Suatu saat Sayyidina Ibnu Abbas, sepupu Rasulillah -kala itu ia
baru berusia belasan tahun- membonceng Rasulullah dikala beliau menaiki onta.
Sebuah ketawadluan yang teramat tinggi ditunjukkan Rasulillah terhadap
sahabatnya itu. Rasulullah justru memboncengkan Ibn Abbas, bukan yang
dibonceng. Ternyata memang bukan hanya Ibn Abbas yang pernah dibonceng
Rasulillah, dalam kitab shiroh disebutkan ada kira-kira 30 sahabat Rasulillah
yang pernah dibonceng Rasulillah.
Ibnu Abbas memang seorang figur sahabat yang amat tekun dalam
belajar. Ia tak pernah melewatkan waktu untuk hal-hal yang tiada berguna.
Seluruh waktunya digunakan untuk belajar dan belajar. Selepas ia menjadi dewasa
akhirnya ia menjadi orang yang begitu alim.
Dikala itu, dikala Ibnu Abbas dibonceng itu, Rasulullah
menyampaikan:
“Nak, aku ajarkan sebuah hal untukmu: Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah kau akan menemukan bawa Allah membersamaimu...”
“Nak, aku ajarkan sebuah hal untukmu: Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah kau akan menemukan bawa Allah membersamaimu...”
Menjaga Allah berarti menjalankan perintah dan menjauhi larangan
Allah. Merasa bahwa kita terikat dengan aturan yang diterapkan oleh Allah. Maka
Allah akan menjagamu diduniamu dan akhiratmu.
Dikala kita mendapatkan predikat sebagai santri, sebenarnya kita
telah mengantongi taufiq dan barokah. Maka selepas pulang tinggal bagaimana
menjaga taufiq kesantrian itu jangan sampai melenyapkannya, menjaga barokah
itu, jangan sampai melemparkannya. Sehingga Allah akan menjaga kita.
Renungkan kembali apa yang pernah disampaikan Abuya: “Sampai
kapanpun kau adalah seorang santri.” Sehingga jangan sampai predikat ini
tercerabut dari dalam diri kita.
“..Bila kau mau meminta, mintalah sama Allah. Dikala kau mau
meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah...”
Seseorang dikala meminta tolong memang seharusnya hanya meminta
kepada Allah. Akan tetapi hal ini tiada berdampak pada larangan bertawassul.
Jika ada kelompok yang gebyah uyah melarang bertawassul, maka sebenarnya mereka
teramat masih dangkal dalam mengaji. Sebab yang ditawassuli hanyalah washilah,
sementara ghoyah tiada lain melainkan kepada Allah.
“Tiada tempat berlindung dan tiada tempat untuk mencari
keselamatan dari Allah kecuali hanya kepada Allah, La malja'a wala manja
minallohi illa ilaik.”
Allahumma la mani'a lima a'thoita wala mu'thiya lima mana'ta
wala yanfa'u dzaljaddi minkal jadd. Ya Allah tiada penghalang bagi apa yang
Engkau berikan dan tiada pemberi bagi apa yang Engkau halangi, dan tidak
memberi manfaat kekayaan dan kemuliaan kepada pemiliknya, dari-Mulah segala
kekayaan dan kemuliaan.”
“..Ketahuilah bahwa sungguh jika saja semua orang berpadu untuk
memberikan manfaat kepadamu dengan sebuah hal, mereka takkan memberimu manfaat
sama sekali kecuali sebuah hal yang telah ditentukan Allah kepadamu. Dan jika
saja semua orang berpadu untuk membahayakanmu dengan sebuah hal, mereka takkan
membahayakanmu kecuali dengan sebuah hal yang telah ditentukan Allah atasmu.
Pena telah terangkat, dan lembaran telah menjadi kering.”
Kita tiada pernah terlepas dari Allah. Maka jalan terbaik adalah
mengembalikan semuanya kepada Allah. Sebuah hal yang tidak dikehendaki Allah
takkan pernah terwujud. Meskipun kita mengusahakan apapun. Teruslah bertawakkal
kepada Allah. Meski tentu saja kita harus “akhdzul asbab” dalam apa saja. Sebab
ada hukum kausalitas yang diterapkan oleh Allah. Teruslah berikhtiar tanpa
meninggalkan ketawakkalan.
Bertawakkal semestinya dengan totalitas. Akan tetapi tawakkal
bukan berarti membuat seseorang melanggar prosedur akhdzul asbab. “I'qilha
fatawakkal. Ikatlah onta itu lantas tawakkallah.”
Jika seseorang ingin mendapatkan rizqi. Maka seharusnya kita
mengambil sebab dengan melakukan sebuah hal. Jangan hanya diam saja menunggu
rizqi Allah jatuh dari langit. “Khudzil asbab wala ta’tamid alal asbab.
Ambillah sebab dan jangan kau berpegangan dengan sebab.”
Bertawakkal bukan tentang kepintaran orang membaca kitab gundul.
Sebab banyak orang yang amat lihai dalam membaca kitab gundul akan tetapi masih
sering mengeluh. Maka siapapun kita, bertawakkal adalah tentang proses belajar
untuk menerapkannya tanpa henti.
“Sesungguhnya manusia itu diciptakan memiliki sifat berkeluh
kesah. Apabila ia tertimpa keburukan ia akan berkeluh kesah. Dan apabila ia
mendapat kebaikan (harta) ia menjadi kikir”. (QS. Al Ma'arij: 19-20)
Kadang seseorang mengalami putus harapan, dikala ia telah
berusaha berpeluh-peluh menggapai yang terdamba akan tetapi ia tak juga
mendapatkannya. Maka jangan putus harapan, akan ada saat dimana harapan kita
diberikan-Nya, dan bertawakkallah.
فاذا تأخر مطلب فلربما # من ذلك التأخير كل مطلب
Jika seseorang tak menggapai-gapai apa yang ia damba, maka barangkali selepas itu akan tergapai semua yang terdamba.
Jika seseorang tak menggapai-gapai apa yang ia damba, maka barangkali selepas itu akan tergapai semua yang terdamba.
Jika kita sedang hendak mencari jodoh. Maka berusahalah tanpa
henti dan bertawakkallah, meski harus mengalami penolakan berkali-kali. Jika
kita ingin menjadi alim maka belajarlah, meski mengharuskan gagal berkali-kali,
jangan pernah putus harapan. Dan apa saja asa dan cita-cita kita berikhtiarlah
tanpa henti dan bertawakkallah.
يا قلب ثق بالله # فهو المعطي المانع
وارض بقضاء الله # انك لله راجع
وارض بقضاء الله # انك لله راجع
Duhai hati, percayalah kepada Allah. Ialah yang Maha memberi
yang Maha menghalangi.
Legawalah dengan ketentuan Allah, sungguh kau kepada Allah akan kembali.
Legawalah dengan ketentuan Allah, sungguh kau kepada Allah akan kembali.
_Wallahu ta'ala a'lam_
Penulis : Ust Shabieq
Blogger Comment
Facebook Comment