Speak Good or Remain Silent
Siang itu sekitar jam dua belasan, situasi di rumah kami kelihatan tidak seperti biasanya. Maklum saat itu masih liburan hari raya, sehingga kami dengan keluarga terkadang asyik nongkrong di depan TV. Secara tidak sengaja, kami melihat tayangan sekilas info di SCTV. Tidak jelas jeluntrung awal beritanya, kami hanya melihat adegan orang-orang kampung bersenjatakan pentungan bergerombol. Sementara itu asap mengepul dari ban-ban mobil yang dibakar di tengah jalan. Kami juga melihat sebagian massa membakar truk, bak sampah dan merusak beberapa bangunan. Di hati kami terselip pertanyaan, ada apa ya?
Sore harinya sekitar jam empatan tayangan TV yang juga kebetulan kami lihat menunjukkan pemandangan yang berbeda. Iya berbeda, kalau siangnya kami melihat sejumlah orang kampung yang kelihatan mengamuk. Kini, kami melihat sejumlah orang berseragam tampak beringas memukuli dan menggedor-gedor rumah warga. Di sudut lain, tampak salah seorang diantara yang berseragam itu melepas tembakan ke atas memberi peringatan. Adegan yang masih kami ingat betul adalah ketika ada seorang tua renta yang dikeler dan digebuki padahal kelihatannya dia sangat lemah dan sudah menyerah.
Itulah peristiwa yang sama-sama kita lihat di layar kaca beberapa waktu lalu. Sebuah peristiwa yang tidak hanya terjadi sekali dua kali di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Warga yang mengamuk itu tidak lain adalah penduduk kampung Bojong Jakarta yang katanya tidak rela wilayahnya dijadikan konsentrasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPS). Ada juga info, bahwa munculnya konflik itu dipicu karena terjadi perubahan kesepakatan visi dan misi pembuatan TPS di situ antara pemerintah, warga, dan perusahaan yang mengelola TPS tersebut. Warga merasa dirugikan, sehingga warga demo yang akhirnya mengarah pada tindakan anarkis warga. Parahnya tindak kekerasan warga ini juga direspon berlebihan oleh beberapa orang yang berseragam yang tak lain adalah para polisi. Selang beberapa saat, tayangan TV sudah berisi silang pendapat tentang kasus Bojong tersebut. Bahkan kami di keluarga yang notabene pengamat pun silang komentar. Intinya silang pendapat dan silang komentar ini berujung dengan menyalahkan seseorang tanpa pernah kita berpikir bagaimana agar peristiwa serupa seperti itu tidak terjadi lagi. Sebab saling menyalahkan tanpa mencari sebuah solusi yang kongkret adalah sebuah langkah mundur bahkan menghancurkan kita.
Peristiwa yang seperti terjadi di atas itu mungkin sebuah pertanda, bahwa manusia itu cenderung membela diri (gharizatul baqa’) dan takut akan kerentanan posisinya. Lihat saja, bagaimana warga begitu mudah dengan anarkis membakar dan merusak dengan alasan dirugikan. Sementara aparat bertindak kebablasan dengan menghakimi warga di jalanan. Kemudian sebagian besar komentar yang muncul antar warga dan aparat adalah saling membenarkan tindakan mereka. Kondisi yang demikian itu mengarahkan kita untuk cenderung menyalahkan orang lain. Kita jarang melakukan introspeksi dan sadar diri akan apa yang kita perbuat. Seharusnya kita harus ingat gampang menyalahkan orang lain itu akan cenderung mengarah pada tindakan fitnah dan menghujat. Perbuatan yang demikian itu dilarang dalam Islam, sebagaimana firman Alloh dalam Al Qur’an: “Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Hujurat: 12).
Tindakan anarkis masyarakat dan aparat juga bisa disebabkan oleh kebiasaan kita yang senantiasa membiarkan perasaan emosi kita yang berlebihan. Ketika emosi kita tidak terkendali, maka yang terjadi adalah penyimpangan perilaku kita. Lidah kita akan mudah sekali berkata sesuatu yang kotor dan tangan kita senantiasa tidak terkontrol. Padahal lidah dan tangan adalah organ tubuh yang penting untuk selalu dijaga, sebagaimana sabda Rasululloh SAW. ketika salah seorang sahabat bertanya: “Muslim mana yang terbaik wahai Rasululloh?” Beliau menjawab: “Dia yang orang-orang Islam selamat dari gangguan lidah dan tangannya.” (Muttafaqqun alaih).
Sebab lain yang menyebabkan kita mudah sekali menyalahkan dan bertindak sembrono pada orang lain adalah karena kita mudah terpengaruh isu yang ditiupkan oleh seseorang. Isu atau berita simpang siur memang sangat berbahaya. Isu bisa membangkitkan fitnah yang tidur. Melempar isu ke masyarakat itu bagaikan menyiram api dengan bensin. Bisa kita bayangkan betapa besarnya kobaran api yang disiram dengan bensin, termasuk api isu yang mungkin disiramkan pada masyarakat Bojong. Oleh karena itu Rasululloh mengingatkan kita untuk tidak menebar isu, sebagaimana dalam petikan hadits beliau yang diriwayatkan Asma’ binti Yazid, yaitu: “Maukah kamu aku kasih tahu siapa orang yang terburuk di antara kamu sekalian? Yaitu orang-orang yang menyebarkan isu yang menimbulkan masalah di antara teman-temannya, dan membuka kesalahan orang-orang baik.”
