Bukti Cinta Sejati
Dalam kisah masyarakat Arab masa lampau hiduplah seorang wanita cantk rupawan bernama Laila. Kecantikannya begitu menawan dan terkenal ke seantero negeri. Para pecinta pun berlomba-lomba untuk mengambil dan meraih simpati. Semuanya berusaha dan hampir seluruhnya merasa telah berhasil menjalin hubungan dengan Laila. Akan tetapi realitas tidaklah demikian. Justru ketika ditanya apakah memang benar memiliki hubungan akrab dengan orang ini orang itu maka Laila menegaskan bahwa tidak mengenal satupun orang yang disebutkan.
Seperti inilah yang pernah dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nashrani. Mereka mengaku sebagai kaum yang memiliki hubungan khusus dengan Allah: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya….” (QS al Maidah:18). Jika dalam analogi di atas disebutkan bahwa Laila tidak mengenal orang-orang yang mengaku memiliki hubungan dengannya maka dalam lanjutan ayat ini Allah menegaskan bahwa Allah sama sekali tidak mencintai Yahudi dan Nashrani. Bahkan Allah sangat membenci mereka dengan menimpakan siksaan atas mereka. Karena itulah Allah berfirman mengajarkan agar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membalas pengakuan mereka dengan pertanyaan: “…Katakanlah: "Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?" (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia (biasa) diantara orang-orang yang diciptakan-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (QS al Maidah:18).
Jika cinta memerlukan tanda sebagai bukti maka seperti itu pula cinta Allah azza wajalla kepada salah seorang di antara para hambaNya. Tak ada hak bagi siapapun mengklaim sebagai manusia yang paling bersih dan mendapatkan cinta Allah. Meski begitu ada beberapa hal yang jika terwujud pada diri seseorang maka itu menjadi pertanda bahwa ia memang orang yang dicintai oleh Allah. Di antara tanda-tanda itu adalah seperti disabdakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
إِنَّ عُظْمَ الْجَـزَاءِ مَعَ عُظْمِ اْلبَلاَءِ وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ …
“Sesungguhnya besarnya pahala beserta besarnya bencana. Dan sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum niscaya Dia akan menguji mereka…”(HR Turmudzi dari Anas bin Malik ra)
Apabila sedang cemburu apa yang dilakukan oleh suami atau isteri anda. Tentu ia akan cemberut atau marah-marah kepada kita. Pastinya perlakuan seperti ini sangat tidak mengenakkan hati. Perasaan yang muncul kemudian segera ingin membalas perlakuan itu. Ini jika hal tersebut tidak direspon secara positif berupa perasaan bahwa rasa cemburu itu merupakan pancaran rasa cinta untuk kita dari suami atau isteri kita. Ya, jika memang masih ada cemburu berarti masih ada rasa cinta. Sebaliknya juga demikian halnya. Begitulah gambaran ketika Allah cemburu kepada kekasihNya.Ketika tanda keberpalingan dariNya telah mulai menampak pada diri sang kekasih, niscaya Dia akan melakukan aksi memberi sangsi berupa ujian dan cobaan untuk melindungi sang kekasih agar tetap berada dalam lingkaran cinta kepadaNya. Disebutkan bahwa pada suatu hari Nabi Yusuf alaihissalam berdiri di depan cermin. Ia mengamati betapa tampan wajahnya sehingga hatinya berkata tak akan ada seorangpun yang bisa membayar harganya karena ketampanan dan bentuk fisik yang begitu sempurna ini. Masih ditambah lagi keberadaannya sebagai putera Ya’qub seorang yang telah diangkat Allah sebagai Nabi. Allah pun lalu menggariskan para saudara Yusuf sendiri yang akhirnya melakukan makar dan menjual Yusuf dengan harga sangat murah; hanya beberapa dirham. Perlakuan istimewa al Aziz dan isterinya juga membuat Nabi Yusuf terlena sehingga Allah berkehendak akan kejadian skandal Zulaikha yang akhirnya membawa Yusuf ke dalam penjara selama dua belas tahun.
