Istikhoroh Pemilihan Presiden

Istikhoroh Pemilihan Presiden


Nurul Haromain الـْحَمْدُ للهِ وَكَفَي وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ الْمُصْطَفَي وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِه وَمَنْ بِنَهْجِهِ اقْتَفَي

Dengan sangat jelas Islam menyebutkan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang amir, khalifah, presiden, naqib atau pimpinan. Ia harus orang yang terbaik di antara kaumnya dalam segala sisi. Unggul secara fisik, intelektual, bermoral tinggi, memiliki kapabilitas dan kredibilitas. Hal ini karena tugas seorang pimpinan sungguh sangatlah berat;  memberikan pelayanan secara maksimal kemampuan kepada komunitas atau masyarakat, menegakkan keadilan, melakukan amar ma’ruf nahi munkar, melindungi orang yang lemah dari tangan-tangan kezaliman serta tugas-tugas lain yang begitu banyak. Dengan tugas inipun pimpinan harus bersiap-siap kelak di akhirat dimintai pertanggung jawaban oleh Allah azza wajalla.

Kesadaran akan beratnya amanat kepemimpinan semestinya menjadi peringatan bagi manusia yang beriman untuk tidak merasa nyaman menjadi pimpinan dan apalagi sampai menjadikan kepemimpinan sebagai komoditi yang diperebutkan. Kepada Abdurrahman bin Samurah ra, Rasulullah Saw berpesan :

لَا تَسْأَلِ اْلإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ عَلَيْهَا...

“Jangan meminta kepemimpinan karena sesungguhnya jika ia diberikan kepadamu tanpa meminta maka kamu pasti diberi pertolongan (bisa melaksanakan dengan baik, tetapi) jika ia diberikan kepadamu karena permintaan maka kamu tidak akan mendapatkan pertolongan...”

Abu Dzar ra pernah bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak mengangkatku sebagai amil (pimpinan)?” beliau Saw menepuk pundak Abu Dzar dan lalu bersabda: “Hai Abu Dzar, sungguh kamu orang yang lemah, sesungguhnya kepemimpinan itu amanat, sesungguhnya kepemimpinan adalah kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan benar dan menunaikan kewajiban di dalamnya”

Meski Rasulullah Saw mengajarkan prinsip tidak boleh menjadikan kepemimpinan sebagai rebutan, akan tetapi beliau Saw juga memberikan nubuwwat :

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُوْنَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُوْنُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Sesungguhnya kalian akan begitu rakus pada kepemimpinan dan ia akan menjadi penyesalan pada hari kiamat”

Seperti dimaklumi bahwa perebutan kekuasaan telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan semua komunitas, baik kecil maupun besar dari setiap masa. Hampir tidak ada sejarah suatu komunitas atau bangsa kecuali tertulis di sana perseteruan atau bahkan peperangan untuk memperebutkan kekuasaan karena masing-masing pihak merasa yang lebih berhak dan paling layak memegang kekuasaan.  Bagi umat Islam, secara khusus sebenarnya hal ini sangat ditekankan oleh Rasulullah Saw agar dihindari, tetapi memang pada kenyataannya banyak umat Islam dari masa ke masa terjebak ikut dalam perebutan kekuasaan. Maksud menghindari di sini tentunya tidak bergeser dari prinsip jika memang masih ada orang lain yang bisa dan layak. Sementara jika memang dirasa tidak ada orang  yang bisa dan layak maka diperbolehkan meminta atau merebut kekuasaan sebagaimana dilakukan oleh Nabiyullah Yusuf as :

قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

“Berkata Yusuf: Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”

Sistem demokrasi yang dianut oleh Bangsa Indonesia dalam memilih presiden dan kepala daerah semakin memberikan ruang kepada siapapun yang memiliki syahwat berkuasa untuk ikut ambil bagian dalam perebutan kekuasaan. Mereka berlomba-lomba dengan segala cara dan melakukan usaha apapun demi mencari suara sebanyak-banyaknya. Akhirnya rakyat dihadapkan pada situasi harus memilih para calon yang sebenarnya sebagian dari mereka jauh dari memenuhi kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pimpinan. Pilihan rakyat pun banyak yang sudah tidak mandiri lagi karena cara berfikir dan psikologi mereka telah sangat dipengaruhi slogan-slogan manis kampanye dan bahkan dipengaruhi oleh iming-iming uang dan segala macam kepentingan.  Akhirnya banyak pilihan tidak berdasarkan pada akal sehat, tetapi sebalikanya hanya berdasarkan pada kepentingan sesaat atau  ikatan emosional belaka. Bahkan lebih parah lagi prinsip agama dalam memilih pimpinan dianggap sebagai ekstrem, menjual agama dan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam pilihan Presiden dan legislatif mendatang, masyarakat Indonesia akan memilih salah satu dari dua pasangan calon. Sangat sederhana, yaitu memilih nomer 01 atau nomer 02. Siapakah yang layak dipilih di antara keduanya? Tentu masing-masing ada kelebihan dan kekurangan. Ternyata permasalahan tidak lagi sederhana ketika dalam menentukan pilihan sebaiknya tidak hanya memperhatikan dan mempertimbangkan sosok yang akan dipilih, melainkan juga harus melihat dan mempertimbangkan orang-orang dekat yang berada di sekitar calon di mana dalam bahasa Rasulullah Saw orang-orang yang dekat ini disebut dengan bithonah, yaitu orang yang sangat dekat dan terlibat dalam segala urusan. Keberadaan bithonah ini sungguh sangat menentukan kebaikan dan keburukan serta kesuksesan dan kegagalan seseorang dalam menjalankan amanat kepemimpinan. Rasulullah Muhammad Saw bersabda :

مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَّبِيٍّ وَلَا اسْتَخْلَفَ مِنْ خَلِيْفَةٍ إِلَّا كَانَتْ لَهُ بِطَانَتَانِ بِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ وَبِطَانَةٌ تَأْمُرُهُ بِالشَّرِّ وَتَحُضُّهُ عَلَيْهِ فَالْمَعْصُوْمُ مَنْ عَصَمَهُ اللهُ تَعَالى

“Allah tidak mengutus seorang nabi atau mengangkat seseorang sebagai khalifah kecuali baginya ada dua bithonah : bithonah yang menyuruh dan menganjurkannya kepada kebaikan serta bithonah yang menyuruh dan mendorongnya pada keburukan. Maka orang yang terjaga adalah orang yang dijaga oleh Allah”

Rasulullah Saw juga bersabda : 

الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلْ

“Seseorang menetapi perilaku teman dekatnya, maka hendaklah salah seorang kalian melihat dengan siapa berteman dekat”

Sekarang sebelum menentukan pilihan marilah mengamati siapa sebenarnya bithonah dari calon yang akan kita pilih. Siapakah orang-orang atau kelompok di belakangnya. Dan dalam pesta demokrasi ini siapakah penyandang dana kampanye mereka yang secara riil menghabiskan dana sampai triliun nan rupiah. Sebagai gambaran, biaya kampanye salah satu pasangan calon mencapai 20 hingga 40 miliar sebulan. Belum biaya lain-lain seperti biaya saksi di setiap TPS seluruh Indonesia yang mencapai hingga 800 an ribu.

Sungguh sebaik apapun figur calon yang terpilih, tetapi tidak akan bisa dipungkiri bahwa kebijakan dan langkahknya akan sangat dipengaruhi dan disetir oleh orang-orang di sekitarnya, terutama oleh para pemilik modal kampanye nya. Artinya Independensinya sebagai pimpinan akan terkurangi selaras dengan dana kampanye yang ia terima dari pemilik modal.

Bithonah di sini maksudnya adalah orang dekat dan bukan sekedar pendukung. Sebab sangat mungkin seseorang tokoh mendukung pasangan calon tertentu bukan secara sukarela atas dasar idealisme yang dimiliki maupun pertimbangan pribadi secara mandiri, melainkan karena suatu sebab semisal tersandera oleh kasus tertentu yang jika tidak mendukung maka kasusnya akan dibongkar dan ia akan dijatuhkan. Kiranya hal ini sudah menjadi rahasia umum dalam situasi penegakan hukum di negeri ini yang masih memerlukan banyak perbaikan. Jadi menurut kami fenomena pindah kubu dan arah dukungan dalam pemilihan bulan April nanti bukanlah sekedar pindah kubu secara normal, melainkan sangat mungkin dipengaruhi oleh sebuah proses politik yang terkadang begitu kotor dan cenderung menghalalkan segala cara.

Jika mengamati bithonah masih belum cukup memberikan gambaran untuk menentukan pilihan karena masing-masing pasangan memiliki bithonah baik juga bithonah buruk, maka bisa menggunakan standar lain menentukan pilihan yaitu mengamati komitmen para calon pimpinan dalam menjaga tali shilaturrahim, persatuan dan kesatuan sesama anak bangsa. Juga komitmen calon pimpinan dalam menjaga kelestarian alam. Ia, di samping sangat menekankan akan hal ini, Islam juga memberikan peringatan bahwa kebijakan yang salah dari sebuah kekuasaan sangat berpotensi memutus tali shilaturrahim serta menjadikan alam raya mengalami kerusakan. Allah azza wajalla berfirman :

فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوْا فِى اْلأَرْضِ وَتُقَطِّعُوْا أَرْحَامَكُمْ. أُولئِكَ الَّذِيْنَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَي أَبْصَارَهُمْ

“Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa, kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah dan ditulikan telinganya serta dibutakan penglihatannya”

Selain bithonah, komitmen pada persatuan, serta peduli pada kelestarian alam, hal yang juga bisa menjadi standar menentukan kebaikan seseorang sehingga layak dipilih sebagai pimpinan adalah komitmennya untuk membangun dan memperbaiki sektor pertanian dan peternakan. Sekedar sebagai pertimbangan, sebelum reformasi produksi susu nasional pertahun mencapai 50% kebutuhan nasional. Sementara pada hari ini produksinya tidak mencapai 1 juta ton setahun dari kebutuhan kurang lebih 6 hingga 7 juta ton pertahun. Artinya mayoritas kebutuhan susu bangsa ini dicukupi dari impor. Masih ditambah lagi impor daging dan impor bahan pangan yang lain. Lebih lucu lagi, Vietnam yang era 80-an belajar menanam padi di sini, kini justru ekspor beras ke sini.  Jadi pada hari ini, nasib tragis menimpa sektor pertanian dan peternakan di Indonesia sebagai negara yang sangat subur. Ini adalah di antara raport pemerintahan kita lima tahun ini, atau bisa jadi ini adalah efek dari kebijakan pemerintahan sebelumnya. Tentu hal ini tanpa menafikan hal-hal positif yang telah dicapai.

Hal demikian disampaikan agar sektor pertanian dan peternakan betul-betul mendapatkan perhatian yang serius dari pihak manapun yang mendapatkan amanah sebagai pimpinan , dan sekali lagi, juga sebagai standar untuk menentukan pilihan.  Allah azza wajalla menyatakan :

وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِي الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

“Dan apabila ia berkuasa, ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman (pertanian) dan binatang ternak (peternakan), dan Allah tidak menyukai kebinasaan"

Standar-standar di atas secara normative sudah sangat jelas, akan tetapi para pemilih seringkali mengalami kebingungan tentang figur calon mana yang bisa diharapkan bisa memenuhi  standart di atas. Pun jika mantap pada satu calon harus pula disadari bahwa itu hanyalah sebuah hipotesa (zhann) dan bukan sebuah kepastian. Oleh karena itulah dalam situasi yang sangat penting seperti ini, yaitu memilih pimpinan sebuah negara, sebaiknya tidak hanya menjadikan nalar apalagi naluri sebagai alat utama menentukan pilihan. Seorang muslim harus pula bertawakkal, kembali dan berserah diri kepada Allah azza wajalla karena kepemimpinan dan kekuasaan hanya ada di tangan-Nya. Dia berfirman :

قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَن تَشَاءُ وَتَنزِعُ الْمُلْكَ مِمَّن تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

“Katakanlah: Wahai Tuhan yang memiliki kekuasaan, Engkau memberikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau mencabut kekuasaan itu dari orang yang Engkau kehendaki…” 

Dan kiranya tawakkal ini akan semakin kuat jika kita memilih berdasarkan hasil shalat Istikhoroh yang akan dilakukan figur yang kita jadikan panutan. Sungguh jika kita bertawakkal, Allah pasti akan mencukupi dan memberikan perlindungan kepada kita. Tentunya dalam Istikhoroh memilih pimpinan atau memilih presiden di negara kita juga harus dibarengi dengan upaya-upaya memperbaiki diri. Sungguh seperti apa diri kita, seperti itulah Allah azza wajalla akan memunculkan pimpinan bagi kita. Rasulullah Saw bersabda :

كَمَا تَكُوْنُوْا يُوَلَّى عَلَيْكُمْ
“Diberikan kekuasaan atas kalian (kepada seorang pemimpin) sesuai keberadaan kalian”

Dalam konteks ini, di antara upaya perbaikan diri yang seharusnya dilakukan adalah menentukan pilihan secara ikhlas, artinya bukan memilih dan memberikan loyalitas berdasarkan pada keuntungan finansial yang akan didapatkan. Maknanya jika menginginkan memiliki pimpinan yang baik, maka masyarakat harus mampu menolak politik uang. Ia, politik uang bukan hanya dilarang oleh undang-undang, tetapi Islam juga sangat keras terhadap situasi di mana loyalitas diperjual belikan. Rasulullah Muhammad Saw bersabda :
‏‏ ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيْهِمْ وَلـَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ رَجُلٌ عَلَى فَضْلِ مَاءٍ بِالطَّرِيْقِ يـَمْنَعُ مِنْهُ ابْنَ السَّبِيْلِ وَرَجُلٌ بَايَعَ إِمَامًا لَا يُبَايِعُهُ إِلَّا لِدُنْيَاهُ إِنْ أَعْطَاهُ مَا يُرِيْدُ وَفَى لَهُ وَإِلَّا لـَمْ يَفِ لَهُ وُرَجُلٌ يُبَايِعُ رَجُلًا بِسِلْعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ فَحَلَفَ بِاللهِ لَقَدْ أُعْطِيَ بِهَا كَذَا وَكَذَا فَصَدَّقَهُ فَأَخَذَهَا وَلَمْ يُعْطَ بِهَا

“Tiga orang yang tidak akan diajak berbicara oleh Allah pada hari kiamat serta tidak akan dibersihkan oleh-Nya, dan bagi mereka siksaan yang pedih; 1) seseorang yang memiliki kelebihan air di jalan, tetapi ia melarang pengguna jalan mengambil air tersebut, 2)seseorang yang berbaiat kepada Imam, ia tidak berbaiat kecuali karena dunia (harta), jika diberi maka ia setia dan jika tidak maka ia tidak setia, 3) seseorang yang menjual barang kepada orang lain  sambil bersumpah atas nama Allah bahwa ia benar-benar telah diberi (ditawari harga) segini dan segini sehingga pembeli mempercayainya, padahal ia belum pernah mendapatkan tawaran tersebut”

=وَاللهُ يَتَوَلَّي الـْجَمِيْعَ بِرِعَايَتِه=

Share on Google Plus

About tdmenha pujon

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment