Mencintai dan Membenci Karena Alloh
مَنْ أَحَبَّ للهِ وَأَبْغَضَ للهِ وَأَعْطَي للهِ وَمَنعَ للهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانَ
"Barangsiapa yang mencintai karena Alloh, membenci karena Alloh, memberi karena Alloh dan menolak karena Alloh maka berarti dia telah menyempurnakan iman."
Hadits ini diriwayatkan oleh Syekh Sulaiman bin Asy’ats Assijistaani atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Abu Dawud dalam Kitab Sunnah beliau bab Dalil Ziyadatul Iman Wa Nuqshonihi hadits nomor 4681. Dari sanad Muammil bin Fadl dari Muhammad bin Syueb dari Yahya bin Harits dari Qosim dari Abi Umamah dari Rosululloh SAW.
Syarhul Hadits
Muslim artinya orang yang tunduk dan patuh kepada semua hukum Alloh, kepatuhan dan kepasrahan seorang muslim terhadap hukum Alloh merupakan pilar utama kekuatan iman yang dimilikinya, semakin tinggi tingkat kepasrahan seseorang maka semakin kokoh pula pondasi keimanannya. Salah satu hal yang memperkokoh sendi iman itu adalah empat hal sebagaimana terungkap dalam hadits di atas. Akan tetapi perlu kiranya empat hal itu diuraikan dengan panjang lebar sebagaimana berikut ini:
(1) Mencintai Karena Alloh (Al Hubb Lillah)
Perwujudan cinta karena Alloh dapat disaksikan salah satunya lewat pertemanan karena Alloh, persahabatan yang semata-mata dalam rangka mencari ridho Alloh. Manifestasi dari pertemanan ini dapat dibuktikan dengan jalinan persahabatan seperti antara seorang guru dengan murid, seorang santri dengan sang kiyai serta persahabatan antar siapapun yang semua sebab dan misinya hanya Alloh, bukan karena ada ikatan keluarga atau karena ada hubungan bisnis atau tujuan-tujuan dunia yang lain. Dalam sebuah hadits disebutkan yang artinya: "Sesungguhnya ada hamba-hamba Alloh yang bukan para nabi ataupun orang yang mati Syahid, akan tetapi para nabi dan orang yang mati syahid tercengang melihat kedudukan mereka di sisi Alloh SWT. Para sahabat bertanya siapa mereka itu wahai Rosululloh ? Rosululloh SAW menjawab: Mereka adalah kaum yang saling mencinta hanya karena Alloh, bukan karena ada hubungan keluarga atau harta yang saling mereka berikan, demi Alloh wajah mereka adalah cahaya di atas cahaya, mereka tidak akan takut atau bersedih pada saat banyak orang dicekam rasa takut dan kesedihan." (HR Abu Dawud).
Seorang lelaki berangkat menuju sebuah desa untuk mengunjungi seorang teman, di tengah jalan malaikat bertanya: "Kemana engkau hendak pergi?" Lelaki itu menjawab: "Saya hendak ke desa itu untuk mengunjungi teman saya yang ada di sana." Malaikat bertanya lagi: "Apa yang kamu bawa sebagai hadiah untuk temanmu?" Lelaki itu menjawab: "Saya tak membawa sesuatu apapun kecuali saya mencintai dia karena Alloh." Malaikat lalu berkata: "Aku adalah utusan Alloh yang diutus untuk mengabarkan kepadamu bahwa Alloh telah sangat mencintaimu sebab kamu telah mencintai saudaramu hanya karena-Nya." (HR Muslim).
(2) Membenci Karena Alloh (Al Bughdlu Lillah)
Kebencian Alloh adalah kebencian mukmin sejati, hal ini harus senantiasa tertanam dalam sanubari, selanjutnya agar hal itu terlaksana maka pengetahuan tentang segala yang dibenci Alloh harus diketahui. Secara garis besar, kebencian Alloh tiada lain adalah kekufuran dan kemaksiatan. Ini berarti pengakuan membenci karena Alloh harus dibuktikan dengan kebencian terhadap kekufuran dan kemaksiatan yang langkah selanjutnya dan harus dilakukan adalah berusaha dengan maksimal membasmi atau paling tidak menahan gerak laju kekufuran dan kemaksiatan tersebut dengan semua sarana yang dimiliki dan mungkin dilakukan. Kebohongan besar bila mengaku membenci akan tetapi tetap berteman akrab dengan para pelaku kekufuran dan kemaksiatan. Bila terpaksa upaya pembasmian atau tindakan pencegahan tidak bisa dilakukan, atau kalau tidak menampakkan sikap toleransi terhadap kekufuran dan kemaksiatan justru akan membahayakan keselamatan diri dan keluarga maka tidak masalah kalau kita tampakkan kesan tidak peduli. Abu Dzar berkata:
إِنَّا لَنَبُشُّ فِيْ وُجُوْهِ أَقْوَامٍ وَقُلُوْبَنَا لَتَلْعَنُهُمْ
"Sesungguhnya kami tampakkan senyum di hadapan satu kaum padahal hati kami sangat melaknat mereka."
Bila tindakan represif (pembasmian), preventif (pencegahan) ataupun kemarahan dalam hati terhadap kekufuran dan kemaksiatan sama sekali tidak ada maka bahaya besar akan mengancam keselamatan. Dalam sebuah cerita Isroiliyyat disebutkan bahwa Alloh mewahyukan kepada Yusya’ bin Nun: "Sesungguhnya Aku (Alloh) akan memusnahkan seratus empat puluh ribu kaummu yang baik dan enam puluh ribu kaummu yang berlaku buruk. Yusya’ bertanya: Ya Tuhanku, orang buruk sangat layak Engkau binasakan, akan tetapi mengapa orang baik juga ikut dibinasakan? Alloh berfirman: Karena orang yang baik makan dan minum bersama orang buruk tanpa risih sama sekali, dan mereka tidak marah karena kemarahan-Ku."
Interaksi Muslim dan Kafir.
Cinta dan benci karena Alloh juga harus dinyatakan dalam interaksi kehidupan seorang muslim dengan saudara seiman serta bersama orang kafir. Seorang muslim harus membuktikan kecintaannya kepada saudara sesama islam. Sangat tidak pantas orang yang mengaku islam dan yang mengaku sebagai penerus sunnah Rosululloh SAW, akan tetapi sama sekali tidak peduli nasib suadaranya bahkan ada yang saling menghina dan melecehkan, mengklaim diri dan kelompoknya yang paling benar dan terhebat serta yang paling layak masuk surga. Disamping itu seorang muslim sejati juga harus menanamkan kebencian dalam hatinya terhadap orang kafir tanpa harus menafikan sikap toleransi. Realita yang ada menunjukkan bahwa rasa toleransi yang terlalu tinggi dan terus-menerus disuarakan sangat berpengaruh dan menimbulkan polusi dalam Aqidah umat islam yang rata-rata masih rapuh Aqidahnya. Akibatnya adalah muncul perasaan atau anggapan tidak ada perbedaan antara agama satu dengan yang lain, semua agama mengajak pada kebaikan, untuk itu sikap toleransi harus selalu dipegang dalam kondisi dan situasi apapun. Puncaknya adalah kita dengarkan dan kita baca media yang melansir besar-besaran berita tim Sholawat ikut meramaikan acara natal di gereja dan acara besar umat kafir yang lain. Polusi Aqidah sebagaimana kasus di atas menjadi sulit dibersihkan ketika polusi itu diusung oleh setan-setan berwajah manusia yang berlindung di balik topeng cendikiawan. Rosululloh SAW. bersabda:
دُعَاةٌ عَلَي أَبْوَابِ جَهَنَّمَ هُمْ مِنْ جَلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا
"Para penyeru yang berada di pintu-pintu Jahannam, mereka berkulit seperti kita dan berbicara dengan bahasa kita." (HR Bukhori).
