Rahasia Puasa Bagian Tiga
Hendaknya setelah berbuka puasa, hatinya merasa mengambang antara khouf dan roja’. Karena dia tidak mengetahui, apakah puasanya diterima, sehingga dia termasuk hamba-hamba yang dekat dengan Alloh?, ataukah puasanya tertolak, hingga dia termasuk orang-orang yang dimurkai?. Hendaknya dia senantiasa seperti itu pada akhir setiap ibadah yang dia selesaikan.

Diriwayatkan dari Ahnaf bin Qois –rodhiyallohu ‘anhu-, bahwa ada yang bertanya kepada Beliau,”Sungguh, anda adalah orang yang sudah tua renta. Dan puasa ini bisa membuat anda menjadi sangat lemah”. Maka Beliaupun menjawab,”Aku menyiapkan puasa ini untuk sebuah perjalanan yang sangat panjang. Dan bersabar dalam ketaatan kepada Alloh –subhanahu wa ta’ala- masih lebih ringan daripada bersabar menerima siksa-Nya”.
Inilah makna-makna batin yang ada dalam puasa. Jika anda katakan,”Barang siapa yang mencukupkan diri dengan menahan nafsu perut dan alat kelamin, maka para ahli fiqh telah menyatakan bahwa puasanya sah". Lalu apa artinya makna-makna itu?
Maka ketahuilah bahwa para ahli fiqh dzohir menetapkan syarat-syarat lahir berdasarkan dalil-dalil. Dan dalil-dalil itu lebih lemah dari dalil-dalil yang telah kami paparkan tentang syarat-syarat batin ini, apalagi tentang menggunjing dan sejenisnya. Namun memang pembebanan taklif yang menjadi pembahasan para ahli fiqh dzohir adalah yang mudah dilaksanakan oleh orang-orang awam yang biasa lalai, berkecimpung dengan dunia dan terjun di dalamnya.
Adapun para ulama’ akhirat, mereka menghendaki sahnya puasa dengan diterimanya puasa, dan mencapai tujuan dari puasa itu. Mereka memahami bahwa tujuan dari puasa itu adalah untuk meniru salah satu dari akhlak Alloh, yaitu tidak butuh pada yang lain , serta mengikuti para malaikat dalam menahan diri dari keinginan-keinginan syahwat, sesuai kemampuan. Karena para malaikat itu sama sekali terbebas dari syahwat.
Manusia itu tingkatannya berada di atas binatang, karena memiliki kemampuan dengan cahaya akalnya, untuk meredam syahwatnya, dan dibawah tingkatan malaikat, karena memang keinginan syahwat melingkupi dirinya. Maka dia mendapat ujian untuk memerangi hawa nafsunya. Maka setiap kali dia tenggelam dalam memuaskan syahwat, maka dia terjun ke tingkatan terndah, dan bergabung dengan kelompok para binatang. Dan setiap kali dia bisa mengekang hawa nafsunya, maka dia naik menuju ‘illiyin dan bergabung dengan cakrawala para malaikat.
Para malaikat itu didekatkan kepada Alloh. Maka barang siapa yang mengikuti mereka dan berusaha menyerupai akhlak mereka, maka dia didekatkan kepada Alloh sebagaimana para malaikat. Karena orang yang menyerupai pada yang dekat kepada Alloh juga menjadi dekat dengan-Nya. Dan kedekatan di sini bukanlah kedekatan tempat, namun kedekatan sifat.
Baca Juga : Rahasia Puasa Bagian Kedua
Ketika ini adalah rahasia puasa bagi orang-orang cerdas yang bisa mencapai kesimpulan, dan juga orang-orang yang memiliki kejernihan hati, lalu apa gunanya mengakhirkan makan, dan menghabiskan dua porsi makan pada malam hari, disertai pemuasan nafsu-nafsu syahwat yang lain, dengan rasa lapar sepanjang siang? Kalau memang itu ada gunanya, lalu apa artinya sabda Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam- :
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ اِلَّا الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ
“Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga”.
