Dosa akibat Menceritakan yang Didengar

Dosa akibat Menceritakan yang Didengar


Suatu saat,  Rasulullah pernah bersabda: “Cukuplah berdosa, seseorang yang menceritakan semua hal yang ia dengar”

Menceritakan semua hal yang kita dengar tanpa kita konfirmasi dan kroscek kebenarannya terlebih dahulu disebut dengan “naqlul kalam” yakni memindah perkataan. Sementara kita tahu bahwa tidak semua perkataan seseorang bisa kita percaya kebenarannya. Sebab yang disebut sebagai kabar pasti memiliki kemungkinan bahwa hal tersebut nyata atau dusta.

Begitu urgensifnya hal ini. Imam Abi Daud sampai menyebutkan hadits ini dalam bab larangan keras dalam berdusta. Maka seseorang tidak boleh terjebak dalam melakukan dosa lewat perkataan. Meskipun kita memang dianugerahi Allah sebuah lisan yang tak bertulang, yang terkadang membuat orang bicara asal dan semaunya sendiri, sehingga pada akhirnya ia terjerumus dalam melakukan dosa.

Firman Allah ta’ala dalam Surat as-Syams ayat 7-10 menyatakan bahwa :

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا    فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا    قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا    وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

Artinya: "Dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya."

Pada ayat ini Allah bersumpah dengan memakai jiwa, maka kita harus paham betapa Allah memiliki kebesaran dan keluarbiasaan dalam menciptakan  jiwa serta menyempurnakannya.

Jiwa ini telah diformat sedemikian rupa sehingga memiliki bagian-bagian yang begitu komplit. Ia dilengkapi dengan : al muyuul (kecenderungan), as-syu’uur (rasa), al-hawa (kesenangan) , al-aql (akal), al-qolb (hati).

Namun, jiwa yang diformat lengkap dan sempurna ini pada akhirnya akan berakhir jika tidak di surga berarti di neraka, tidak ada jurusan yang ketiga. Maka kita mesti berusaha, jangan sampai melalui lisan, kita dimasukkan Allah kedalam neraka.

Titik yang terpenting dalam ayat ini adalah mengamati ayat fa’alhamaha fujuroha wa taqwaha. Dosa yang paling mudah, yang tidak perlu repot tidak lain bersumber dari lisan kita. Maka jangan mudah berbuat dosa melalui lisan kita.

Kebaikan itu terkait erat dengan taqwa, sementara dosa terkait erat dengan fujuur (kekejian). Keduanya memang begitu mudah dilakukan oleh lisan. Maka berbuat baik sebenarnya bukan sesuatu yang sulit dan melelahkan, justru merupakan aktivitas yang amat mudah. Sebab ia bisa dilakukan hanya dengan modal lisan saja, seperti dengan berdzikir. Namun sebaliknya dosa juga bukan sesuatu yang sulit dilakukan, bahkan amat sangat mudah dilakukan hanya dengan dukungan lisan.

Sebenarnya dari awal, jiwa ini telah diformat sedemikian rupa sehingga ia memiliki kesadaran dan mengerti bahwa sebuah hal akan berakibat baik, dan sebuah hal yang lain akan berakibat buruk. Namun masalahnya, ia disisi lain juga memiliki syahwat yang bermacam-macam. Entah syahwat harta benda (maal), syahwat kedudukan (jaah), syahwat kemaluan (farji), syahwat perut (bathni). Dan pada kenyataannya kebanyakan orang kalah dikala menghadapi syahwat yang ia miliki.

Selain itu, secara naluriah orang memiliki perasaan senang dikala ia mendapatkan pujian. Meskipun tentu saja syariat mengajarkan supaya seseorang tidak senang dipuji. Jiwa ini dari wataknya juga demikian senang dikala kebaikan yang ia lakukan dilihat oleh orang lain, dan tidak senang jika keburukan yang ia lakukan di ketahui orang lain. Maka dengan melalui akal, seseorang bisa melakukan pertimbangan-pertimbangan, dan lalu hati sebagai pihak yang memutuskan sebuah kebijakan.

Share on Google Plus

About tdmenha pujon

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment