Fungsi Hilal, Cara Bertanya dan Merespon Pertanyaan

Fungsi Hilal, Cara Bertanya dan Merespon Pertanyaan


Allah Subhanahu Wata'ala berfirman

يَسْئَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَـوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأْنَ تَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا الله لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”. (QS al Baqarah: 189)

Analisa Ayat

Adalah Muadz bin Jabal dan Tsa’labah bin Ghanam; mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, ada apa dengan hilal, muncul dan menampak kecil laksana benang kemudian terus bertambah sehingga membesar, sempurna dan menjadi bulat. (sesudah itu) terus berangsur-angsur berkurang sehingga kembali seperti sebelumnya. Ia tidak menetapi satu kondisi seperti halnya matahari” (HR Abu Nuaim dan Ibnu Asakir). Pertanyaan inilah yang menjadi sebab ayat di atas diturunkan.

Nurul HaromainSebenarnya jawaban dari pertanyaan ini secara astronomi adalah: Bulan purnama adalah keadaan ketika Bulan nampak bulat sempurna dari Bumi. Pada saat itu, Bumi terletak hampir segaris di antara Matahari dan Bulan, sehingga seluruh permukaan Bulan yang diterangi Matahari terlihat jelas dari arah Bumi. Kebalikannya adalah saat bulan mati, yaitu saat Bulan terletak pada hampir segaris di antara Matahari dan Bumi, sehingga yang 'terlihat' dari Bumi adalah sisi belakang Bulan yang gelap, alias tidak nampak apa-apa. Di antara kedua waktu itu terdapat keadaan bulan separuh dan bulan sabit, yakni pada saat posisi Bulan terhadap Bumi membentuk sudut tertentu terhadap garis Bumi dan Matahari. Pada saat itu, hanya sebagian permukaan Bulan yang disinari Matahari yang terlihat dari Bumi.

Jadi sebenarnya pertanyaan tersebut tidak semestinya dilontarkan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang tidak diutus oleh Allah sebagai pengajar ilmu-ilmu alam. Beliau diutus guna membawa misi penting berupa mencetak pribadi dan masyarakat muslim yang berdiri di atas pondasi-pondasi islam yang lurus dan benar. Inilah tugas inti Beliau shallallahu alaihi wasallam. Karena itulah jawaban yang diberikan disesuaikan dengan kapasitas Beliau dan disesuaikan pula dengan hal semestinya yang harus ditanyakan . Hal ini tidak lantas boleh difahami bahwa agama Islam tidak menyukai penelitian dan ilmu pengetahuan, karena ayat pertama yang turun adalah, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Dzat Maha Pencipta!” sementara dalam banyak ayat lain juga disebutkan anjuran agar penelitian terus dilakukan, “Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis” “Katakanlah: “Fikirkanlah apa yang ada di langit dan di bumi”

Setelah menyebutkan pertanyaan sahabat tentang hilal, Allah lalu berfirman: "Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya…” Ini terkait dengan budaya di kalangan Anshar di mana jika telah berihram maka mereka tidak akan memasuki rumah dari depan (pintu), mereka hanya memasuki rumah dari belakang. Karena itulah ketika salah seorang yang sedang berihram memasuki rumah melalui pintu depan maka merekapun mencelanya sehingga harus dikatakan kepada mereka: “Ini bukanlah kebaikan.Kebaikan adalah orang yang bertaqwa”

Penyebutan perintah memasuki rumah dari depan ini mengandung pesan bahwa bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terkait astronomi tak ubahnya seperti memasuki rumah tidak melalui pintu depan, tetapi melalui pintu belakang. Memang sah saja dilakukan tetapi akan lebih tepat dan mudah melalui pintu depan. Bertanya tentang astronomi kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memang tidak salah, tetapi akan lebih tepat bagi orang yang bertanya jika menanyakan sesuatu selain hal itu. Sebab masih ada banyak hal yang belum diketahui dan kiranya lebih penting untuk didahulukan. Jadi pertanyaan dan jawaban dalam ayat di atas bisa disimpulkan memiliki sekian hikmah-hikmah terkait prinsip-prinsip pembelajaran yang antara lain adalah prinsip Merespon Pertanyaan di mana pihak yang ditanya harus benar-benar jeli dan mampu memilah respon yang tepat bagi sebuah pertanyaan. Ada kalanya pertanyaan harus direspon dengan jawaban. Ada kalanya harus direspon dengan sikap diam sebagaimana kisah ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menuturkan tentang kewajiban haji maka ada seorang sahabat bertanya: “Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?” tiga kali sahabat itu mengulang pertanyaan tetapi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hanya meresponnya dengan sikap diam. Selanjutnya Beliau bersabda: “Andai aku berkata “ia”niscaya akan wajib (berhaji setiap tahun) dan kalian tak akan mampu melaksanakannya”

Ada kalanya pula perlu direspon dengan pengarahan atau jawaban yang sesuai dengan kondisi pemilik pertanyaan sebagaimana ketika ada seseorang datang bertanya tentang hukum memakan daging musang, maka iapun mendapatkan jawaban dari ulama kharismatik yang ditanyainya: “Kenapa kamu harus bertanya tentang musang sementara masih ada daging ayam yang lebih nikmat dan lebih mudah didapatkan?” atau sebagaimana kisah turunnya ayat di atas di mana mereka lebih baik diberikan pengertian akan fungsi hilal daripada proses perubahannya dari kecil menjadi besar atau sebaliknya. Mereka bertanya tentang proses itu tetapi justru mereka diberikan pengertian akan fungsi hilal sebagai tanda-tanda waktu (Mawqiit) bagi manusia dalam beraktivitas, berdagang, bercocok tanam dan berbagai macam ibadah seperti puasa, haji, iddah dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

جَعَلَ الله اْلأَهِلَّةَ فَإِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ

“Allah menjadikan hilal; karenanya jika kalian melihat hilal maka berpuasalah dan jika kamu melihat hilal maka berbukalah (berhari raya-lah). Jika ada mendung di atas kalian maka sempurnakanlah bilangan menjadi tigapuluh” (HR Hakim.)

Selain cara merespon pertanyaan, ayat di atas juga mengajarkan kepada kita bagaimana cara memberikan jawaban dan penjelasan yang tepat sasaran dengan disertai perumpamaan yang menjadikan nilai-nilai jawaban yang disampaikan bisa diterima dan mengakar kuat sebagaimana perumpamaan bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam terkait proses perubahan hilal yang diumpakan seperti memasuki rumah dari pintu belakang. Bagi kita orang tua, para pendidik dan para da’i, memberikan perumpamaan adalah suatu keniscayaan agar ajaran yang kita sampaikan lebih mudah bisa diterima oleh anak-anak, siswa siswi dan obyek dakwah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, akhlak Beliau adalah Alqur’an, maka di antara metode yang digunakan oleh Beliau ketika mendidik para sahabat adalah dengan memberikan perumpamaan (Tamtsiili) agar sebagaimana kisah-kisah berikut ini:


1) Jabir ra meriwayatkan: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memasuki pasar. Orang-orang pun berseliweran di kanan kirinya. Mendapatkan ada seekor anak kambing bertelinga kecil (puret.jawa) mati, Beliaupun memegang telinga bangkai kambing itu seraya bersabda: “Siapakah di antara kalian yang mau membeli ini dengan harga satu dirham?” mereka berkata: “Kami tidak menginginkan memiliki kambing ini dengan harga sedikitpun, sebab apa yang bisa kami lakukan terhadapnya?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Bagaimana jika  kalian ambil saja Cuma-Cuma?” mereka menjawab: “Wahai Rasulullah, andai hidup ia pun memili ciri di telinganya. Apalagi ia sudah menjadi bangkai?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lalu bersabda:

لَلدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللهِ مِنْ هَذَا

“Sungguh dunia di sisi Allah lebih hina dibanding bangkai anak kambing ini” HR Muslim.

2) Abu Dzar ra meriwayatkan: Suatu kali pada musim hujan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sedang keluar (berjalan-jalan). Beliau pun memungut dua buah cabang pohon. Begitu cabang itu diangkat maka daun-daunnya pun berguguran. Beliau lalu memanggil: “Wahai Abu Dzarr!” selanjutnya Beliau bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ الْمُسْلِمَ لَيُصَلِّى الصَّلاَة يُرِيْدُ بِهَا وَجْهَ الله فَتَهَافَتَ عَنْهُ ذُنُوْبُهُ كَمَا تَهَافَتَ هَذَا الْوَرِقُ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ

“Sesungguhnya seorang hamba muslim senantiasa shalat dengan hanya berharap Allah sehingga dosa-dosanya berguguran sebagaimana dedaunan ini gugur dari pepohonan ini” (HR Ahmad atau Misykatul Mashobih no 576)

3) Hakim bin Hizam ra meriwayatkan: Aku meminta kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dan Beliaupun memberiku. Aku meminta lagi dan Beliau pun memberiku. Aku meminta lagi dan Beliau tetap memberiku. Selanjutnya Beliau bersabda: “Wahai Hakim, sesungguhnya harta benda ini hijau dan manis; barang siapa mengambilnya dengan hati yang menerima maka ia diberikan berkah di dalamnya. Barang siapa mengambilnya dengan hati yang rakus maka ia tidak diberkahi didalamnya dan ia seperti orang makan tetapi tidak pernah kenyang" (HR Bukhari Muslim).

Karena inilah kemudian Hakim bersumpah: “Wahai Rasulullah, demi Dzat yang mengutusmu dengan haq, setelahmu saya tak akan mengambil apapun dari orang lain sampai aku meninggalkan dunia ini!” sumpah ini benar-benar dilaksanakan sehingga Hakim menolak menerima jatahnya dari harta  Fa’i pada masa Khalifah Abu Bakar ra dan Umar ra. Wallahu A’lam.

Share on Google Plus

About tdmenha pujon

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment