Ada banyak
ragam ghibah yang merupakan bentuk amal muhlikat yang menghancurkan poin pahala
yang kita kumpulkan mati-matian. Salah satunya adalah Muhakah. Muhakah
merupakan sebentuk ghibah yang dalam bentuk laku. Yakni dengan menirukan sebuah
ciri atau gaya seseorang. Seperti menirukan gaya berjalan. Ini adalah sebuah
hal yang diharamkan oleh Allah. Nabi sendiri tak mau untuk menirukan seseorang meski
diberi sekian harta benda.
http://www.fimadani.com |
Pada suatu
saat, Seorang Sayyidah Aisyah bilang kepada Rasulullah: “Duhai Rasulullah,
sungguh Shofiyyah itu seorang wanita begini (seolah ia berkata seraya berisyarat
dengan tangannya, bahwa ia ‘pendek’). Nabi bersabda: “Sungguh, Kau benar-benar
telah mencampur sebuah kalimat yang jika saja kau campur air laut dengan
kalimat itu maka pasti tercampur”.
Ya, muhakah
adalah bagian dari ghibah. Namun memang ada ulama yang bahkan lebih masyhur
dengan nama julukan yang aslinya terkesan merendahkan. Akan tetapi mereka justru
senang. Seperti al A’masy, yang rembes. Al Qoffal, tukang gembok. al Khowwas,
tukang sol. Maka hal ini bukan termasuk sebuah ghibah.
Abu Dzar al
Ghifari pada suatu saat memanggil budaknya dengan sebutan, “Yabna Sauda’”
(wahai anak orang hitam) “Wahai, Abu Dzar. Engkau
telah menghinakannya dengan merendahkan ibunya. Di dalam dirimu terdapat sifat
jahiliyah.” (HR. Bukhari)
Suatu waktu,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya: “Muslim seperti apa yang lebih
utama?”. Beliau menjawab: “Sesiapa yang orang lain selamat dari lisan (lisan)
dan tangannya (yad)”. Dua hal inilah yang paling banyak menyakitkan orang lain.
Lisan dan tangan. Dan diantara keduanya, lisan disebutkan dulu sebab memang menjadi
anggota badan yang paling parah.
“Jirohatussinan
lahal ti’amu # wala yaltamu ma jarohallisanu”
Artinya: Luka
sebab gigitan pada saatnya akan sembuh, namun tak begitu dengan luka sebab
lisan
Banyak hal
yang mesti kita hindari untuk membuat lisan kita selamat: Diantaranya adalah mengumpat
(Syatm), melaknat (la’n), Membicarakan aib orang lain (ghibah), dusta (buhtan),
Adu domba (namimah), siayah ilassulthon,
dll.
Banyak orang
alim yang bahkan terjebak dalam melakukan kejahatan ini. Maka betapa man
shomata naja. Sesiapa yang diam ia akan selamat. Berbicaralah hanya yang
penting-penting saja. Namun memang Allah ta’ala menformat banyak ragam lisan.
Ada yang hanya bicara na’am la, namun ada juga yang ‘ngecopros’ tak henti-henti.
Maka iyyullisan, yakni sulit bicara insyaAllah akan lebih selamat dari pada
yang vokal. Tapi yang repot adalah tipe lisan yang sekali bicara yang keluar
adalah hal yang menyakitkan, maka lebih baik diam saja. Ada juga lisan yang
tipenya mudah bicara lucu, maka jika kita memiliki lisan tipe ini, niatkan
bicara kita untuk menyenangkan orang lain, jangan hanya untuk ‘mbanyol’ saja.
Wama
yalfizhu min qoulin…
Kita selalu
diawasi oleh Raqib Atid. Sampai berupa rintihan seseorang pasti dicatat oleh
Malaikat itu. Apakah rintihan itu hanya factor kesakitan, atau merupakan bentuk
‘ngersulo’.
Berkaitan
dengan tangan. Agar kita bisa menyelamatkannya maka kita mesti menghindarkan
diri dari dosa-dosa yang potensial dilakukan oleh tangan. Seperti memukul (Dzorb),
membunuh (qotl), menghancurkan / memborbardir (hadm), melawan (daf’u),menulis
kebathilan (kitabah bil bathil), menempeleng (Basytu), mengambil (akhdzu).
Hanya saja
jika semua itu dilakukan untuk tujuan kebaikan (istislah), seperti menjewer
untuk mendidik, maka tidak dianggap dosa. Dan mentakzir seorang murid yang
melakukan pelanggaran pada prinsipnya tidak masalah. Namun akhir-akhir ini
dikala guru mendidik menerapkan metode seperti ini justru akan dilaporkan atas
nama melanggar HAM.
Ada yang
memaknai “yad’” sebagai anggota badan, seperti yang dinyatakan Allah dalam
firman-Nya.
….
Ada juga
yang memaknai “yad” sebagai kekuasaan. Seorang penguasa adalah khodim bagi
rakyatnya. Sehinggga ia harus berusaha menyenangkan dan menyejahterakan rakyat.
Bukan menindas, menyakiti dan menyengsarakan rakyat.
Hadits ini
begitu merepresentasikan sebuah jawamiul kalim yang dimiliki oleh Rasulillah.
Kenapa tidak memakai redaksi qoul, tapi lisan. Kenapa memakai bahasa yad, tidak
yang lain. Sebab pada akhirnya bisa mencakup keseluruhan makna yang mendalam
dan luas.
Pada
akhirnya, bagaimana kita selalu mengusahakan takholuq, berakhlaq dengan
akhlaqnya Allah. Berusaha menyenangkan orang lain, tidak menyakitinya. Sebagai
sebuah ibadah horizontal kepada Allah. Sebagai sebuah hubungan keterkaitan
manusia dengan manusia. Karena jika kita telisik, ayat-ayat al-Qur’an
menyiratkan adanya ibadah vertikal dan horizontal. Ayat-ayat yang mewajibkan sholat
beriringan pula dengan mewajibkan zakat.
Wallahu
ta’ala a’lam.
Blogger Comment
Facebook Comment