Mengetahui Tetapi Memusuhi
Allah azza wa jalla berfirman:
وَقَالُوْا قُلُوْبُنَا غُلْفٌ, بَلْ لَّعَنَهُمُ اللهُ بِكُفْرِهِمْ فَقَلِيْلاً مَّا يُؤْمِنُوْنَ
“Dan mereka mengatakan: Hati kami tertutup rapat (akan tetapi yang sebenarnya adalah) Allah telah melaknat mereka sehingga sedikit sekali (kemungkinan) mereka akan beriman”(QS Al-Baqarah:88)
Analisa Ayat

Ibnu Abbas ra meriwayatkan :
Yahudi Khaibar berseteru dengan suku Ghathafan. Setiap kali terlibat bentrokan dan peperangan, Yahudi Khaibar selalu saja menjadi pecundang. Akhirnya mereka berdo’a kepada Allah: “Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepadaMu dengan hak Nabi yang ummi yang telah Engkau janjikan akan mengutusnya kepada kami di akhir zaman, berikanlah kemenangan kepada kami atas mereka!” Setiap kali akan berperang dengan Ghathafan, do’a ini selalu dibaca oleh Yahudi Khaibar sehingga kondisi pun berbalik. Mereka akhirnya mampu mengalahkan Ghathafan. Akan tetapi ketika Nabi Muhammad Saw diutus justru mereka malah mengingkari sehingga Allah lalu menurunkan firmanNya:
...وَكَانُوْا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ كَفَرُوْا...
“...padahal sebelumnya mereka biasa memohon kemenangan (dengan nabi) atas orang-orang kafir...”
Sejarah mencatat banyak sekali mereka melakukan upaya untuk mencekal dakwah Islam. Di antaranya seperti pada permulaan ayat di atas, mereka secara langsung mengatakan kepada Rasulullah Saw: “Dan mereka mengatakan: Hati kami tertutup rapat...” atau seperti disebutkan dalam firman Allah:
وَقَالُوْا قُلُوْبُنَا فِى أَكِنَّةٍ مِّمَّا تَدْعُوْنَا إِلَيْهِ
“Dan mereka mengatakan: Hati kami berada dalam penutup yang rapat dari apa yang kamu menyeru kami kepadanya...”
Hal ini mereka maksudkan untuk melecehkan, menjatuhkan mental, serta membuat Rasulullah Saw berputus harapan akan keimanan mereka. Akan tetapi Allah mendustakan mereka, “…tetapi Allah telah melaknat mereka…” artinya mereka tidak beriman bukan karena tidak mengerti untuk bisa menerima dakwah, melainkan karena mereka mengingkari dan tetap berpegang teguh kepada agama lama mereka tanpa sedikitpun memperhatikan hujjah-hujjah Nabi Saw.
Baca Artikel lainnya : "Ketika Iman dan Amal Sholeh Berpadu"
Hal demikian inilah yang menyebabkan mereka mendapatkan siksaan Allah berupa laknat dan dijauhkan dari rahmat serta kebaikan. Allah pun menghalangi mereka dari taufiq dan melihat secara mendalam (tabasshur) kebenaran Rasulullah Saw. Jadi jika nenek moyang mereka yang membandel mendapatkan laknat Allah sehingga dirubah menjadi kera karena melaut pada hari sabtu, maka Yahudi Madinah dilaknat oleh Allah sehingga tidak pernah akan beriman karena mereka senantiasa menetapi kekafiran dan berpaling dari kebenaran di saat kebenaran itu termpampang jelas di hadapan mereka, Rasulullah Saw. Kondisi seperti ini persis dengan perlakuan Allah kepada pelaku perbuatan bid’ah yang dihalangi olehNya dari bertaubat sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw:
إِنَّ اللهَ حَجَرَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ
“Sesungguhnya Alloh menghalangi taubat dari seluruh pelaku bid’ah” (HR Baihaqi dalam Syuabul Iman dari Anas bin Malik ra)
Berangkat dari sinilah kemudian Imam Fudhel bin Iyadh berpesan: “Jangan kalian duduk bersama pelaku bid’ah karena sesungguhnya diriku khawatir laknat turun atas mereka”
Jika Rasulullah Saw dimusuhi, maka demikian pula halnya dengan para penerus perjuangan beliau. Di jalan dakwah, para da’i pasti mendapatkan halangan dan rintangan. Di samping pasti ada pendukung dan penyokong, selalu saja ada orang-orang atau kelompok yang tidak senang dan bahkan berusaha menjegal langkah dakwah. Apabila Yahudi yang sudah sangat mengetahui Rasulullah Saw justru memusuhi beliau maka seorang da’i mesti suatu saat akan mendapati bahwa ternyata pelaku penolakan dan provokator di balik aksi menentang dakwah adalah orang-orang yang sebenarnya memiliki ilmu. Ia, mereka mengetahui dan mengerti tetapi malah memusuhi dengan sekian banyak alasan yang terkesan dicari-cari. Seperti ungkapan bahwa islam tidak maju karena umat islam sendiri. Dakwah juga demikian halnya; ada banyak gerakan dakwah menuju kebaikan sebagaimana diajarkan oleh generasi salaf shaleh yang dilakukan oleh individu atau suatu kelompok, tetapi langkahnya kemudian terhambat dan bahkan terhenti oleh ulah seorang tokoh atau gerakan dakwah lain yang tidak sefaham atau sealiran.
Mengapa seorang berilmu atau seorang intelektual terkadang tampil sebagai penghalang dakwah yang dilakukan oleh orang berilmu dan intelektual lain? Iri hati, tidak ingin kalah pamor, kalah gengsi, kalah populer dan takut kehilangan massa menjadi salah satu alasan. Iri hati di kalangan manusia memang berada pada satu level. Politikus hanya iri kepada politikus lain, pedagang kepada pedagang lain dan seterusnya. Termasuk seorang alim juga muncul iri hati kepada seorang alim lain.
Jika hal tersebut tidak terjadi tentu tidak pernah tertulis dalam sejarah tokoh sekelas Imam Bukhari harus terusir dari negerinya. Sayyiduna Ibnu Abbas ra pernah mengatakan:
الْعُلَمَاءُ أَشَدُّ تَغَايُرًا مِنَ التُّيُوْسِ فِى زِرَابِهَا
Ini adalah gejala umum di kalangan orang yang berilmu. Beruntunglah kita apabila mendapatkan pertolongan Allah berupa memiliki hati yang bersih sehingga bisa menghilangkan perasaan iri hati kepada orang-orang yang selevel dengan kita; sesama ustadz, sesama kiyai dan sesama penyeru ke jalan Allah, sehingga berikutnya kita bisa saling membantu dan bekerja sama dalam langkah menggerakkan hati umat agar menjadi hamba yang mau mengabdi kepada Allah. Apalagi kita telah dihimpun dalam wadah sebuah jamaah dakwah, maka hati yang jernih dan bersih tanpa ada ganjalan kepada orang lain adalah sebuah keniscayaan. Memang dalam hidup ini dengan siapapun selalu saja ada alasan untuk membenci dan tidak menyukai, akan tetapi kita harus berfikir terbalik; selalu saja ada hal yang membuat kita harus mencintai meski terkadang tidak sehati; Tuhan kita Allah, sama-sama kita berharap syafaat Rasulullah Saw, dan yang paling penting guru kita sama serta kita juga mengibarkan bendera jamaah yang sama.Semoga semua kita dilindungi oleh Allah.
Blogger Comment
Facebook Comment