Mengintip Waktu Istijabah

Mengintip Waktu Istijabah di Hari Jum’at

Nurul Haromain

Jika usia Anda saat ini misalkan telah mencapai dua puluh lima tahun, adakah selintas pertanyaan dalam benak Anda ada berapa jum’at yang telah terlewati, dan seberapa kuat ketika itu kemauan Anda untuk mengutamakannya lebih dari hari-hari yang lain dalam beribadah?

Bukankah hari jum’at dipilih Alloh sebagai hari terbaik umat manusia di saat terbit matahari. Pada hari itu Adam as. diciptakan, pada hari itu ia dimasukkan ke dalam surga, dan pada hari itu juga ia dikeluarkan darinya untuk mengadakan perjalanan panjang di dunia, melahirkan para nabi dan utusan Alloh, orang-orang saleh dan para kekasih-Nya yang mulia, dan menurunkan generasi manusia. Dan kiamat pun tak akan datang menjelang kecuali pada hari jum’at. (HR. Tirmidzi)

Keutamaan hari jum’at dapat diraih diantaranya dengan menjaga waktu-waktu tertentu yang Alloh berikan keistijabahan di dalamnya bagi siapa saja yang memanjatkan doa. Sabda Rosululloh saw. :

إِنَّ فِى الْجُمُعَةِ سَاعَةً لاَ يَسْأَلُ اللهَ الْعَبْدُ فِيْهَا شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ اللهُ إِيَّاهُ

“Sesungguhnya pada hari jum’at ada saat dimana seorang hamba tidak meminta sesuatupun kepada Alloh kecuali apa yang ia pinta akan diberikan oleh-Nya.” (HR. Tirmidzi)

Lalu kapankah saat yang dimaksud itu, disinilah ulama’ berbeda pendapat dalam menentukannya. Hadits yang diriwayatkan Abu Musa berbunyi :

مَا بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الإِمَامُ اِلَى أَنْ تَقْضَو الصَّلاَةُ

“Di saat antara duduknya imam sampai sholat usai dilaksanakan.”


Imam Ahmad dan Ishaq berpendapat setelah ashar sampai terbenamnya matahari sebagaimana hadits riwayat Abdulloh bin Salam. Diantaranya lagi pendapat yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Dzar, Salman, Abu Lubabah, dan Sa’d bin Ubadah, yakni ketika sholat mulai ditegakkan sampai usai. Imam Baihaqi menganggap kuat hadits riwayat Abu Musa, dan pendapatnya didukung oleh Imam Nawawi. Sebagian lagi berpendapat bahwa waktunya terbatas pada salah satu dari dua riwayat tersebut, dimana hadits yang satu dan lainnya tidak saling bertentangan, karena dimungkinkan Nabi saw. sama-sama menyampaikannya, tapi pada waktu yang berbeda (lihat Tuhfatul Ahwadzi II/17-616). Sedangkan Ibnu Az Zamlakani, tokoh madzhab Syafi’i, berpendapat bahwa waktunya adalah bersifat pilihan, yakni memilih salah satu dari keduanya yang lebih disukai. Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari menyebutkan empat puluh lebih pendapat ulama’ tentang saat yang dimaksud tersebut, dan tidak diragukan lagi bahwa pendapat yang kuat adalah yang didasarkan pada haditsnya Abu Musa dan Abdulloh bin Salam.

Dari uraian tersebut sebenarnya yang terpenting adalah munculnya keinginan kuat untuk mencari peluang kebaikan pada hari jum’at, sedangkan kapan saat terbaik itu, Alloh lebih mengetahui terhadap rahasia-Nya. Kita dituntut untuk senantiasa mendapatkan peluang tersebut, setidaknya ada celah untuk mengintip waktu istijabah yang Alloh berikan dengan mengambil pijakan pada hadits diatas. Wallohu A’lam!

sumber : warungbaca.wordpress.com
Share on Google Plus

About tdmenha pujon

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment