Sikap Wara’, Memilih yang Jernih
dan Meninggalkan yang Keruh
Dari Abu Muhammad al Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra, cucu Rasulullah Saw sekaligus wewangian beliau Saw. Ia berkata: Aku menghafal dari Rasulullah Saw:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu (dan beralih- lah) kepada sesuatu yang tidak membuatmu ragu”
Takhrij Hadits
Hadits ini Diriwayatkan oleh Imam Nasai no:5722 Kitab al Asyribah bab (50) al hatsts alaa tarkis syubuhaat. Diriwayatkan oleh Imam Turmudzi no: 2518 Kitab Shifat Yaumil Qiyaamah bab (60) dengan teks:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَالْكَذِبَ رِيْبَةٌ
“Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu dan (beralih-lah) kepada yang sesuatu yang tidak membuatmu ragu karena sesungguhnya kejujuran itu ketenangan hati dan kebohongan itu keraguan dalam hati”

- Jika merasa ragu apakah fajar telah terbit maka orang yang akan berpuasa ramadhan pada esok hari masih diperbolehkan makan sahur akan tetapi lebih utama jika ia tidak perlu makan sahur.
- Jika ada orang fasiq (tidak peduli dosa, halal dan haram) memberi undangan untuk makan maka boleh menghadiri undangannya, akan tetapi sebaiknya tidak perlu menghadiri karena orang tersebut tidak menjaga diri dari yang haram.
Jadi hadits riwayat Sayyidina Hasan bin Ali ra ini adalah salah satu di antara pilar agama dan merupakan landasan sikap wara’, yaitu meninggalkan sesuatu yang tidak jelas (syubhat) atau meragukan dan beralih kepada sesuatu yang jelas tidak meragukan di mana sesuatu yang meragukan itu biasanya karena masih terdapat kebohongan, atau hal yang tidak benar menurut syariat. Sementara sesuatu yang bersih dari hal demikian biasanya terasa tentram di dalam hati sebagaimana ketentraman bersikap jujur. Sungguh sikap wara’ adalah sebuah keutamaan yang begitu besar. Jabir ra meriwayatkan:
"Seseorang disebutkan dihadapan Nabi Saw sebagai orang yang sangat bersemangat dalam ibadah. Lalu disebutkan pula orang lain yang tentang sikap wara’nya, maka beliau Saw bersabda:
لَا يُعْدَلُ بِالرِّعَةِ
'Wara’ tidak bisa dibandingkan (dengan apapun)”
Rasulullah Saw bersabda:
رَكْعَتَانِ مِنْ رَجُلٍ وَرِعٍ أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ رَكْعَةٍ مِنْ مُخْلِطٍ
Imam al Munawi menjelaskan:
"Maksudnya mencampur adukkan amal shaleh dengan amal buruk atau mencampurkan amal dunia dengan amal akhirat, karena sesungguhnya orang yang seperti ini sibuk dengan dunia, hatinya terikat dan senantiasa berminat meraih dunia. Ia tidak menunaikan hak shalat. Sebaliknya orang yang wara’ hatinya bersinar dengan hikmah dan anggota tubuhnya membantunya untuk ibadah sehingga ia mendapatkan amalnya berharga mahal, tinggi derajatnya, dan besar kemuliaannya karena sedikit darinya lebih utama daripada banyak dari orang yang tidak seperti dirinya. Jika ibadah bisa bernilai tinggi dan semakin mulia sebab hal itu maka orang yang beribadah semestinya berjuang semaksimal-nya untuk bisa memiliki sikap wara’ .".
Sikap wara’ yang di atas disebutkan sebagai meninggalkan sesuatu yang tidak jelas atau meragukan, juga disebutkan oleh Rasulullah Saw sebagai meninggalkan sesuatu yang tidak bermasalah sebagai antisipasi agar tidak terjatuh dalam sesuatu yang bermasalah. Beliau Saw bersabda:
لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّي يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِه حَذَرًا لِمَا بِهِ الْبَأْسُ
Abu Bakar ra berkata: “Kami meninggalkan tujuh puluh pintu halal karena khawatir terjatuh dalam satu pintu haram” Umar ra berkata: “Kami meninggalkan 9/10 yang halal karena khawatir terjatuh dalam yang haram” Abu Dzarr al Ghiffari ra berkata: “Kesempurnaan taqwa adalah meninggalkan sebagian yang halal karena khawatir itu haram”.
