallallahu alaihi wasallam dan bertanya: “Wahai Rasulullah, mereka datang dan mengucapkan salam kepadamu. Apakah engkau mengerti salam mereka?” Beliau bersabda: “Ia, dan aku membalas salam mereka”.(Diriwayatkan Ibnu Abi Dun’ya-Baihaqi)

Jika begitu sayang dan memuliakan seseorang; kedua orang tua, guru atau siapa saja tentu akan seringkali kita mengingat mereka dalam do’a sebagaimana Imam Ahmad bin Hambal yang tidak pernah melupakan memohon ampunan untuk Imam Syafii dalam setiap Qiyamullailnya. Ini karena Imam Ahmad sangat mengagungkan Imam Syafii dan merasa berhutang budi. Pengagungan ini di antaranya tergambar dalam ungkapan Imam Ahmad yang begitu terkenal; “Andai bukan karena Imam Syafii maka kita tidak mengenal cara menggali hukum-hukum fiqih dari hadits”.


Beginilah seharusnya manusia beriman; ia harus mengagungkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan salah satu cara yang diperintahkan Allah yaitu banyak bershalawat, tanpa terikat oleh waktu dan tempat. Tanpa terikat dengan sebuah bentuk gubahan shalawat. Sebab pada kenyataannya para ulama dan orang-orang saleh, termasuk generasi sahabat, memiliki model dan cara bershalawat sendiri yang satu sama lain berbeda dalam bentuk gubahannnya.

    3. Allah Melarang umat yang di dalam hatinya tertanam keimanan agar tidak memanggil Rasulullah shallallahu alaihi wasallam secara langsung dengan menyebut nama Beliau. Allah berfirman:
يَآأَيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَجْعَلُوْا دُعَاءَ الرَّسُوْلِ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا…

“Wahai orang-orang yang beriman jangankah kalian menjadikan panggilan kepada Rasulullah seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian lain…” (QS An Nuur:63).

Ada beberapa versi seputar sebab ayat ini diturunkan; a) ketika Bani Tamim datang menghadap dan memanggil “Hai Muhammad, Hai Muhammad, keluarlah dan sambutlah kami!” Allah lalu mencela mereka sebagai manusia bodoh dan kebanyakan tidak berakal. b) terkait Abu Bakar ra dan Umar ra yang sedang terlibat perdebatan sengit di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga suara keduanya terdengar begitu gaduh. c) terkait dengan Tsabit bin Qoes bin Syammas yang kedua telinganya tidak begitu peka suara sehingga ia selalu mengeraskan suaranya. Ketika ayat di atas diturunkan maka ia berdiam diri di rumah karena khawatir amal-amalnya musnah. Kemudian ia datang dan berkata: “Wahai Nabi Allah, sungguh saya khawatir mengalami kehancuran; Allah melarang kami mengeraskan suara sementara saya orang yang memiliki suara keras” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidak relakah jika kamu hidup terpuji, mati sebagai syahid dan masuk surga?!” Tsabit kemudian terbunuh dalam tragedi Yamamah. (HR Bukhori-Baihaqi).

Berangkat dari sinilah kemudian kita mendapatkan betapa para ulama yang bukan hanya memiliki keilmuan yang luas dan mendalam tetapi sekaligus memiliki Dzauq (perasaan) kuat mengajarkan kepada kita agar senantiasa menyebutkan Sayyidina, Nabiyyina atau Rasulullah sebelum nama Beliau Shallallahu alaihi wasallam. Dalam tradisi jawapun kita diajarkan untuk tidak memanggil nama orang yang harus kita muliakan seperti kedua orang tua, guru, dan orang yang lebih tua dengan memanggil namanya secara langsung. Jika di kalangan kita terhadap orang yang kita hormati saja tidak ada budaya memanggil namanya secara langsung kecuali dengan embel-embel Pak, Bos, Juragan atau yang lain maka betapa saru dan sangat tidak memiliki perasaan, orang Islam yang beriman dan mengakui kenabiaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tetapi seenaknya menyebut “Muhammad, hamba dan utusanNya”.

Banyak sekali hal yang harus dilakukan sebagai bentuk Ta’zhiim kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Tetapi dalam kesempatan ini akan lebih baik jika kita membaca sejarah para sahabat dan generasi salaf setelah mereka maka akan ditemukan betapa kehidupan dan aktivitas yang mereka jalani sangat penuh dengan aneka ragam keindahan dalam mempersembahkan Ta’zhiim kepada kekasih mereka Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Pengagungan mereka tidak terbatas hanya kepada Beliau secara langsung tetapi juga terkait dengan segala sesuatu dan semua hal yang masih memiliki hubungan dan keterkaitan dengan Beliau shallallahu alaihi wasallam.

