Diriwayatkan dari Abu hurairah Rodliyallahu anhu, ia
berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
(Wahai manusia, sesungguhnya Allah Dzat yang baik, tidak
menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-rang
Allah adalah Dzat yang Maha Baik. (Thoyyib). Dzat yang
disucikan dari kekurangan dan keburukan, yang selalu Indah untuk dipuji. Ialah
satu-satunya dzat yang berhak untuk dipuji. Ia hanya menerima sesuatu yang
baik.
Sesuatu yang baik itu bisa jadi berupa amal, yakni amal yang
suci dari penghancur dan perusak amal, layaknya riya’, ujub, dan sebagainya.
Pihak yang amat rentan mengidap hal ini adalah para pejuang agama yang memiliki
3 modal besar, yakni ilmu, harta, dan keberanian berjihad. Ternyata semua itu hanya
demi popularitas dan status sosial, jauh dari niat karena Allah. Seseorang
beribadah tak perlu melihat ibadahnya akan tetapi semestinya yang dipandang
adalah al Ma’bud, Allah itu sendiri. Atau bisa jadi berupa harta benda, yakni
harta benda yang terbebas dari campuran haram.
Man amila amalan asyroka fihi ghoiri taroktuhu syirkah
Kullu minatthoyibat wa’malu sholihat, maknanya berarti mengkonsumsi
makanan halal dan thoyyib, akan tetapi tidak sampai disitu, selanjutnya adalah
beramal yang baik. Thoyyib yang dimaksud adalah thoyyib yang dimaksud oleh
syara’, bukan sekedar thoyyib dalam hal rasa saja, atau yang dianggap lezat
saja. Atau thoyyib disana bisa juga berarti makanan yang mempunyai nilai gizi
yang baik bagi kesehatan tubuh, ditambah dengan halal. Seperti yang disebutkan
dalam Surat al Maidah ayat 88:
Al maidah 88
Tidak masalah pula seseorang mengkonsumsi makanan yang lezat
yang memiliki nilai gizi yang baik. Sebab Allah ta’ala justru tak suka dengan
orang yang bakhil, apalagi bakhil sama diri sendiri. Suatu saat dikala kita
dapat rizqi yang banyak dari Allah, kita perlu juga mengkonsumsi makanan yang
enak, seperti makanan sate atau gule. Sebab Allah suka implikasi nikmat yang Ia
berikan nampak pada seorang hamba. Tentu saja ini dalam level hal, bukan level
maqam. Yang penting jangan sampai berlebihan. Dan tentu saja yang penting lagi
adalah jangan lupa membagi kenikmatan itu kepada orang lain.
Kehalalan ini amat berkaitan dengan teraihnya keberkahan
hidup. Tak perlu berpayah-payah mengejar rizqi yang ternyata merupakan hal yang
syubhat atau bahkan haram. Sebab percuma, membuat hidup takkan berkah. Lebih
baik mencari rizqi yang halal meski sederhana. Keberkahan akan datang menemani
hidup kita.
Allah hanya menerima amal baik yang dilakukan oleh seorang mukmin.
Bagi orang kafir, meski ia melakukan amal sosial yang banyak. Amal mereka
ibarat debu yang beterbangan, atau ibarat fatamorgana. Meski terkadang amal
sosial yang mereka lakukan ada dampak positif yang akan mereka dapatkan dikala
didunia, tidak di akhirat. Padahal al Kayyis adalah seseorang yang beramal demi
kepentingan selepas mati.
Seorang Mukmin harus benar-benar jeli dan hati-hati dalam
menyeleksi hal yang halal. Sebab kedekatan seorang hamba dengan Allah amat
dipengaruhi oleh faktor konsumsi makanan, minuman atau pakaian dan hal lain.
Perkara yang syubhat dan haram, baik berupa makanan, minuman, pakaian atu hal
lain merupakan hijab yang menghalangi hubungannya dengan Allah. Doa-doa yang ia
panjatkan takkan bisa tembus untuk kemudian di ijabah oleh Allah sebab hijab
ini.
Ayahnya Abi Ihya dikala mensowankan Abi Ihya’ kepada Mbah
Faqih Langitan, Mbah Faqih sampai berpesan, “Ngapunten, Ihya’ niki ampun
dikirimi duwit sangking gaji KUA njeh” (Maaf, Ihya’ jangan dikirimi uang dari
gaji KUA ya). “Oh njeh niki khusus” jawab ayah Abi. Sebuah kehati-hatian Mbah
Faqih yang demikian luar biasa.
Ya, memang kita kini memasuki era yang meski seseorang
hati-hati sedemikian rupa, kita akan tetap terdampak debunya riba. Bagaimana
kita melihat mekanisme ibadah haji saja mesti melalui bank yang pastinya dengan
hal itu kita terlibat berkontribusi dalam zona riba. Uang yang halal demikian langka. Maka bertapa
beruntungnya orang yang berpegang teguh dalam mencari rizqi yang halal. Islam
berawal dalam kondisi asing, dan akan kembali asing, betapa beruntungnya
orang-orang terasing.
Blogger Comment
Facebook Comment