Pamer Ibadah
Pertanyaan :
- Semua amal kebaikan itu dinilai dari niatnya, lalu bagaimana ketika kita sedang melakukan sesuatu yang sudah diniati ikhlas karena Allah ta’ala, tiba-tiba terbersit rasa ingin pamer atau ingin dipuji seseorang?
- Bagaimana hukum perempuan yang memakai baju ketat meski itu sudah dibilang menutup aurat?
- Saya pernah diberitahu oleh seorang teman bahwa ada yang disebut puasa neptu (orang jawa menyebutnya demikian). Benarkah itu ada, dan kaitannya dengan ada atau tidak ada, apa dasar hukumnya?
Pertanyaan oleh : Jajang
Jawaban :
Saudara Jajang yang berbahagia. Pamer atau ingin dipuji manusia yang disebut dengan riya’, dalam hal amal kebaikan (ibadah), termasuk perbuatan yang tercela (haram), karena ibadah sepatutnya hanya dipersembahkan kepada Allah swt secara ikhlas karena-Nya semata. Ibadah menjadi bagian total dan keniscayaan pengabdian terhadap-Nya. Firman Allah swt :
وَمَا اُمِرُوا اِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدّينَ حُنَفَاء
"Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah, dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus." (Q.S. Al-Bayyinah: 5)

Dahulu, riya’ dalam hal ibadah merupakan karakter orang-orang yang memiliki sifat nifaq (munafiq). Mereka tidak melakukan ibadah kecuali dengan tujuan riya’. Sementara umat Islam yang taat, mereka tidak beribadah kecuali untuk dipersembahkan kepada Allah swt. Hanya saja, bagi kaum muslimin kebanyakan, campuran (ilfiltrasi) riya’ kerap turut menyusup dalam praktek ibadah mereka, khususnya riya’ khofi. Kalangan kaum muslimin yang ibadahnya tidak terpolusi oleh riya’ sama sekali adalah orang-orang yang disebut dengan ash-shiddiqun (orang-orang yang berperilaku jujur dan benar). Kita sebaiknya berusaha menteladani perilaku jujur dan benar kalangan ash-shiddiqun tersebut. Bila riya’ dilakukan dalam hal selain ibadah, misalnya penampilan dan jabatan, menurut Imam Ibnu Qudamah, perilaku ini tidak serta merta disifati haram (laa yuushafu bit tahrim).
Mengenai wanita berpakaian ketat, yang menampakkan lekuk tubuhnya, meskipun itu telah menutup aurat, hukumnya menurut syariat Islam adalah terlarang, karena termasuk bagian dari tabarruj. Allah swt berfirman :
وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُوْلَى
"Dan janganlah kamu (para wanita) melakukan tabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliyah yang dahulu." (Q.S. Al-Ahzaab: 33)
Tabarruj asalnya bermakna mempertontonkan hiasan dan kecantikan kepada orang lain. Qotadah mengatakan, tabarruj adalah langkah wanita berjalan genit. Ibnu Abi Najih mengatakan, tabarruj ialah ketika wanita memakai wangi-wangian semerbak baunya (di luar rumah, untuk orang lain). Sedang Al-Farra’ mengatakan, tabarruj ialah memakai pakaian yang tipis (ketat) yang mengilustrasikan lekuk tubuh wanita. (Ahkamun Nisaa’, Ibnul Jauzi: 122)
Soal puasa neptu. Puasa adalah ibadah mahdoh, ibadah murni yang aturannya ditetapkan oleh Allah swt dan Rasulullah saw. Aturannya bersifat absolut. Dalam hal puasa fardlu, Allah swt berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (Q.S. Al-Baqarah: 183)
Sedang mengenai puasa-puasa sunnah, sudah diatur sedemikian jelas dalam hadits-hadits Rasulullah saw. Dan dari hadits-hadits yang ada, tidak ada keterangan sama sekali mengenai puasa dalam momentum neptu, berbeda dengan puasa Senin-Kamis, puasa Asyuro’, puasa Arafah, puasa tiga hari setiap bulan, puasa Dawud, dsb. Namun bukan berarti beribadah puasa itu tidak boleh. Bila diniati ibadah puasa sunnah karena Allah swt, berniat menghindarkan diri dari makan haram, berniat memperbaiki diri, ketentuannya sesuai dengan aturan syara’, dan sebagainya, tanpa berniat berpuasa neptu yang tidak ada dalilnya, tentu tidak ada larangan.
Blogger Comment
Facebook Comment