Bahkan dalam hadits lain Rasululloh bersabda: “Orang yang terlibat dalam isu yang jahat tidak akan masuk surga.” (Muttafaqun alaih).
Peristiwa Bojong, kematian Munir, hasil muktamar NU yang masih berpolemik dan masih banyak kasus lain yang terjadi di Indonesia penyebabnya tidak lepas dari tiga hal di atas. Tiga hal tersebut adalah nafsu mempertahankan diri (ghorizatul baqa’), mengumbar emosi, dan mudah terpengaruh oleh provokasi orang lain. Maka, kita harus senantiasa menjaga kebersihan hati kita dari gangguan sifat tersebut. Pemerintah, masyarakat, dan aparat harus senantiasa mengedepankan sikap sabar, cinta, kasih dan sayang. Tindak kekerasan, memfitnah dan menghujat harus senantiasa dihindari dalam memecahkan suatu permasalahan.
Ada ibrah yang patut kita renungkan dari sejarah salah satu sudut kehidupan keluarga Rasululloh. Sebagaimana pernah diriwayatkan pada suatu malam, Aisyah sedang gelisah menunggu kedatangan Rasululloh yang dinantikan beliau. Saking lamanya menunggu Rasululloh, Aisyah pun tak kuat menahan kantuk. Akhirnya beliau menutup pintu depan rumahnya dan menuju ke peraduan untuk tidur. Tengah malam Rasululloh baru datang dan menemukan rumah beliau yang sudah gelap dan pintu depan rumah yang tertutup rapat. Diketuklah pintu rumah itu dengan jari-jari beliau yang lembut. Satu…dua… dan terakhir tiga ketukan, ternyata Aisyah pun belum beranjak dari peranduannya. Maklum, mungkin saking capeknya, Aisyah sampai tidak bangun padahal pintu depan rumah itu diketuk tiga kali oleh jari-jari Rasululloh.
Akhirnya Rasulullloh pun memilih tidur dengan bersandar di pintu bagian luar. Menjelang subuh Aisyah pun terbangun. Melihat Rasululloh tidak ada disampingnya Aisyah pun bergegas ke pintu depan. Dibukalah pintu depan rumah itu dan alangkah kagetnya ketika itu Aisyah menemukan tubuh Rasululloh rebah di depan pintu. Saat itu juga Aisyah berkata: “Wahai Rasululloh suamiku tercinta maafkan aku yang tidak membukakan pintu untukmu tadi malam ya Rasul.” Maka permintaan maaf Aisyah ini pun dijawab oleh Rasul dengan permintaan maaf juga: “Ya Humairah istriku tercinta, saya juga mohon maaf yang baru bisa pulang tengah malam.”
Pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kehidupan Rasululloh dan istri beliau di atas adalah sikap legowo Aisyah dan Rasululloh untuk saling meminta maaf. Ibaratnya Rasululloh dan istri beliau itu rebutan untuk minta maaf sesuatu yang sekali jarang terjadi di masyarakat kita. Mari kita lihat bagaimana kehidupan di masyarakat kita sekarang ini jauh dari saling meminta maaf. Kejadian yang sering muncul adalah mereka bersikukuh dengan sikapnya masing-masing. Lihat bagaimana manuver Gus Dur yang masih kelihatan ingin mendominasi NU. Parahnya sikap mendominasi itu kontra dengan hasil keputusan muktamar yang memenangkan orang yang tidak dikehendakinya. Walaupun hasil muktamar sudah diketuk final, sikap menyalahkan pihak lain pun masih berlanjut bahkan ada rencana memunculkan NU tandingan.
Baca Artikel Lainnya: Pelangi Sebuah Kebenaran
Bagimanapun juga perpecahan dan saling menyalahkan harus senantiasa seperti kasus-kasus di atas kita hindari. Marilah kita teladani sikap baginda Rasul dan Aisyah yang berebutan minta maaf bukan rebutan menyalahkan orang lain. Setelah rebutan minta maaf kemudian kita introspeksi diri (bermuhasabah) tentang mengapa kesalahan itu bisa terjadi. Setelah itu kita cari jalan keluarnya supaya kesalahan itu tidak terulang lagi. Langkah ini kelihatannya yang lebih rasional untuk keluar dari suatu permasalahan daripada menyalahkan orang lain. Dalam penyelesaian kasus-kasus yang terjadi di masyarakat pun kita harusnya demikian. Pemerintah, masyarakat, dan aparat harus menyibak akar masalah yang ada kemudian mencari jalan keluar yang terbaik. Tentunya jalan keluar tersebut diharapkan untuk menghindari sikap kekerasan, main hakim sendiri, dan sikap emosional. Kita harus senantiasa mencari benang merah permasalahan dengan perilaku dan tutur kata yang halus selembut sutra.
Wallahu A’lam Bishowab.
Blogger Comment
Facebook Comment