Selain menimpakan ujian kepada orang yang dicintaiNya, bukti cinta Allah kepada seorang hambaNya adalah seperti dijelaskan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
إِذَا أَحَبَّ اللهُ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيْلَ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلاَناً فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ فَيُنَادِى جِبْرِيْلُ فِى أَهْلِ السَّمَاءِ : إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبُّـوْهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِى أَهْلِ اْلأَرْضِ
“Tatkala Allah mencintai seorang hamba maka Dia memanggil Jibril: “Sesungguhnya Allah Mencintai seseorang maka cintailah dia!”Jibril pun mencintainya. Jibril lalu mengumumkan di kalangan penduduk langit: “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang maka cintailah dia oleh kalian!” seorang itu pun dicintai oleh penduduk langit kemudian diletakkanlah Qabul (penerimaan) di kalangan penduduk bumi”(HR Bukhari:6040)
Maksud hadits ini adalah penerimaan dan kecintaan yang didasarkan atas Ukhuwatul Iman, persaudaraan atas dasar keimanan seperti halnya kita begitu mencintai Imam Syafi’i karena beliau berjasa meletakkan dasar-dasar ilmu ushul fiqih serta madzhab fiqih Syafi’i. Ketika buah fikiran dan Ijtihad Imam Syafi’i dan tentunya para Imam lain diterima bahkan dibela oleh khalayak ramai maka sungguh realitas ini menjadi bukti bahwa Imam Syafi’i adalah figur yang dicintai oleh Allah azza wajalla. Begitu pula halnya dengan realitas di mana sebuah karya diterima dan dipelajari bahkan dijadikan sebagai bacaan wajib. Kitab Ihya’ Ulumiddin misalnya yang dipelajari di seantero dunia. Ini juga menjadi pertanda bahwa pemilik kitab ini yaitu Imam al Ghazali dicintai oleh Allah azza wajalla.
Baca Artikel Lainnya : "Cinta Tanah Air"
Dalam kehidupan masa sekarang ini kita juga mendapatkan tokoh-tokoh yang begitu dicintai umat. Kehadirannya dinantikan. Fatwa dan nasehatnya begitu diharapkan. Semua orang berebutan menjabat dan mencium tangan. Padahal tokoh tersebut tidak mengenal atau bahkan sama sekali belum pernah bertemu dan memiliki hubungan apapun.Tetapi mengapa umat islam di seluruh dunia begitu mencintainya?. Secara zhahir seperti diberitakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di atas bahwa itu semua adalah pancaran kecintaan Allah azza wajalla kepada tokoh tersebut. Tentu karena tokoh tersebut melakukan hal-hal yang dicintai Allah. Kehidupan mereka hanya diisi dengan perjalanan-perjalanan dakwah kepada Allah. Berusaha agar hati umat manusia percaya, mantap dan mencintai Allah. Jadi kecintaan khalayak ramai baru bisa disebutkan sebagai salah satu tanda kecintaan Allah kepada seorang figur apabila kecintaan tersebut berdiri di atas landasan persaudaraan keimanan karena hanya persaudaraan jenis inilah yang masuk dalam lingkup pandangan Allah sebagaimana tersirat dari redaksi ayat: “Sesungguhnya hanyalah orang-orang beriman yang bersaudara”.
Adapun kecintaan khalayak ramai yang tidak didasari oleh Iman maka sama sekali bukan termasuk tanda kecintaan Allah sebagaimana halnya Lenin dan Stallin yang begitu dicintai dan diagungkan oleh para pengikut faham komunis. Karl Max yang begitu diidolakan oleh kaum sosialis. Gandhi yang begitu dicintai oleh masyarakat India.
Bunda Theresa adalah sosok yang begitu dicintai oleh umat Katolik. Dalam aktivitasnya di Kalkuta India Atau para pahlawan siapapun yang dicintai dan dihormati oleh seluruh penduduk suatu negeri. Ini semua adalah kecintaan karena berdasarkan ukhuwwah Qabliyyah, persaudaraan kesukuan, ukhuwwah wathaniyyah, persaudaraan atas dasar kebangsaan dan atas dasar kemanusiaan. Betapapun jasa para pahlawan itu bisa harus dihargai karena pengorbanan mereka dan memang Allah dan RasulNya mengajarkan bahwa barang siapa tidak bersyukur dalam arti tidak bisa menghargai dan berterima kasih kepada sesama manusia maka ia juga tidak bisa bersyukur kepada Allah. Akan tetapi tetap saja kecintaan rakyat kepada pahlawan tidak bisa dijadikan standar kecintaan Allah. Sebab sangat mungkin para pahlawan itu berperang dan berkorban bukan semata membela agama Allah. Melainkan karena semangat kebangsaannya. Abu Musa al Asy’ari ra bercerita: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang seorang lelaki yang berperang agar disebut sebagai pemberani, yang berperang karena membela keluarga atau temannya dan lelaki yang berperang karena pamer. Manakah di antara mereka yang berada di jalan Allah? Maka beliau bersabda:
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Barang siapa yang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi maka dialah yang berada di jalan Allah”(HR Turmudzi/1697)
Dalam riwayat Imam Abu Dawud yang juga dari Abu Musa ra dengan teks: Seorang Badui datang dan bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Seorang lelaki berperang demi popularitas, berperang agar mendapat pujian, berperang untuk mendapatkan jarahan dan berperang untuk menunjukkan kelas keberaniaannya?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lalu bersabda seperti di atas. (HR Abu Dawud/2517).
= والله يتولي الجميع برعايته =
Blogger Comment
Facebook Comment