Melahirkan
Anak-Anak Ideologis
Bagi pencari ilmu, menjalani hidup di hari-hari ini rasanya tidak lengkap bila tak menyempatkan waktu untuk mengkaji sisi-sisi kehidupan dan keunggulan manusia agung Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wasallam.Ya, memang Beliau laksana tetesan-tetesan air hujan yang tidak terbilang. Keunggulan dan sisi-sisi kehidupan Beliau yang bisa dijadikan teladan tak terhitung jumlahnya laksana hamparan pasir sahara. Dalam kesempatan ini marilah mencoba kembali merenungi ada hikmah dan rahasia apa di balik kesukesan Beliau merubah wajah bangsa Arab secara khusus untuk kemudian seluruh wajah dunia dalam waktu yang begitu sangat singkat. hanya dalam masa kurang lebih dua puluh tiga tahun.
Upaya yang dilakukan oleh Beliau hingga menjadikan Islam dipeluk oleh mayoritas manusia penghuni bumi dengan akselerasi yang begitu mencengangkan tiada lain adalah aktivitas yang bernama DAKWAH. Karena dakwah inilah kemudian hampir tidak ada daratan pulau di dunia ini kecuali di sana ada manusia yang menyembah kepada Allah. Dari pulau yang terdekat hingga pulau terjauh. Terbesar hingga terkecil. Rahasia dibalik kesuksesan luar biasa ini adalah karena dalam berdakwah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjadikan prinsip Takwiin, pengkaderan atau mencetak kader sebagai tujuan dan standar utama keberhasilan. Seluruh potensi yang dimiliki; baik intelektual atau fasilitas diarahkan untuk mencetak kader-kader dakwah yang handal. Dakwah, pada mulanya dilakukan untuk mencari bibit unggul untuk kemudian dilakukan pembinaan-pembinaan (Tarbiyah wa Ta’liim) secara intens dan berkesinambungan. Gambaran dari hal ini adalah realitas dakwah yang dilakukan oleh Beliau di Makkah di mana satu dua orang yang telah mendapat hidayah dan berhasil direkrut, oleh Beliau kemudian dibina secara langsung di rumah Arqam bin Arqam. Para alumni dari pembinaan inilah yang di kemudian hari akhirnya menjadi pioner-pioner dakwah. Dalam fase Madinah pun demikian halnya; kaderisasi da’i secara intens juga terus dilakukan. Para sahabat penghuni emperan masjid nabawi adalah contohnya. Mereka ditempa dua puluh empat jam oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Akhirnya dari merekalah kemudian ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hingga kini masih terus bergaung dan terjaga otensitasnya karena sebagian besar hadits-hadits sumber periwayatannya adalah dari mereka. Abu Hurairah ra selaku sahabat paling banyak meriwayatkan hadits adalah salah satu contohnya.
Selain secara real melakukan langkah-langkah membentuk kader penerus perjuangan dan penyambung lidah dakwah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga senantiasa mengingatkan kepada para kader yang telah dibina agar dalam berdakwah betul-betul memperhatikan masalah pengkaderan ini. Di antaranya adalah pesan Beliau kepada Ali ra:
َلأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمُرِ النَّعَمِ
“Sungguh jika Allah menunjukkan karenamu seorang lelaki maka itu lebih baik bagimu daripada unta kemerahan” (HR Bukhari).

Dengan memiliki kader-kader atau anak-anak ideologis maka sangat memungkinkan dakwah akan terus hidup dan berkembang. Dengan memiliki kader-kader yang akan meneruskan perjuangan dan memperjuangkan prinsip dan pemikiran yang telah dirintis dan dikembangkan, seorang da’i atau komunitas dakwah tidak memerlukan anak-anak secara biologis. Dan sekali lagi inilah yang telah dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Tentu saja jika anak-anak biologis kita sekaligus juga menjadi anak-anak ideologis maka akan sungguh sangat membahagiakan dan dakwah akan semakin kuat dan cepat berkembang. Ini pula yang terjadi pada diri Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam di mana mayoritas anak-anak keturunan Beliau adalah para da’i yang terus menghidupkan dan menyebarluaskan ajaran-ajaran Beliau.
Belajar kepada Abu Bakar ra
Pentingnya memiliki anak-anak idiologis dapat kita pelajari dari apa yang dilakukan oleh Abu Bakar ra. Seperti diketahui bahwa setelah masuk islam maka ia adalah kader pertama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menyalurkan dan menyebarluaskan dakwah. Dalam langkah inilah Abu Bakar ra semestinya dijadikan teladan oleh para kader dakwah. Abu Bakar ra dengan kewibawaan dan kekayaan yang dimiliki mencurahkan potensi tersebut untuk merekrut kader-kader dakwah berikutnya. Atau dalam istilah yang dipakai sekarang. Abu Bakar ra begitu serius memunculkan sel-sel baru dakwah. Akhirnya tercatat beberapa nama sahabat besar yang masuk islam dan memperjuangkan islam sebagai hasil dakwah Abu Bakar ra seperti Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan. Selain itu demi mencari kader maka Abu Bakar ra pun tak segan mengeluarkan biaya besar. Adalah Bilal bin Rabbah dan Amar bin Yasir; beliau berdua inipun terbebas dari status budak dan akhirnya bisa berkonsentrasi penuh memperjuangkan Islam setelah dibebaskan dengan kekayaan Abu Bakar ra. langkah membebaskan budak ini tidak terlepas dari usulan dan dorongan isteri kedua Beliau Ummu Ruman ibunda Aisyah ra.
Belajar kepada Abuya
Pentingnya mencetak kader (Takwiin ar rijaal) secara gamblang bisa pula kita dapatkan dari sejarah hidup kakek guru kita Abuya As Sayyid Muhammad bin Alawi al Hasani. Demi dakwah mengikuti jejak langkah para pendahulunya, Beliau rela melepas seluruh aktivitas dan status formal yang disandangnya. Mengundurkan diri dari menjadi staf pengajar di Universitas Ummul Quroo Makkah. Selanjutnya Beliau berkonsentrasi sepenuhnya mengajar para santri di rumah sendiri. Gratis tanpa ada sepeser pun yang diterima. Bahkan tidak lama kemudian para santri bukan hanya gratis, tetapi sekaligus seluruh biaya hidup dari makan, pakaian dan uang jajan menjadi tanggung jawab Beliau. Allahu Akbar. Maa Syaa Allah Laa Quwwata illaa billaah. Inilah bukti nyata manfaat ketika seluruh potensi; ketinggian ilmu, kedudukan dan kekayaan terkumpul kemudian semuanya diarahkan kepada satu tujuan maka hasilnya adalah seperti yang kita lihat sekarang ini. Santri-santri lulusan Beliau kini menjadi benteng sekaligus amunisi baru golongan ahlu sunnah di bumi nusantara ini. Tanpa bermaksud mendewakan kita bisa menyatakan bahwa mereka - dan tentu saja bersama para santri lulusan Yaman, Syiria, India dan Pakistan - adalah laksana peluru atau bahkan rudal-rudal yang pasti akan merontokkan dan menghancurkan tank-tank atau pesawat musuh-musuh ahlu sunnah yang datang menyerang. Para santri kader-kader Timur Tengah ini tak ubahnya seperti pecahan bintang-bintang yang merupakan sambutan Allah terhadap setan-setan yang mencoba mencuri dengar kabar dari langit.
إِلاَّ مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ ثَاقِبٌ
“Akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan); maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.” (QS As Shaaffaat:10).
Para alumni Timur Tengah khususnya Alumni Abuya (mohon maaf sekali lagi; tanpa ada maksud berapologi) memang menjadi yang terdepan dalam menangkal serangan fitnah agama yang melanda umat Islam di negeri ini. Syiah, Ahmadiyyah, JIL dan aliran sesat lain yang tak ubahnya seperti setan-setan yang mencoba menipu umat Islam. Mereka terus berusaha untuk eksis dan mendapat pengakuan khalayak. Akan tetapi, kita patut bersyukur karena usaha dan tipu muslihat mereka menerpa batu karang kokoh. Dalam lingkup lebih kecil, sungguh para alumni timur tengah (Makkah & Yaman) kini memainkan peran utama dalam menyelamatkan NU dari perubahan warna Aqidah. Perubahan warna sebagai akibat serangan internal, tepatnya para putera-puteri NU yang telah mengalami proses Brain Wash, cuci otak yang dilakukan orang-orang kafir atas nama ilmu pengetahuan. Selain Abuya, maka tentu saja langkah dalam dakwah yang benar-benar memperhatikan proses kaderisasi, juga bisa kita temukan dalam diri para da’i ikhlash yang lain.
Bagaimana dengan kita?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para ulama generasi penerusnya memang memiliki potensi keilmuan dan kekayaan sehingga bisa mencetak kader secara mandiri. Pada dewasa ini potensi tersebut telah terpisah sebagaimana terjadi pada kasus terpisahnya kepemimpinan negara dan agama. Pihak-pihak yang berilmu atau seorang yang hebat secara intelektual dan spiritual rata-rata adalah manusia yang banyak tidak berharta. Rizki mereka pas-pasan saja bahkan tidak jarang mengalami kekurangan. Hal ini menjadikan mereka tidak mampu menggratiskan biaya bagi para santri dan murid yang belajar kepada mereka. Sementara di lain pihak sebuah lembaga pendidikan gratis sudah barang tentu lebih diminati daripada yang tidak. Sementara di pihak lain, justru harta benda banyak dimiliki oleh orang-orang yang tidak berilmu. Menyinggung fenomena seperti ini Imam Syafii ra mengatakan:
تَمُوْتُ اْلأُسْدُ فِى الْغَابَاتِ جُوْعًا وَلَحْمُ الضَّأْنِ تَأْكُلُهُ الْكِلاَبُ
Harimau-harimau mati kelaparan sementara daging kambing menjadi santapan anjing-anjing
Karena itulah harus sinergi antara pihak yang berilmu dan pemilik harta benda dalam rangka mencetak kader-kader agama. Tetapi jika kembali kepada realita maka sungguh benar Allah dalam sebuah firmanNya yang menyatakan suatu karakter negatif manusia; yaitu seringkali berlaku zhalim dan sangat bodoh, “Sesungguhnya manusia itu suka berbuat zhalim dan sangat bodoh” Di antara kebodohan manusia adalah seringkali terbuai kesenangan sesaat dan tidak berfikir masa depan. Dalam kasus mendistribusikan harta benda misalnya. Banyak sekali harta benda dibelanjakan untuk sesuatu yang tidak berguna dan tidak berpahala. Ada sekian banyak rupiah yang telah dibelanjakan setiap hari untuk membeli rokok. Ada berjuta-juta, ratusan bahkan miliaran untuk membangun rumah dengan segala macam aksesorisnya. Jika amal manusia menentukan tempatnya di surga dan ternyata betapa singkat kehidupan di dunia ini, hanya sekitar 60-70 tahun maka pertanyaannya sekarang adalah berapa rupiah yang yang telah dibelanjakan guna menyambung amal pahala dan agar poin-poin pahala terus mengalir? Kemudian mari dibandingkan jumlahnya dengan angka-angka yang telah dikeluarkan guna membiayai kesenangan hidup di dunia saja.
Sungguh jika diteliti maka amalan-amalan yang telah disebutkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai amalan yang terus mengalirkan pahala jauh melebih batas usia manusia seluruhnya membutuhkan biaya. Tanpa ada harta yang dibelanjakan niscaya amalan tersebut tidak terwujud.
Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh. Bersedekah jariyah, kita patut memberikan apresiasi kepada umat Islam negeri ini yang begitu antusias mendermakan harta benda demi pembangunan masjid atau mushalla. Sayang, dan inilah bukti kebodohan, ketika ada pembangunan jalan atau sarana umum lain justru tidak mendapatkan perhatian. Pembangunan jalan diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah sehingga ketika ada beberapa senti tanah yang termakan jalan pasti menimbulkan masalah jika tidak ada ganti rugi yang memuaskan. Seorang mukmin semestinya memahami bahwa amal jariyah bukan hanya wakaf tanah untuk masjid atau pesantren saja.
Ilmu yang bermanfaat. Asalnya adalah mengajarkan ilmu kepada orang lain sehingga orang lain bisa mengajarkannya lagi dan begitu seterusnya. Tetapi jika tidak mampu mengajarkan ilmu maka sebagaimana disebutkan dalam hadits; “Barang siapa menyiapkan orang yang berperang maka sama halnya ia telah berperang” (HR Abu Dawud). Dalam lapangan ilmu maka bisa berupa mencarikan dan membiayai kehidupan seorang pengajar sehingga si pengajar bisa berkonsentrasi penuh dalam mengajarkan ilmu atau bisa berupa memberikan biaya kepada pencari ilmu. Menanggung seluruh biaya para santri sehingga kelak ketika santri tersebut sukses maka tidak ada aktivitas yang dijalaninya kecuali ada bagian pahala untuk dermawan yang membiayainya.
Dari sisi biaya yang harus dikeluarkan. Mengalirkan pahala melelaui cara ini sebenarnya lebih ekonomis. Kita bisa menghitung; jika dalam sebulan secara normal santri menghabiskan 500.000 maka selama setahun penuh hanya 6 juta rupiah. Bila dikalikan sepuluh tahun (bisa kurang atau lebih) maka hanya sekitar 60 juta. Bandingkan dengan mengalirkan pahala lewat membangun masjid. Sungguh Islam tidak bisa hidup hanya dengan pembangunan masjid. Kehidupan Islam justru sangat tergantung kepada ilmu-ilmu keislaman. Sayang hal ini kurang disadari dan difahami oleh mayoritas kaum muslimin sehingga perhatian kepada para pencari ilmu sangatlah kurang. Sebagai gambaran, dalam lingkup PERSYADHA gerakan orang tua asuh santri yang hanya memungut biaya seratus ribu perbulan semenjak dicanangkan mulai tahun 2005 hingga kini baru bisa mendapatkan 25 orang donatur. Berarti kurang dari lima orang hartawan pertahun yang terketuk hatinya untuk menghidupkan islam dan secara khusus mencetak kader dengan harta benda yang dimilikinya.
Dewasa ini muncul sekian banyak lembaga dana dan para da’i yang memberikan pencerahan tentang pentingnya berinfaq. Kita bersyukur karena secara umum mampu memberikan kesadaran kepada masyarakat Islam. Sayang donasi yang telah dikeluarkan distribusinya menjadi tidak jelas atau paling tidak belum menyentuh skala prioritas dari prinsip Islam terkait pentingnya harta benda demi kehidupan dan kemajuan Islam. Bukti real dari hal ini adalah adanya sekian banyak lembaga dana dengan donasi yang begitu besar. Bahkan sebagian dari lembaga dana tersebut ada yang sampai kebingungan ke manakah akan mendistribusikan dana. Sebagai contoh; ada satu lembaga dana yang sudah memiliki sekitar 17 000 donatur dengan donasi terendah 25000 rupiah. Jadi jika dikalikan setiap bulan lembaga dana tersebut mengumpulkan uang donatur minimal 425 juta. Ada sekian banyak program yang dibuat; pengembangan ekonomi masyarakat lemah, kesehatan, santunan, beasiswa dan lain sebagainya. Ketika ditanya adakah program untuk memberikan beasiswa bagi para santri yang bermukim di pesantren maka jawabannya sampai saat ini belum ada. Ini menunjukkan betapa lemah perhatian umat islam secara umum kepada hal yang semestinya sangat penting.
Padahal membicarakan Indonesia khususnya maka peran pesantren sebagai benteng Aqidah dan moral sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Di era pendidikan gratis (meski sebenarnya hanya ssu ini) pesantren harus bersaing dengan lembaga pendidikan formal yang menawarkan berbagai macam fasilitas dari gedung sekolah yang lux, gratis spp dan tentunya jaminan kesejahteraan di masa depan meski semuanya juga belum pasti. Sementara untuk menghadapi ini rata-rata pesantren tidak responsif sebagai akibat dari keterbatasan dana. Tidak mungkin pesantren dengan jumlah santri ratusan atau bahkan ribuan menggratiskan seluruh biaya tanpa kekuatan finansial dan campur tangan pemilik dana seperti para dermawan secara langsung atau lembaga-lembaga dana yang telah menghimpun dan berhasil menggaet simpati dan kepercayaan para donatur. Sesungguhnya Islam adalah agama yang tidak akan pernah bisa baik dan maju tanpa adanya kebaikan budi pekerti dan kedermawanan pemiliknya. Apakah kita termasuk orang yang berperang ataukah yang menyiapkan orang yang berperang? Mari kita pilih salah satunya! Wallahu A’lam.
Blogger Comment
Facebook Comment