Ajaran Wara’ Rasulullah Saw
- Aisyah ra bercerita:
Saat akan wafat Utbah bin Abi Waqqash berpesan kepada saudaranya, Saad bin Abi Waqqash: “Anak lelaki yang dilahirkan oleh sahaya Zam’ah adalah anakku, maka ambil (dan asuhlah ia)!” Ketika penaklukkan Makkah, Saad pun mengambil anak itu dengan mengatakan: “Ini putera saudaraku. Ia telah menyuruhku agar mengambilnya”. Hal ini ditolak oleh Abdu, putera Zam’ah dengan mengatakan: “Ini saudaraku, dan putera sahaya ayahku. Ia lahir di atas tikar ayahku”
Mereka berdua kemudian membawa persoalan tersebut kepada Rasulullah Saw. Saad berkata: “Wahai Rasulullah, anak ini putera saudaraku, ia telah menyuruhku untuk mengambilnya” Abdu bin Zam’ah berkata: “Ini saudaraku, dan putera sahaya ayahku. Ia lahir di atas tikar ayahku”
Baca Artikel Lainnya : "Sarana Mencapai Kesuksessan"
Rasulullah Saw pun memutuskan: “Wahai Abdu bin Zam’ah, anak ini milikmu” lalu Rasulullah Saw bersabda: “Anak adalah miliki suami (majikan). Sedang orang yang berzina mendapatkan kerugian”
Kemudian karena melihat anak itu begitu mirip dengan Utbah bin Abi Waqqash maka Rasulullah Saw bersabda kepada Saudah binti Zam’ah:
احْتَجِبِيْ مِنْهُ يَا سَوْدَةُ
“Wahai Saudah, berhijablah darinya”
Maka anak itu tidak pernah melihat wajah Saudah sampai akhir hayatnya. Meski status hukum menentukan anak lelaki itu adalah adik Sayyidah Saudah ra sendiri karena terlahir dari sahaya sang ayah yaitu Zam’ah, akan tetapi melihat anak itu sangat mirip dengan Utbah bin Abi Waqqash yang menzinahi sahaya wanita Zam’ah maka Rasulullah Saw memerintahkan agar Saudah ra tidak bergaul dengan anak itu sebagaimana layaknya adik dan kakak.
- Uqbah bin al Harits ra bercerita tentang dirinya sendiri:
Bahwasanya ia telah beberapa lama menikah dengan seorang wanita puteri Abu Iahab. Tiba saatnya seorang wanita berkulit hitam datang kepadanya dan mengaku bahwa dulu pernah menyusui Uqbah dan isterinya itu. Merasa gelisah dengan berita ini Uqbah ia pun datang kepada Nabi Saw. Mendengar penjelasan Uqbah beliau Saw berpaling sambil tersenyum seraya mengatakan:
كَيْفَ وَقَدْ قِيْلَ؟!
“Lalu bagaimana jika benar-benar telah dikatakan seperti itu?!”
Artinya untuk kehati-hatian beliau Saw memerintahkan Uqbah agar berpisah dengan isterinya itu sebab mungkin saja ucapan wanita hitam itu benar.
- Adiy bin Hatim ra bercerita:
Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, saya melepas anjing (buruan) saya seraya membaca basmalah. Kemudian saya mendapati anjing saya itu sudah berhasil menangkap buruan bersama anjing lain yang belum saya bacakan basmalah. Sementara saya tidak mengetahui pasti anjing manakah yang berhasil menangkap buruan?” beliau Saw bersabda:
لَا تَأْكُلْ إِنَّمَا سَمَّيْتَ عَلَى كَلْبِكَ وَلـَمْ تُسَمِّ عَلَى الْآخَرِ
“Jangan memakan (hasil buruannya) karena sesungguhnya kamu hanya membaca basmalah pada anjingmu dan kamu tidak pernah membaca basmalah pada anjing lain”
- Sikap Wara’ Sayyidina Hasan ra
Perowi hadits ini, Sayyidina Hasan ra, dalam sejarahnya beliau wafat karena diracun. Ketika akan wafat sikap wara’ beliau membuatnya menolak untuk menuntut balas. Ketika itu Husen sang adik bertanya: “Wahai saudaraku, siapakah orang yang engkau curigai?” Hasan ra bertanya: “Apakah kamu akan membunuhnya?” Husen mengiyakan. Hasan ra berkata: “Jika memang orang yang aku sangka itu benar pelakunya maka sungguh Allah lebih berat siksaan-Nya. Tapi jika memang ia bukan pelakunya maka sungguh aku tidak ingin ada orang yang tidak bersalah dibunuh karena diriku”
Dalam generasi salaf banyak sekali ditemukan kisah-kisah sikap wara’, memilih menghindari sesuatu yang memiliki kemungkinan tidak benar atau tercampur dengan sesuatu yang haram atau memilih tidak mengambil haknya jika masih ada kemungkinan itu hak orang lain, meski bisa jadi kemungkinan itu sangat kecil. Ibrahim bin Adham misalnya yang memilih tidak meminum air zam-zam meski ia tinggal di area Masjidil Haram karena alasan tidak memiliki timba pribadi untuk mengambil air zam-zam dari sumbernya. Menurutnya timba-timba yang tersedia adalah milik negara.
Atau Yazid bin Zure’ yang memilih untuk tidak mengambil hak warisnya yang berjumlah 500 ribu dirham karena alasan almarhum ayahnya adalah pegawai negara.
Juga ada nama Syekh Abu Ishaq As Syirazi, penulis kitab yang penuh berkah al Muhadzdzab yang kemudian diberikan penjelasan (syarah) oleh Imam Nawawi dengan kitab al Majmu’. Disebutkan bahwa Syekh Abu Ishaq yang senantiasa shalat dua rakaat sebelum menulis setiap pasal dari al Muhadzdzab hidup dalam keadaan kekurangan. Meski demikian beliau sama sekali tidak kehilangan sikap wara’. Suatu ketika beliau keluar dari masjid yang menjadi tempat tinggalnya untuk suatu keperluan. Di tengah perjalanan beliau ingat bahwa satu-satunya uang miliknya sebesar 1 dinar jatuh. Beliau pun berjalan menyusuri jalan yang barusan dilalui dan akhirnya mendapati ada uang satu dinar tergeletak di sekitar masjid. Ternyata beliau tidak mengambil uang itu karena berfikir bisa saja ini bukan uangnya tetapi uang orang lain yang jatuh.
Blogger Comment
Facebook Comment