(3) Memberi Karena Alloh (I’tho’ Lillah)
Kepedulian kepada sesama yang juga merupakan sebuah kewajiban harus dibuktikan lewat pemberian kepada yang membutuhkan. Pemberian itu harus dilandasi ikhlas semata-mata mencari ridho Alloh. Bahkan kalau bisa harus dengan perasaan bahwa yang dia keluarkan bukan pemberian, melainkan sebuah keharusan menyerahkan milik orang lain yang dititipkan oleh Alloh kepadanya. Harus pula disadari bahwa pemberian itu adalah tampak sebagai pengurangan dan suatu kehilangan dalam pandangan mata, akan tetapi sebenarnya yang diberikan itulah hakikat dan milik yang sebenarnya yang akan didapatkan pahala balasannya kelak di hari kiamat. Rosululloh SAW bersabda yang artinya: “Harta tidak berkurang karena shodaqoh, dan siapapun yang mengulurkan tangan untuk bershodaqoh maka shodaqoh itu lebih dulu sampai ke tangan Alloh sebelum sampai kepada tangan orang yang meminta. Dan barangsiapa membuka pintu meminta-minta padahal dia ada maka Alloh akan membuka baginya pintu kemiskinan.” (HR Thobaroni).
Baca Artikel Lainnya : Tatap Masa Depan dan Hadapi Realita
Bila mana memberi karena Alloh dapat dijadikan tanda kesempurnaan iman, maka sebaliknya memberi tidak karena Alloh dapat dikatakan sebagai tanda rapuhnya keimanan seseorang. Abu Yazid Al Basthomi mengatakan: "Bahwa kebaikan yang benar-benar karena Alloh pasti akan terasa berat dilakukan dan sesuatu yang tidak karena Alloh biasanya mudah dan senang sekali untuk dilakukan." Dewasa ini dapat kita saksikan betapa para hartawan mudah sekali dan begitu bersemangat bila diminta sebagai penyandang dana dari proyek pembangunan sebuah masjid atau musholla dan bentuk bangunan fisik yang lain, akan tetapi ketika ada permintaan kepada mereka agar bersedia sebagai donatur tetap untuk sebuah kajian ilmiah, sebagai donatur tetap santunan kepada para pengajar terutama pengajar TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) atau sebagai donatur tetap sebuah lembaga yang mengurusi pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu, maka mereka segera akan menyatakan keengganannya. Padahal kita tahu jumlah dana untuk hal-hal seperti ini jauh lebih sedikit dibanding dengan jumlah dana yang harus dikeluarkan untuk sarana fisik, meski manfaatnya sangat besar melebihi pembangunan sarana fisik. Bila kasus ini diselidiki lebih mendalam maka akan ditemukan setan sudah bercokol di hati mereka dan mendorong agar sarana fisik lebih diperhatikan serta tak peduli apakah sarana itu nanti dapat efektif digunakan apa tidak, sebab keuntungan membangun sarana fisik adalah ada nama besar dan kemasyhuran bahwa dialah penyandang dana terbesar, itu berarti mereka memberi tidak karena Alloh dan balasannya adalah dia dicap oleh Alloh sebagai orang yang mendustakan agama.
(4) Menolak Karena Alloh (Al Man’u Lillah)
Pada masa sekarang seorang dermawan harus teliti siapa atau darimana proposal pengajuan dana yang ada di meja kerjanya, harus meneliti yayasan yang meminta dirinya menjadi donatur, apakah benar yayasan itu bergerak di bidang sosial atau tidak. Pada masa dimana orang menghalalkan segala cara untuk mencari harta ini banyak sekali kita temukan orang yang bikin yayasan semata-mata bertujuan mencari kekayaan pribadi. Seorang donatur atau siapa saja yang mempunyai harta lebih juga harus waspada benarkah orang yang datang kepadanya dan meminta bantuan ini benar-benar membutuhkan atau tidak. Dalam kasus seperti ini seorang hartawan ketika menolak permohonan bantuan harus semata-mata karena permohonan itu tidak layak diajukan, jadi penolakan sama sekali tidak timbul dari sifat pelit yang berlindung di bawah permohonan yang tidak layak diajukan. Inilah yang dinamakan dengan menolak karena Alloh.
Blogger Comment
Facebook Comment