Karena itulah sahabat Abu Darda’ –rodhiyallohu ‘anhu- berkata,”Betapa bernilainya tidurnya orang-orang cerdas dan tidak puasanya mereka!. Bagaimana benar bahwa mereka layak mencela orang-orang bodoh yang berpuasa dan tidak tidur di malam hari”.
Dan sungguh, satu biji dzarroh dari orang yang memiliki keyakinan dan takwa masih lebih utama dan lebih unggul bila dibandingkan dengan bergunung-gunung ibadah dari orang-orang yang tertipu. Karena itu para ulama’ mengatakan,”Betapa banyak orang berpuasa yang ternyata batal. Dan betapa banyak orang tidak berpuasa yang ternyata berpuasa”.
orang tidak berpuasa yang ternyata berpuasa adalah orang yang bisa menjaga anggota-anggota badannya dari melakukan dosa, sedang dia juga makan dan minum. Dan orang berpuasa yang ternyata batal adalah orang yang merasakan lapar dan dahaga, sedang dia membiarkan anggota-anggota badannya melakukan dosa.
Barang siapa yang memahami makna dan rahasia puasa, dia bisa memahami bahwa perumpamaan orang yang menahan diri dari makan dan berhubungan badan, lalu berbuka dengan bergelimang dosa, adalah bagaikan orang yang mengusap seluruh anggota wudhunya sebanyak 3 kali. Secara dzohir jumlah itu tepat, namun dia mengabaikan suatu yang sangat penting, yaitu membasuh. Maka sholatnya tertolak karena kebodohannya.
Dan perumpamaan orang yang tidak berpuasa dengan makan, dan berpuasa dengan anggota badannya dari hal-hal yang dimakruhkan, adalah bagaikan orang yang membasuh anggota wudhunya sekali-sekali. Maka sholatnya bisa diterima –in sya Alloh-, karena dia melakukan yang pokok dengan baik, walaupun dia meninggalkan yang lebih utama. Sedang perumpamaan orang yang menggabungkan antara keduanya adalah bagaikan orang yang membasuh setiap anggota wudhunya 3 kali-3 kali. Dia menggabungkan antara pokok yang baik dan keutamaan. Dan itulah yang sempurna. Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
إِنَّمَا الصَّوْمُ أَمَانَةٌ. فَلْيَحْفَظْ أَحَدُكُمْ أَمَانَتَهُ
“Puasa itu merupakan amanah. Maka hendaklah seorang di antara kalian menjaga amanahnya”Dan saat membaca firman Alloh -‘azza wa jalla- :
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ اِلَى أَهْلِهَا
“Sungguh, Alloh memerintahkan kepada kalian untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya” (an-Nisa’ : 58), beliau meletakkan tangan beliau di atas telinga dan mata beliau, seraya bersabda :
اَلسَّمْعُ أَمَانَةٌ وَالْبَصَرُ أَمَانَةٌ
“Pendengaran adalah amanah. Dan penglihatan juga amanah” . Kalau bukan karena lisan termasuk amanah puasa, tentu Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak akan bersabda :
فَلْيَقُلْ : اِنِّي صَائِمٌ
“Hendaklah ia berkata, Saya sedang berpuasa” . Maksudnya,”Aku mendapatkan titipan lisanku ini, untuk aku jaga. Bagaimana mungkin aku akan membiarkannya untuk menjawabmu?”.
Maka jelaslah bagi anda, bahwa setiap ibadah itu memiliki sisi dzohir dan sisi batin, serta memiliki kulit dan inti. Dan kulitnyapun memiliki beberapa tingkatan. Dan masing-masing tingkatan memiliki tahapan-tahapan. Maka sekarang silahkan anda memilih, apakah anda sudah merasa cukup dengan kulitnya saja, tanpa memasuki intinya; ataukah anda hendak menggabungkan diri dengan kumpulan orang-orang cerdas yang mencapai inti.
Blogger Comment
Facebook Comment