“Al
Jannah Maa Hiy Balasy, Wad Dunyaa Maa Hiy Mizah,” Surga itu tidaklah gratis,
dan dunia itu bukan tempat yang hanya untuk bercanda. Bercanda, tiap orang
melakukannya untuk kelegaan hati, kesenangan diri dengan sisi lain ada rasa nyaman yang sedang dirasakan.
Bagaimana tidak dikatakan merasa aman?. “Wa Kullu Aatin Qoriib.” Setiap sesuatu
yang pasti datang itu sangatlah dekat. Banyak manusia lupa dengan apa yang
jelas dekat bersamanya, namun tidak di ketahui kapan sampainya. Kematian. Alloh
Subhaanahu Wata’ala Berfirman. “ Kullu Nafsin Dzaaiqotul Maut.” Setiap manusia
akan mencicipi kematian. Kematian yang Alloh sudah menentukan sejak ruh itu di
tiupkan dalam jasad seorang makhluk. Dalam kematian ini, manusia berada dalam
lingkaran takdir yang di kuasai. Tiada tawar menawar. Menolak apalagi
menghindar.
Rosululloh Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam
menggambarkan manusia ibarat dikelilingi persegi yang itu adalah ajal. Terdapat
garis yang melampaui persegi tersebut sebagai gambaran cita-cita manusia yang
begitu panjang dan tak akan terpenuhi sepenuhnya sampai ia menjumpai kematian.
Sedangkan dalam mencapai cita-cita, ada ujian yang akan selalu mengikuti,
selesai satu ujian akan dilanjutkan dengan ujian lain dan itu tiada henti dan
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam menggambarkannya dalam wujud garis
miring pada garis lurus (cita-cita).
Ajal
kapanpun bisa datang. Tidak peduli tua atu muda, balita ataupun lanjut usia.
Lalu apa yang telah manusia siapkan untuk menghadapinya.? Jika mengingat saja
tidak, lalu apa yang dipersiapkan.? Disinilah perbedaan orang yang cerdas dan
orang yang lemah. Orang yang cerdas, adalah orang yang beramal setelah mati. Ia
memahami kalau kehidupan yang hakiki adalah kelak di akhirat, sedangkan didunia
ini adalah sementara adanya,. Sedangkan orang yang lemah dalam agamanya, ia
senangtiasa menuruti kemauan hawa nafsunya dan berangan panjang kepada Alloh
namun tiada usaha yang ia lakukan untuk mencapainya.
Diriwayatkan dari Syaddad bin
Aus Rodiiyalloohu ‘Anhu dari Nabi Shollalloohu ‘Alaihi Wasallam beliau
bersabda: orang yang cerdas (jenius / pandai) adalah orang yang bisa mengoreksi
diri sendiri dan beramal untuk kebaikan setelah meninggal. Dan orang yang lemah
(idiot / pandir) adalah orang yang senangtiasa menuruti kemauan hawa nafsunya
dan banyak berangan kepada Alloh akan sekian banyak harapan (tanpa usaha).”
![]() |
www.bobocantik.com |
Maut adalah finish dari
perjalanan hidup. Orang yang cerdas mengetahuinya dan memahami bahwa akhir
hidup jika tidak di surga berarti di neraka. Pada kenyataannya, banyak manusia
yang saat ini terlena dengan kesenangan dunia, menuruti hawa nafsunya dan
melupakan kehidupan hakiki yang akan dijalani. “An Naasu Niyaamun Wa Idzaa
Matuu Intabahuu,” Manusia saat ini ibarat tidur saja, setelah mengalami
kematian barulah mereka terbangun.
Manusia dengan banyaknya
bercanda, maka banyak hal yang ia lupakan. Hati yang bertugas untuk mengingat
Alloh saja tidak bertugas sepenuhnya. Apalagi ada penghalang antara seorang
hamba dengan Rabb-nya, yakni adanya cinta dunia. Apalagi zaman ini ditambah
dengan takut akan mati. “Hubbud Dunyaa Wa Karoohiyatul Maut,” Cinta dunia dan
takut mati. Itulah penyakit “Al-Wahn” penyakit yang banyak menjangkit kaum
muslimin bahkan ada yang sampai tingkat bahaya dengan sampai hati menjual agama
untuk mendapat dunia.
Sedangkan orang yang lemah
dalam agamanya, ia hanya sibuk menuruti hawa nafsunya dan penuh angan-angan
panjang yang tidak ada usaha yang menyertainya. Ada kaum-kaum yang disibukkan
dengan meminta ampunan kepada Alloh Subhaanahu Wata’ala tanpa melakukan usaha
apapun sampai mereka keluar dari dunia tanpa membawa kebaikan apapun. Itupun mereka
masih memberikan alasan bahwa mereka selalu berhusnudhon kepada tuhannya. Dalam
hal ini, Imam Hasan Al Bashri Rohimahulloh mengomentari bahwa mereka selalu
melakukan dusta, karena jika memang mereka berkhusnudhon kepada tuhannya, maka
hendaklah mereka melakukn usaha daan beramal kebaikan.
Menjadi manusia cerdas yang
disabdakan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, tentu tidak semudah membaca
dan mengatakan. Perlu proses untuk mencapainya, dan diperlukan juga
bersama-sama (dalam Jama’ah), perlu murobbi yang selalu membimbing dan tentu
disertai dengan kejujuran dalam perkataan maupun perbuatan.
Wallohu
A’lam
Blogger Comment
Facebook Comment