Seseorang dikala sedang duduk bersama dalam indahnya suatu
majlis, bisa jadi majlis yang indah itu terkotori oleh lisan yang tak
bertulang. Maka seseorang membutuhkan adanya kafaroh untuk mensterilkan majlis
itu.
Hal itu jika ia berada dalam sebuah majlis yang baik.
Bagaimana jika majlis itu memang bukan majlis yang baik? Sebuah majlis yang
tiada substansi kecuali dosa. Majlis melawak, mengghibah, dll. Sementara kita
tahu bahwa akan terus ada Malaikat pengintai yang selalu waspada dan siap sedia
merekam seluruh amal dan gerak gerik manusia.
Dalam sebuah riwayat, Sayyidina Abdullah bin Amr bin Ash
pernah menyampaikan bahwa, “Sebuah kalimat yang tiada diucapkan tiga kali oleh
seseorang di sebuah majlisnya kala ia hendak beranjak, kecuali dengannya
terampunkan dosanya. Dan tiada diucapkan disebuah majlis yang baik dan majlis
dzikir, kecuali dengannya di stempel kebaikannya layaknya penyetempelan pada
suatu lembaran, yakni:
ﺳﺒﺤﺎﻧﻚ اﻟﻠﻬﻢ ﻭﺑﺤﻤﺪﻙ، ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺃﻧﺖ ﺃﺳﺘﻐﻔﺮﻙ
ﻭﺃﺗﻮﺏ ﺇﻟﻴﻚ
“Maha suci Engkau ya Allah, membersamai puja-puji kepada-Mu.
Tiada Tuhan selain Engkau. Aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat
kepada-Mu”.
Hadits semacam ini, meski disandarkan kepada sahabat, namun
secara hukmi merupakan hadits marfu' sebab tiada indikasi adanya ijtihad dari
rowi yang meriwayatkan.
Dalam sebuah riwayat yang lain, dengan redaksi yang agak
berbeda, yakni:
ﺳﺒﺤﺎﻧﻚ اﻟﻠﻬﻢ ﻭﺑﺤﻤﺪﻙ، ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ
ﺃﻧﺖ، ﺃﺳﺘﻐﻔﺮﻙ ﻭﺃﺗﻮﺏ ﺇﻟﻴﻚ
“Maha suci Engkau ya Allah, membersamai puja-puji kepada-Mu.
Aku bersaksi tiada Tuhan selain Engkau. Aku memohon ampun kepada-Mu dan
bertaubat kepada-Mu”.
Selain itu, termasuk kebiasaan sahabat dalam mengakhiri
sebuah majlis, selain membaca doa kafarotul majlis, adalah dengan membaca surat
al-Ashr. Maka bagaimana kita menyemarakkan kebiasaan-kebiasaan baik semacam
ini.
Majlis yang indah terkadang juga bisa terkotori dengan
adanya sebuah laporan yang seseorang tentang kejelekan satu pihak. Abuya amat
marah dikala ada seorang santrinya yang lapor kepada beliau perihal kejelekan
santri yang lain. Akan tetapi jika beliau sendiri yang bertanya, maka tentu
saja santri yang ditanya harus menjawab dengan apa adanya. Rasulullah dalam
sebuah kesempatan menyampaikan:
ﻻ ﻳﺒﻠﻐﻨﻲ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻲ ﻋﻦ ﺃﺣﺪ ﺷﻴﺌﺎ، ﻓﺈﻧﻲ
ﺃﺣﺐ ﺃﻥ ﺃﺧﺮﺝ ﺇﻟﻴﻜﻢ ﻭﺃﻧﺎ ﺳﻠﻴﻢ اﻟﺼﺪﺭ
“Tiada perlu seseorang dari sahabatku menyampaikan sebuah
hal tentang orang lain. (Yakni sebuah hal yang aku tak suka, dan aku bisa jadi
marah). Sebab sungguh Aku senang keluar kepada kalian dengan kondisi hati yang
selamat (dari keburukan kalian).”
Hal ini jika hal tersebut bukan sebuah kefasikan. Akan
tetapi jika berupa hal fasik yang membahayakan. Maka tiada masalah.
Maka hidup berjamaah seharusnya tak terjadi kubu-kubuan
sehingga bisa hidup bersama dengan penuh keindahan. Sebab jika terjadi fanatisme
kubu biasanya akan ada pihak yang hobi laporan tentang kubu lain. Seharusnya
kita selalu membaikkan asumsi kita (husnudzon) terhadap orang lain. Bahwa
seseorang menjadi aktivis jamaah berarti ia menginginkan kebaikan untuk
dirinya. Sehingga seharusnya masing-masing tak hobi melihat kesalahan pihak
lain, akan tetapi senantiasa mengintropeksi dirinya sendiri.
Namun, memang pada satu kondisi justru lebih baik melakukan
su'udzon kepada orang lain. Sebagai sebuah sikap kewaspadaan terhadap
keburukannya. Apalagi kini kita hidup dalam zaman yang amat banyak terjadi
penipuan. Ada hadits yang berbunyi:
احترسوا من الناس بسوء الظن
“Lindungi dirimu dari (keburukan) seseorang dengan
su'udzhon.”
Wallahu ta'ala a'lam
Blogger Comment
Facebook Comment