Amar bin Ash ra berkata: "Tidak ada seorangpun yang paling kucintai dan paling agung di mataku melebihi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga mataku tidak pernah kuat memandangnya dengan sepenuh pandangan. Andai diminta agar menjelaskan bagaimana (bentuk fisik Beliau) niscaya aku tidak bisa karena memang tidak mampu memandangnya dengan detail" (HR Muslim).

Dalam riwayat Imam Turmudzi disebutkan dari Anas ra bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hadir di tengah para sahabat. Tak ada seorangpun yang berani melihat Beliau kecuali Abu Bakar ra dan Umar ra. Keduanya melihat Beliau dan Beliau pun melihat keduanya serta di antara mereka saling memberikan senyuman. Usamah bin Syurek berkata:

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ حَوْلَهُ كَأَنَّمَا عَلَى رُؤُوْسِهِمْ الطَّيْرُ

“Aku datang kepada Nabi shallallahu alahi wasallam saat para sahabat berada di sekeliling Beliau seakan-akan ada burung hinggap di atas kepala mereka” (HR Abu Dawud-Turmudzi).

Pasca kewafatan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Ta’zhiim para sahabat radhiyallahu anhum sama sekali tidak luntur. Adalah Abu Bakar ra yang ketika menjadi Khalifah, Beliau hanya berdiri dan meletakkan kakinya pada tangga kedua mimbar saat sedang berkhuthbah. Ini Beliau lakukan karena rasa Ta’zhiim kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan merasa tidak pantas berdiri dan duduk di tempat sang kekasih shallallahu alaihi wasallam. Pada masa Umar ra juga demikian halnya. Saat berkhutbah, Umar ra tidak duduk dan berdiri di tangga kedua, tetapi di tangga ketiga karena rasa Ta’zhiim  kepada Abu Bakar ra.

Ketika suara para sahabat begitu kalem, lirih dan nyaris tidak terdengar oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka budaya inipun tetap berlaku di masjid Nabawi pasca Beliau wafat. Khalifah Abbasiah waktu itu, Abu Ja’far datang dan berbicara keras mendebat Imam Malik rahimahullah  di masjid Nabawi. Imam Malik ra segera menegur: “Wahai Amirul Mukminin, jangan keraskan suara anda di masjid ini sebab sesungguhnya Allah telah menegur kaum; “Jangan kalian mengeraskan suara di atas suara nabi…” (Al Hujurat:2), dan Allah memuji kaum lain, “Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, merekalah orang yang hatinya diuji Allah menuju ketaqwaan dan bagi mereka ampunan dan pahala besar” (QS al Hujurat:3.)

Teguran ini berhasil membuat Khalifah Abu Ja’far tenang dan menerimanya dengan lapang dada. Selanjutnya Khalifah bertanya: “Wahai Abu Abdillah (Imam Malik) apakah aku akan menghadap kiblat dan lalu berdo’a atau menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?” Imam Malik menjawab: “Kenapa anda harus memalingkan wajah dari Beliau sementara Beliau adalah wasilah anda dan wasilah Adam bapak anda kelak di hari kiamat? Menghadaplah kepada Beliau dan memohonlah syafaat dengannya, pasti Allah akan menerima permohonan syafaat anda. Allah berfirman: “Anda sesungguhnya mereka ketika menzhalimi diri sendiri, datang kepadamu dan lalu memohon ampunan kepada Allah dan Rasul memohon ampunan bagi mereka niscaya mereka mendapatkan Allah sebagai Dzat Maha menerima taubat dan Maha Pengasih” (QS An Nisa’:64).

Begitula kisah para sahabat, generasi setalahnya, generasi sesudahnya lagi dan para pengikut mereka. Sangat mengagungkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan segala hal yang terkait dengan Beliau. Sekarang yang perlu ditanyakan apakah kita yang merasa sebagai manusia yang paling meneladani generasi Salaf dan bahkan menamakan diri sebagai kelompok Salafi atau Salafiyyah memiliki dan mempersembahkan rasa Ta’zhim seperti mereka kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam? Bila mulut begitu mudah menyebut “Muhammad” tanpa sematan Nabi atau Rasul atau Kekasih sebelumnya maka itu menjadi pertanda kekosongan hati dari rasa Ta’zhiim  kepada Rasulullah shallallahi alaihi wasallam yang berarti pengakuan sebagai pengikut generasi salaf hanyalah pengakuan bohong dan bohong.

Ya Allah, karuniakanlah kami kecintaan kepada 
Rasul-Mu shallallahu alaihi wasallam
Ramaikanlah raga kami dengan langkah-langkah Ittiba’
Dan penuhilah hati kami dengan Ta’zhiim,
Pengagungan kepada manusia yang Engkau agungkan 
Melebihi para makhlukMu yang Agung.


Share on Google Plus

About tdmenha pujon

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment