Dikisahkan dalam riwayat Bukhori, bahwa seorang Yahudi datang menemui Amirul Mu’minin Umar bin Khotthob. Dia berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya ada suatu ayat dalam agama kalian yang kalau ia turun kepada kami orang-orang Yahudi, niscaya kami akan mengambil hari turunnya sebagai hari raya.”
Maka Umar Rodliyallohu ‘Anhu menanyakan, “Ayat apakah itu?” Orang itu kemudian membacakan ayat dalam surat Al-Maidah ayat 3 (yang artinya),
“Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, Aku telah sempurnakan nikmat-Ku untuk kalian, dan Aku telah ridlo Islam sebagai agama untuk kalian.” (Al-Maidah: 3)
Mendengar hal ini Umar Rodliyallohu ‘Anhu berkata, “Sungguh aku mengetahui kapan hari turunnya ayat ini. Ayat ini turun di hari ‘Arofah pada hari jum’at".
Ayat yang menunjukkan kesempurnaan Islam ini memang patut dibanggakan dan hari turunnya patut dirayakan sebagai hari besar. Namun kita tidak perlu membikin-bikin hari raya baru karena Alloh telah menurunkannya tepat pada hari besar yang dirayakan oleh seluruh Kaum Muslimin, yaitu hari ‘Arofah dan hari jum’at.
Ayat kesempurnaan Islam ini juga membikin iri orang-orang kafir termasuk Yahudi yang mengatakan, “Kalau saja ayat ini turun kepada kami...” Tetapi mengapa justru sebagian kaum Muslimin menolaknya? Mungkin kita terkejut mendengar yang demikian, tapi ini kenyataan. Sebagian kaum Muslimin masih menganggap syari’at Islam ini perlu penambahan, pengurangan, perubahan, dan seterusnya. Bukankah ini merupakan anggapan bahwa syari’at Islam belum sempurna ?
Penambahan, pengurangan, atau perubahan inilah yang dinamakan bid’ah yang diperingatkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan keras, bahkan dikatakan sebagai sejelek-jelek perkara, “Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah ucapan Alloh, dan sebaik-baik ajaran adalah ajaran Rosululloh. Dan sesungguhnya sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang baru diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya setiap yang baru diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR. Muslim)
Bagaimana tidak dikatakan sesat seorang yang menuduh Islam ini belum sempurna, masih membutuhkan penambahan, penyempurnaan, perubahan dari hasil pikiran manusia. Atau barangkali ia menganggap telah sempurna agama ini, namun Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam belum menyampaikan seluruhnya? Inipun merupakan kesesatan berikutnya, yakni menuduh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkhianat.
Imam Malik berkata, “Barangsiapa mengada-adakan dalam Islam suatu kebid’ahan dan menganggapnya baik, berarti ia telah menuduh bahwa Rosululloh telah berkhianat dalam menyampaikan risalah, karena Alloh telah berfirman (Hari ini telah kusempurnakan untuk kalian agama kalian) maka apa yang waktu itu bukan bagian dari agama, hari ini pun bukan bagian dari agama” (Al-I’tishom, Imam Syathibi: 37)
Lantas apa alasan mereka mengada-adakan cara ibadah “baru”, cara dakwah “baru”, pemahaman “baru”, keyakinan “baru” (khurafat), bahkan cerita-cerita “baru” (tahayul) yang dikait-kaitkan dengan ajaran Islam?
Kita tidak peduli dengan niat mereka karena syarat diterimanya amal bukan hanya niat. Walaupun mereka berniat baik dalam mengada-adakan bid’ah, tetap tertolak dengan dalil hadits dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, “Barangsiapa yang beamal suatu amalan yang tidak ada perintahku maka ia tertolak” (HR. Muslim).
Bukan karena niat yang jelek tetapi karena tuduhan dia secara tidak langsung bahwa Islam itu belum sempurna sehingga membutuhkan bentuk-bentuk ibadah baru. Atau menganggap memiliki ilmu yang lebih dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, dia tahu amalan baik yang tidak diajarkan oleh Rosululloh, padahal Abu Dzar dan para shohabat telah mempersaksikan bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah menyampaikan semuanya dan telah mengajarkan segala sesuatu. Tidak ada satu kebaikan pun kecuali telah beliau ajarkan, dan tidak ada satu kejelekan pun kecuali beliau telah memperingatkan daripadanya.
Abu Dzar Rodliyallohu ‘Anhu berkata, “Rosululloh meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau menyebutkan ilmunya kepada kami.” Abu Dzar kemudian berkata, “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‘Tidaklah tertinggal sesuatu yang dapat mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan kepada kalian." (Dikeluarkan oleh Ath-Thobaroni dalam Majma’ul Kabir, lihat Ash-Shohihah 4/416 dan hadits ini memiliki syahid dari riwayat ‘Amr bin Abi Umar dari Mutholib secara marfu’, Nabi bersabda, “Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari perkara yang Alloh perintahkan dengannya kecuali telah aku perintahkan perintah itu kepada kalian dan tidaklah aku meninggalkan suatu perkara yang Alloh larang kalian darinya kecuali telah aku larang kalian darinya.” (Diriwayatkan oleh As-Syafi’i dalam Badai’ul Minan dan Ibnu Khuzaimah dalam hadits Ali bin Hijr juz 3. Al-Albani berkata dalam Ash-Shohihah 4/417 tentang syahid ini, “Isnad (sanad)-nya mursal hasan”))
Jika demikian, semestinya kita menjadi “pengikut” yang selalu mempelajari apa yang telah diajarkan oleh Rosululloh, kemudian diamalkan. Bukan menjadi “pemikir” yang setiap saat mencari dakwah “baru” atau ibadah “baru”.
Agama ini tidak perlu ditarik-tarik agar cocok dengan keadaan zaman, atau komunitas tertentu. Justru sebaliknya, suatu masyarakat tertentu di mana pun mereka dan di zaman apa pun harus menyesuaikan diri dan mencocoki syariat ini.
Blogger Comment
Facebook Comment